Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
GoTo, perusahaan induk Gojek dan Tokopedia, bersiap melantai di bursa.
IPO GoTo dilakukan saat mereka masih membukukan rugi.
Performa negatif saham Bukalapak menjadi pengganjal GoTo.
KALANGAN investor mesti membuat kalkulasi berlapis menyambut rencana penjualan saham perdana (initial public offering/IPO) PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. Prinsip utama investasi yang menyebutkan peluang mendapat keuntungan besar akan selalu diikuti potensi risiko yang juga tak kalah besar jangan pernah terlupakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GoTo berencana mencatatkan diri di papan bursa pada 4 April mendatang. Induk perusahaan hasil penggabungan Gojek dan Tokopedia ini akan melepas 52 miliar lembar saham dengan rentang harga Rp 316-346 per unit. Perseroan menargetkan aksi korporasi ini bisa menyerap dana publik sebesar Rp 16,43-17,99 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IPO perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Garibaldi Thohir, kakak kandung Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, itu bakal mendongkrak kapitalisasi pasar hingga mencapai Rp 376,6-413,7 triliun. GoTo akan menjadi perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia, jauh mengalahkan emiten papan atas seperti PT Astra International Tbk yang hanya senilai Rp 200 triliun.
Namun angka-angka fantastis itu tidak boleh membuat para investor gelap mata dan mengabaikan potensi risiko yang setiap saat bisa datang. Pengalaman buruk dari IPO PT Bukalapak Tbk, unicorn pertama yang mencatatkan sahamnya di bursa Indonesia pada Agustus 2021, harus menjadi pelajaran.
Saat itu Bukalapak, yang masih merugi Rp 323,24 miliar pada triwulan I 2021, disambut gegap gempita oleh para investor. Kenyataannya, dari harga perdana sebesar Rp 850 per saham, harga saham bukalapak terus terpuruk hingga sekarang. Pada penutupan Jumat pekan lalu, harganya tinggal Rp 268 per saham. Artinya, para investor yang membeli pada harga perdana telah merugi sekitar 70 persen dari total investasi.
Kondisi GoTo menjelang IPO serupa dengan Bukalapak. Perusahaan tersebut masih membukukan rugi bersih per 30 September 2021 sebesar Rp 11,58 triliun, naik dari periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp 10,43 triliun. Belum ada jaminan kapan perusahaan akan mulai mencetak laba.
Kehadiran dua perusahaan berbasis digital di lantai bursa Indonesia juga tak lepas dari “karpet merah” dari Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia, yang membuat regulasi bagi perusahaan yang merugi tapi menunjukkan tren bisa positif bisa melego saham perdana. Aturan ini jelas mengabaikan hak investor kecil untuk mendapat kepastian saham yang dibelinya di bursa adalah emiten yang memiliki kinerja baik.
Fenomena gelembung bisnis Internet yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2000-an juga perlu dicermati. Saat itu, banyak perusahaan dotcom mendadak memiliki valuasi ratusan juta dolar Amerika menjelang IPO. Tapi ujungnya banyak yang tersungkur, bahkan tidak bernilai sama sekali. Misalnya Pets.com yang bangkrut setelah sembilan bulan melepas saham perdana kepada publik. Amazon dan eBay juga sempat ambles, meski kemudian berhasil pulih.
Walhasil, perhitungan matang atas potensi risiko yang bisa timbul mesti menjadi perhatian utama investor retail dan pengelola dana publik yang rutin menempatkan dana di pasar modal. Jangan pernah terbuai sinyal para influencer atau figur berpengaruh di media sosial karena saham adalah investasi, bukan judi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo