Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Satu

Memang ada titik pertemuan antara Schrödinger dan Einstein: alam semesta sebuah proses yang tak seluruhnya acak, tanpa sebab-akibat. fFsika kuantum memulihkan hubungan subyek dan obyek yang dikaburkan fisika klasik.

25 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pembahasan tentang pandangan fisika Edwin Schrödinger, pemenang Hadiah Nobel dari Austria.

  • Bagaimana pandangannya tentang semesta dan asal-usul kita?

  • Apa persamaan dan perbedaan dengan Einstein?

TAT Twam Asi. Selama beribu-ribu tahun, beribu-ribu brahmin dan berjuta-juta penganut Hindu mengucapkan mantra pendek dalam Upanishad itu. Yang menarik, di abad ke-20 seorang yang bukan brahmin, bukan Hindu, seorang atheis, ikut meyakininya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Edwin Schrödinger, salah satu tokoh fisika kuantum, ilmuwan Austria pemenang Hadiah Nobel di tahun 1933, menerbitkan Mein Leben, meine Weltansicht (Hidupku, Pandangan Hidupku), yang dikumpulkan dari tulisan-tulisan dari tahun 1925. Di dalamnya kita temukan tafsirnya atas tat twam asi:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kau bisa rebahkan tubuh rata ke atas tanah, terentang di atas Ibu Bumi, dengan keyakinan bahwa kau satu dengan dia dan dia dengan kau”.

Tat Twam Asi: aku-adalah-dia, kau-adalah-itu. Kau-aku-adalah... selalu satu. Semua makhluk secara intim terhubung dengan energi semesta. Di abad ke-8, seorang pemikir Hindu, Adi Shankara, menggunakannya sebagai dasar ajarannya, Advaita Vedanta: tiap kita, tiap atom kita, adalah bagian Ia Yang Kekal, Luhur, Sempurna. Dengan kata lain Atman, diri, adalah Brahman, yang abadi.

Atman = Brahman; Schrödinger mengikuti “persamaan” ini. Ajaran tat twam asi ini memang pas bagi pemikirannya. Ia salah satu pionir fisika kuantum yang tak lagi berurusan dengan partikel sebagai butir-butir pejal, melainkan sebagai taburan elektron yang tak jelas di mana, yang tak punya “individualitas”, terkadang sebagai gelombang, terkadang bukan. Perilaku mereka lain dari logam dan air yang kita pelajari dulu dalam fisika SMA.

Dalam suratnya kepada Einstein di tahun 1935, Schrödinger berbicara tentang fenomena yang paling ganjil dari “dunia” ini, yakni Verschränkung (diterjemahkan sebagai entanglement): dua partikel yang saling berkelindan bagai bayi kembar, berperilaku persis sama meskipun terpisah beribu-ribu kilometer. Tak ada “lokalitas”.

Einstein, yang ilmunya bermula dalam fisika klasik, menganggap fisika kuantum belum menjelaskan keganjilan itu—yang ia ejek sebagai “spukhafte Fernwirkung”, gerak di kejauhan yang mirip hantu.

Schrödinger juga tak sepenuhnya mengikuti para pelopor fisika kuantum yang berkelompok di Kopenhagen di bawah Niels Bohr. Bagi mereka, tak ada hubungan antara dunia sehari-hari yang “makroskopik” dan wujud di tingkat kuantum, sementara Schrödinger masih menggunakan rumus-rumus matematika dari fisika klasik.

Memang ada titik pertemuan antara Schrödinger dan Einstein: kedua fisikawan dari generasi yang berbeda itu menganggap alam semesta sebuah proses yang tak seluruhnya acak, tanpa sebab-akibat. Ucapan Einstein yang terkenal, “Tuhan tak bermain dadu”. Baginya ada dasar yang lebih dasar yang menyatukan yang acak-acakan, yang tak diakui para fisikawan kubu Kopenhagen.

Tat Twam Asi. Schrödinger memandang alam semesta tunggal. Sifat acak dan plural adalah ilusi. Kemajemukan itu hanya “maya”—“ilusi yang persis seperti yang dihasilkan sebuah galeri cermin”. Lihat, “Gaurisankar dan Gunung Everest ternyata puncak yang sama yang tampak dari lembah yang berlain-lainan.”

Schrödinger, seperti ajaran Advaita Vedanta, menafikan dualisme. Aku (sebagai kesadaran yang mengamati) dan dunia (yang diamati) sebenarnya tak terpisah sebagai subyek dan obyek. Tapi sains memisahkannya. Sains bekerja dengan tekad “obyektivitas”, sepenuhnya bebas dari pengaruh subyektif.

Dalam Nature and the Greek and Science and Humanism, Schrödinger mengemukakan dua anggapan dasar sains. Pertama, anggapan bahwa “dunia bisa dipahami”. Kedua, anggapan bahwa untuk memahami dunia yang rumit ini, sang subyek, the subject of cognizance, hanya memfokuskan diri sebagai intelek; ia menafikan sumbangan pancaindra dan tubuh buat pengetahuan. Pada akhirnya, sang subyek bahkan diperlakukan sebagai tak hadir.

Tapi perspektif itu berubah. Di abad ke-20, fisika kuantum memulihkan hubungan subyek dan obyek yang dikaburkan fisika klasik. Bohr dan Heisenberg menunjukkan, obyek tak terlepas dari subyek yang mengamatinya. Kedua fisikawan itu, kata Schrödinger, telah “mendorong ilmu fisika ke arah batas yang misterius antara subyek dan obyek, yang ternyata bukan batas yang tajam sama sekali”.

Kita tahu, Schrödinger menyetujui itu, meskipun ia tak menganggapnya penemuan baru. Yang baru adalah pengakuan bahwa ada jejak “yang tak terhindarkan dan tak terkendalikan” dari subyek ke dalam obyeknya. Itu berarti, menurut Schrödinger, beda subyek dari obyek tak niscaya “tergantung dari hasil kuantitatif ukuran fisika dan kimia”, dengan spektroskop, mikroskop teleskop, alat pengukur radiasi Geiger....

Schrödinger mengingatkan, sains adalah bagian usaha kita menjawab “satu pertanyaan filsafat yang penting”, yakni “Siapa gerangan kita”.

Memang, ada suara di Kopenhagen yang menjawab: jangan bertanya, hitung saja, bikin saja matematikanya! Tapi bisakah ilmuwan membungkam rasa ingin tahu, sebab dari situ juga sains tumbuh?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus