Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GURU yang patut digugu dan ditiru adalah salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Sebagus apa pun kurikulum, jika guru tak bisa menerjemahkannya dalam pengajaran sehari-hari, hasilnya akan jauh panggang dari api. Mereka perlu terus digembleng agar kemampuan pedagogi dan kompetensi keilmuan mereka makin terasah dan merata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini masalah pendidikan kita bukanlah kurangnya jumlah guru, melainkan mutu dan persebarannya. Tahun ini kita memiliki 3,3 juta guru. Adapun rasio guru dan murid mencapai 1 : 17, yang berarti satu guru mengajar 17 murid. Angka ini sudah ideal jika mengacu pada ketentuan pemerintah, meski masih tertinggal dari rasio di negara yang maju dalam pendidikan seperti Finlandia yang mencapai 1 : 12.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, rasio guru dan murid yang lebih baik belum menjamin kualitas pendidikan. Sejumlah provinsi di luar Jawa memiliki rasio yang lebih baik dari provinsi di Jawa karena memang jumlah muridnya sedikit. Namun indeks nilai mata pelajarannya, misalnya, jauh tertinggal. Di sinilah mutu para guru—serta infrastruktur pendidikan—menjadi pembeda.
Karena itu, inisiatif seperti program Pendidikan Guru Penggerak yang dicetuskan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi perlu berkesinambungan. Tujuan program ini sebenarnya bagus: memeratakan mutu guru melalui keberadaan para guru layak mengajar. Hingga tahun ini Pendidikan Guru Penggerak memasuki angkatan ke-7. Kementerian menargetkan ada 405.900 guru penggerak pada 2024.
Guru penggerak adalah guru lokal yang menjadi pemimpin guru di sekolahnya. Agar ilmu yang didapat dari program tersebut menyebar, para guru penggerak wajib membagikannya kepada guru lain. Di samping itu, mereka menjadikan murid sebagai pusat pembelajaran—mendidik dengan mengikuti kebutuhan murid.
Liputan kami di sejumlah wilayah terpencil mendapati para siswa lebih terdorong untuk belajar karena metode pengajaran para guru penggerak yang inovatif. Misalnya, guru penggerak membuat modul pengajaran sendiri yang mudah dipahami siswa ataupun membuka kelas di pinggir pantai disertai alat peraga sederhana.
Meski merupakan terobosan, program Guru Penggerak masih punya pekerjaan rumah. Pendidikan Guru Penggerak masih berbasis program sehingga bisa tidak berkelanjutan. Menteri Nadiem Makarim memang menginginkan program ini bertahan hingga 2024. Tapi tak ada jaminan setelah menteri berganti program ini tetap ada. Dengan jumlah guru penggerak yang hanya 400-an ribu pada 2024, pemerataan mutu guru seperti yang didambakan masih butuh waktu.
Kementerian pun perlu mempertimbangkan agar rekrutmennya bukan berdasarkan ujian, melainkan minat para guru. Jika hanya mengacu pada hasil ujian, bisa saja muncul “kasta” di antara guru. Seolah-olah guru penggerak berstatus lebih tinggi di antara sejawatnya. Apalagi Menteri Nadiem terang-terangan meminta pemerintah daerah menjadikan guru penggerak sebagai kepala sekolah ataupun pengawas sekolah. Itu bisa memicu kecemburuan atau bahkan kekecewaan para guru yang belum mendapat kesempatan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo