Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI masa kampanye pemilihan presiden pada 2019, Presiden Joko Widodo pernah berjanji memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Untuk mewujudkan hal itu, kata dia, hukum akan menjadi panglima. Pengusutan dugaan korupsi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, bahkan rencana menjadikannya tersangka, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi boleh jadi merupakan wujud janji itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, jika diletakkan dalam konteks perseteruan Jokowi dengan Partai NasDem menjelang Pemilihan Umum 2024, penyelidikan KPK itu boleh jadi serangan kepada mereka yang menentang kehendak politik pemerintah. Saat ini kerap terdengar sinisme: jika ingin aman dari pengusutan perkara korupsi, jadilah pendukung Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecurigaan pemerintah “main pukul” muncul karena sebelumnya Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate menjadi tersangka korupsi pembangunan infrastruktur menara pemancar Internet atau base transceiver station (BTS) oleh Kejaksaan Agung. Johnny dan Syahrul adalah kader Partai NasDem yang duduk di kabinet.
NasDem bersama Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat merupakan pengusung Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, sebagai calon presiden dalam Pemilu 2024. Sementara itu, Jokowi condong ke Ganjar Pranowo dari PDI Perjuangan dan Prabowo Subianto dari Partai Gerindra.
Dugaan korupsi yang dituduhkan kepada Syahrul Yasin Limpo, mantan Gubernur Sulawesi Selatan, adalah perkara penyalahgunaan surat pertanggungjawaban (SPJ) keuangan negara dan penerimaan gratifikasi pada periode 2019-2023. Syahrul ditengarai menerima upeti rutin ratusan juta rupiah dari pejabat eselon I dan II yang dicatat sebagai pengeluaran perjalanan dinas. Selain itu, ada setoran dari bawahan untuk “jasa” penempatan pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian.
Korupsi harus ditindak, tak peduli berapa pun uang yang ditilap dan betapa pun modus operasi pencurian sudah menjadi rahasia umum. Penyalahgunaan SPJ adalah praktik lancung yang jamak dilakukan para pejabat di kementerian dan lembaga pemerintah.
Masalahnya, indikasi korupsi yang lebih besar di Kementerian Pertanian sepanjang pemerintahan Jokowi tak pernah dipersoalkan. Misalnya dugaan jual-beli izin dalam penerbitan rekomendasi impor produk hortikultura dan surat perizinan impor buah pada 2020.
Perkara lain: penyediaan vaksin penyakit kuku dan mulut (PMK) senilai Rp 2,6 triliun pada 2022. Tanpa tender, Kementerian Pertanian menunjuk lima perusahaan yang tidak memiliki pengalaman mengimpor vaksin PMK dan diduga hanya mengandalkan kedekatan dengan petinggi Kementerian.
Keputusan KPK memilih perkara “remeh” untuk menjerat Syahrul Yasin Limpo menimbulkan wasangka bahwa Komisi tak ingin mengulang kesalahan Kejaksaan Agung dalam menangani perkara Johnny Plate. Dalam kasus Johnny, pengusutan melebar ke pelaku lain, termasuk politikus di luar NasDem. Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh telah meminta Johnny menjadi justice collaborator—isyarat restu Surya kepada Johnny untuk membongkar keterlibatan petinggi partai lain.
Penggunaan lembaga hukum untuk menekan lawan politik merupakan bentuk nyata penyalahgunaan kekuasaan. Abuse of power dengan memakai komisi antikorupsi ini berkaitan dengan pelemahan KPK pada awal periode kedua pemerintahan Jokowi.
Baca liputannya:
- Modus Upeti Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo
- Profil Menteri Syahrul Yasin Limpo
- Koalisi Anies Baswedan Setelah Kasus Syahrul Yasin Limpo
- Partai NasDem Soal Kasus Menteri Pertanian
Awalnya adalah revisi Undang-Undang KPK yang mengubah lembaga tersebut dari independen menjadi bagian dari rumpun eksekutif. Kemudian Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri dipilih menjadi Ketua KPK meski, sebagai deputi dan direktur, ia berkali-kali terbukti melanggar kode etik. Terakhir, Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan perpanjangan masa jabatan petinggi KPK dari empat menjadi lima tahun. Putusan ini kuat diduga bertujuan memastikan tidak ada penggantian pimpinan Komisi hingga pemilu berakhir.
Pimpinan Kejaksaan dan KPK hendaknya berani melawan segala bentuk intervensi. Jokowi juga seharusnya tak membiarkan dirinya dicatat sejarah sebagai presiden kedua setelah Soeharto yang memakai hukum untuk memukul lawan politik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mendayung Limpo, NasDem Terlampaui"