Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pulau Jawa terancam krisis air bersih pada 2040.
Hanya 17 persen penduduk Indonesia yang mampu menjangkau air bersih.
Pemerintah melanggar hak asasi manusia karena tak mampu menyediakan air bersih untuk masyarakat.
KESULITAN sebagian besar penduduk Indonesia mendapatkan air bersih membuktikan bahwa negara gagal memenuhi kebutuhan dasar masyarakat itu. Di atas kertas, Undang-Undang Sumber Daya Air menyebutkan negara menjamin kebutuhan hak rakyat atas air bersih, sehat, dan cukup. Tapi kondisi di lapangan ibarat jauh panggang dari api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah United Nations Children’s Fund (Unicef) perwakilan Jakarta yang mendengungkan ancaman krisis air bersih ini di media sosial sejak Februari lalu. Mereka menggunakan tanda pagar #DihantuiTai untuk membuka mata semua orang. Fakta di lapangan menunjukkan peringatan dari Unicef itu bukan main-main.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian Kementerian Kesehatan pada 2020 mengungkapkan tujuh dari sepuluh rumah tangga di Indonesia menggunakan air yang terindikasi tercemar tinja. Survei pada tahun berikutnya menunjukkan satu dari lima air rumah tangga yang terkontaminasi tinja tersebut sudah ditemukan bakteri Escherichia coli.
Namun publikasi mengenai buruknya kualitas air seperti tenggelam dalam hiruk-pikuknya pentas politik di Tanah Air. Atau, bisa jadi, masalah itu memang sengaja diabaikan. Padahal sejumlah lembaga sudah memperingatkan Indonesia terancam dilanda bencana air bersih sejak bertahun-tahun lalu. World Wide Fund (WWF), misalnya, pada 2019 mengumumkan 82 persen dari 550 sungai besar di Nusantara dalam kondisi tercemar dan kritis.
Celakanya, ancaman krisis air bersih tak diimbangi dengan percepatan pembangunan fasilitas kesehatan lingkungan masyarakat. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan capaian sanitasi aman di Indonesia baru 7 persen pada 2020. Ini lebih rendah dari Thailand, yang capaian sanitasinya sebesar 26 persen, atau India yang sudah mencapai 46 persen.
Buruknya sanitasi dan kualitas air bersih tak hanya berdampak pada kesehatan generasi saat ini. Sanitasi dan kualitas air yang buruk, misalnya, menjadi salah satu penyebab kasus stunting di negeri ini. Pada 2021, kasus gagal tumbuh akibat kekurangan gizi pada seribu hari pertama kehidupan itu dialami oleh 5,3 juta anak, sekitar 24,4 persen dari total anak balita di Indonesia.
Kebutuhan air bersih yang aman dikonsumsi merupakan salah satu hak asasi manusia. Sayangnya, negara belum menjamin terpenuhinya hak dasar warga itu. Pada 2021, Kementerian Kesehatan memastikan hanya 17 persen masyarakat yang bisa mengakses air bersih. Penduduk kota besar seperti Jakarta “terpaksa” membeli air minum dalam kemasan. Padahal sejumlah penelitian mengungkapkan air minum kemasan mengandung beragam partikel mikroplastik yang bisa mengganggu kesehatan bila dikonsumsi dalam jangka panjang.
Bencana krisis air bersih sudah di depan mata. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memprediksi seluruh wilayah pantai utara Jawa, dari Banten hingga Jawa Timur, akan kehabisan sumber air bersih pada 2040. Provinsi lain di luar Jawa akan mengalami hal serupa pada 2045.
Tak ada pilihan, pemerintah harus memulihkan sumber air bersih dari hulu hingga hilir. Bila tidak, bayangkan saja, suatu saat nanti penduduk negeri ini harus mandi dengan air kemasan. Sungguh ironis ancaman seperti itu membayangi Indonesia, negara yang pernah tercatat menyimpan 6 persen cadangan air bersih dunia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo