Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA politik melupakan publik, sesuatu yang seharusnya memiliki virtue kini menjadi transaksi dagang yang murah dan memualkan perut. Hari-hari ini politik tak ubahnya pasar perdagangan sapi. Keputusan Partai NasDem memasangkan Anies Baswedan dengan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar lahir dari transaksi semacam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NasDem merupakan partai yang paling awal mendeklarasikan calon presiden dengan membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan bersama Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. Berbeda dengan PKS yang tak ngotot memaksakan jagoannya, Demokrat terus mengupayakan agar Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono menjadi wakil Anies Baswedan. Tiga bulan sebelum batas akhir pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2024, NasDem tak kunjung menetapkan Agus sebagai calon wakil Anies.
NasDem punya alasan tak segera merespons permintaan Demokrat. Pertama, penetapan Agus bisa mengurangi “saham” NasDem dalam koalisi karena partai yang dipimpin taipan media Surya Paloh ini tak memiliki calon wakil presiden sendiri. Kedua, penetapan Agus tak menambah suara Anies. Pendukung Agus Harimurti dan Anies Baswedan beririsan di sejumlah daerah pemilihan. Di provinsi di mana Anies lemah, misalnya Jawa Timur, Demokrat pun tak kuat.
Pengurus Demokrat menyadari kelemahan itu. Mereka berpendapat dengan menyegerakan penetapan calon wakil presiden, tersedia cukup waktu bagi koalisi untuk mendongkrak elektabilitas Anies Baswedan. Buktinuya, dalam tiga bulan terakhir, elektabilitas Anies terus turun—di bawah dua kandidat lain, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
Di “kapal” yang berbeda, kemungkinan Muhaimin Iskandar menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto mengecil dengan masuknya Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional ke dalam Koalisi Indonesia Maju. Golkar menginginkan ketua umumnya, Airlangga Hartarto, menjadi calon pendamping Prabowo. Adapun PAN menyorongkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir.
Pada titik ini kepentingan PKB dan NasDem bertemu: mereka percaya memasangkan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar bisa membangkitkan kembali elektabilitas Anies Baswedan, selain juga memberi kesempatan kepada Muhaimin menjadi calon wakil presiden, sesuai permintaan PKB.
Bagi NasDem, masuknya Muhaimin juga mengendurkan ketegangan Surya Paloh dengan Presiden Joko Widodo. Sehari sebelum informasi duet Anies-Muhaimin muncul ke publik, Surya Paloh diketahui menemui Jokowi di Istana Negara.
Telah jadi pengetahuan umum Jokowi cenderung mendukung Prabowo Subianto meski tak melepas perhatian kepada Ganjar Pranowo, koleganya di PDI Perjuangan. Adapun terhadap Anies, Jokowi cenderung antipati.
Karena itu Deklarasi NasDem mencalonkan Anies Baswedan pada Oktober tahun lalu “menyulitkan” Surya Paloh. Ia tak memungkiri analisis yang menyebutkan penahanan Johnny G. Plate, Menteri Komunikasi dan Informatika dari NasDem, berhubungan dengan pencalonan Anies Baswedan tersebut. Beberapa bisnis Surya di bidang media dan katering disebut-sebut juga “bermasalah” karena deklarasi itu.
Masuknya Muhaimin pun mencairkan kembali hubungan Paloh-Jokowi, yang terbuhul sejak Pemilu 2014. PKB adalah partai yang tidak berseberangan dengan Jokowi—jika tidak bisa disebut anak manis pemerintah. Analisis lain menyebutkan bergabungnya Muhaimin bisa dibaca sebagai masuknya pengaruh Jokowi pada koalisi pendukung Anies. Jika ini terjadi, presiden Indonesia setelah 2024 dipastikan tak berseberangan haluan dengan Jokowi.
Peta politik memang bisa berubah kapan saja. Lepas dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Demokrat dapat bergabung dengan koalisi pendukung Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto.
Di kubu Prabowo, setelah PKB menyeberang ke Anies, perebutan kursi calon wakil presiden akan terjadi antara Golkar dan PAN. Para “blantik” akan menentukan “sapi” mana yang bakal dibeli atau dipertukarkan.
Baca liputannya:
- Lobi Rahasia Muhaimin Iskandar-Anies Baswedan
- Mengapa Muhaimin Iskandar Meninggalkan Prabowo Subianto
- Nasib Muhaimin Iskandar dalam Pusaran Kasus Korupsi
- Akan ke Mana Partai Demokrat Berlabuh?
Karena itu, yang tak berubah dalam manuver politik menjelang Pemilu 2024 adalah publik sebagai penonton yang kehadirannya cuma dibutuhkan di bilik suara. Hampir tak ada partai atawa kandidat yang menawarkan gagasan untuk kemaslahatan orang banyak. Gagasan memang akan muncul dalam debat kandidat beberapa pekan sebelum hari pencoblosan. Tapi seperti Pemilu yang lalu-lalu, debat lebih merupakan atraksi sirkus ketimbang pertukaran gagasan.
Dengan demikian, dalam politik yang melupakan publik, tak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membiarkan para blantik beraksi. Dalam Pemilu 2024, apatisme tampaknya tak terhindarkan— sesuatu yang buruk bagi demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Para Blantik dalam Politik Elektoral"