Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KLAUSUL skema berbagi jaringan antara PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan produsen listrik swasta (power wheeling) dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan bisa menjadi momentum reformasi sistem ketenagalistrikan nasional. Upaya itu bisa menjadi jalan mengakhiri monopoli listrik PLN atas jaringan transmisi, yang berujung inefisiensi sekaligus memperlambat transisi energi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Power wheeling tercantum dalam Pasal 29A dan Pasal 47A RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan yang sedang dibahas pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Klausul ini memungkinkan produsen listrik dengan sumber energi terbarukan memakai jaringan transmisi milik PLN menggunakan mekanisme sewa. Selama ini perusahaan swasta pemilik pembangkit listrik hanya bisa menjual listriknya kepada PLN. Mereka dilarang membangun jaringan transmisi sendiri atau memakai transmisi PLN untuk menyalurkan listrik langsung kepada konsumen akhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Klausul ini mengganjal pengesahan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan lantaran anggota Dewan dan pemerintah tak kunjung bersepakat. Para penolak berdalih power wheeling bakal melenyapkan kedaulatan atas sumber energi vital ketika jaringan transmisi listrik dibuka untuk pihak swasta. Demikian pula PLN yang khawatir kehilangan hak monopoli sekaligus terancam bersaing dengan swasta ketika perusahaan setrum pelat merah ini dilanda kelebihan kapasitas. Di sisi lain, pemerintah berkepentingan mengegolkan skema power wheeling demi menarik investor energi terbarukan dan mempercepat transisi energi.
Jika melihat kepentingan yang lebih besar, seharusnya tak perlu alergi terhadap mekanisme power wheeling, khususnya untuk listrik dari energi baru dan terbarukan. Apalagi selama ini PLN belum mampu memenuhi kebutuhan listrik dari sumber energi bersih tersebut. Di sisi lain, makin banyak korporasi dan rumah tangga yang menghendaki pasokan listrik dari sumber energi bersih, sejalan dengan tren di seluruh dunia. Maka akan lebih efisien jika operator listrik swasta yang menyalurkan pasokan kepada konsumen melalui mekanisme sewa jaringan milik PLN alih-alih harus menjual listrik dulu kepada PLN yang kemudian mendistribusikannya kepada konsumen.
Harus diakui power wheeling akan menggoreskan “luka” pada PLN yang mungkin saja berdampak pada anggaran negara. Hal ini terjadi ketika ada tambahan biaya pokok penyediaan listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit energi baru milik swasta yang bersifat intermiten atau pasokannya naik-turun ke sistem PLN. Selain itu, PLN berpotensi mengalami penurunan tingkat penjualan listrik yang berdampak pada pendapatan. Jika PLN merugi, negara bakal terbebani.
Tapi kondisi ini tak bisa menjadi pembenaran dan menjadi dalih penolakan hadirnya skema power wheeling. Sebab, kekacauan tersebut merupakan dampak kesalahan masa lalu, ketika pemerintah jorjoran mendorong investasi pembangkit listrik batu bara dan memaksa PLN membeli listrik dari pihak swasta dengan skema take-or-pay atau membeli pasokan dengan harga berapa pun.
Seiring dengan tren energi bersih, pasokan listrik ataupun model bisnis PLN dan regulasi pemerintah tak lagi relevan dengan kebutuhan konsumen. Karena itu, penyusunan undang-undang energi baru dan terbarukan bisa menjadi instrumen untuk membenahi persoalan yang serupa benang kusut tersebut. Termasuk melalui mekanisme power wheeling yang bisa sedikit demi sedikit memangkas praktik monopoli sektor ketenagalistrikan.