Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Investasi Grup Telkom di Gojek sejak awal berisiko tinggi karena mengandung ketidakpastian dan spekulasi.
Keputusan investasi Telkom di Gojek juga dipenuhi aroma benturan kepentingan keluarga Menteri BUMN Erick Thohir.
Transaksi kontroversial itu kini menyeret Grup Telkom dan GoTo ke potensi kerugian negara karena ada penjualan saham pemilik lama Gojek.
SEPINTAR-pintarnya bangkai ditutupi, baunya toh tercium juga. Dua tahun lalu PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) dan induknya, PT Telkom Indonesia Tbk, mengklaim investasi mereka di PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) adalah strategi brilian untuk mempercepat transformasi bisnis digital badan usaha milik negara raksasa itu. Kini berbagai pertanyaan muncul, menyoal sejauh mana suntikan modal senilai Rp 6,4 triliun itu membawa berkah untuk perusahaan atau justru menjadi beban karena sarat dengan benturan kepentingan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak awal diumumkan, investasi Telkomsel di Gojek—kini menjadi PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk setelah melakukan merger dengan PT Tokopedia dan menjadi anggota Bursa Efek Indonesia—memang sudah bikin geger. Apalagi sekarang setelah laporan keuangan triwulan I 2022 Telkom mencatat kerugian pada investasi Telkomsel di GoTo per akhir Maret lalu sebesar Rp 881 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Status kerugian itu memang “belum direalisasi” alias masih potensi di atas kertas. Investasi Telkomsel untuk sementara dicatat tekor karena harga wajar saham GoTo pada periode laporan keuangan ini lebih rendah dari laporan keuangan periode sebelumnya. Statusnya bisa berbalik, dicatat sebagai keuntungan yang belum direalisasi, jika harga wajar saham GoTo kelak melambung. Telkomsel juga boleh tetap bermimpi bakal kebagian dividen, meski dalam prospektus penawaran saham perdana (IPO), GoTo tak bisa memastikan kapan kerugian perusahaan akan berakhir.
Ketidakpastian itulah yang menjadi permasalahan pertama pada investasi Telkomsel di Gojek. Keputusan investasi jumbo itu penuh spekulasi dan berisiko tinggi. Meski mengkilap sebagai decacorn pertama dari Indonesia, Gojek tak pernah untung. Pada November 2020, ketika Telkomsel pertama kali menyuntikkan dana dalam bentuk obligasi konversi senilai Rp 2,11 triliun, Gojek masih tekor Rp 16,1 triliun. Enam bulan kemudian Telkomsel malah memborong lagi saham perusahaan yang ikut didirikan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim itu sebesar Rp 4,39 triliun.
Sebagai BUMN, pengelola kekayaan negara yang dipisahkan, Telkom tak semestinya meloloskan investasi yang berisiko merugikan. Bagaimanapun keuntungan atau kerugian itu harus dikonsolidasikan ke neraca keuangan Telkom, yang mengempit 65 persen saham Telkomsel.
Di sinilah awal permasalahan kedua yang lebih penting dan bikin miris. Sempat ditolak di zaman Menteri BUMN Rini Soemarno, rencana Telkom mengakuisisi GoTo—kala itu masih Gojek—melenggang di era Menteri Erick Thohir dengan menggunakan anak perusahaan. Sulit mempercayai keputusan ini bebas dari conflict of interest. Pasalnya, Komisaris Utama Gojek saat investasi itu digeber adalah kakak Erick, Garibaldi Thohir. Selain menjadi komisaris, Garibaldi mengantongi saham perusahaan itu.
Kecurigaan publik memuncak karena belakangan sebagian duit yang digelontorkan Telkomsel diduga dipakai Gojek untuk membeli kembali saham perusahaan (buyback) pada Maret hingga Desember 2021. Wajar jika muncul dugaan bahwa suntikan dana triliunan rupiah dari Telkomsel adalah strategi brilian para pemegang saham lama Gojek agar bisa segera meraup cuan.
Tanpa gelontoran duit BUMN tersebut, mereka tentu tak bisa segera angkat kaki dari investasi yang bertahun-tahun tanpa hasil. Jika dugaan ini benar, ada kerugian negara yang harus dipertanggungjawabkan. Tak bisa tidak: pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, juga lembaga penegak hukum harus mengusut dugaan pelanggaran ini, tanpa pandang bulu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo