Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Riwayat hidup Vladimir Putin, anak penyendiri yang menjadi Presiden Rusia.
Ia suka sambo, untuk melatih tubuhnya yang kecil menjadi kuat karena sering dirisak.
Putin melamar menjadi relawan dinas mata-mata KGB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTIN lahir di tengah puing dan tumbuh dengan puing. Mungkin ia sedang terjerumus ke dalam puing yang lain lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
7 Oktober 1952, ibunya, Maria, melahirkan Vladimir Vladimirovich. Ia anak ketiga yang hidup. Reruntuhan akibat perang masih membekas di Leningrad, juga dalam kehidupan keluarga Putin. Jerman nyaris menghancurkan kota itu dalam Perang Dunia ke-II. Selama dua tahun lebih, sejak 8 September 1941 sampai dengan 27 Januari 1944, Leningrad dikepung dan dihujani peluru artileri dan bom. Tujuan Hitler, sebagaimana dimaklumkan, bukan untuk merebut kota itu. Ia ingin “menghapus Leningrad dari muka bumi”.
Tapi Jerman gagal, bahkan kalah. Uni Soviet bisa menerobos kepungan dan akhirnya berjaya. Lepas dari Perang Dunia II, negeri sosialis itu membangun dirinya. Hidup rakyat berangsur membaik. Tapi lebih dari satu dasawarsa kemudian, hidup keluarga Putin hanya meningkat sedikit. Ayahnya, seorang wakil Partai yang mengawasi pabrik pembuatan kereta api, cuma dapat jatah ruang seluas 55 meter persegi—dan itu pun harus dihuni bersama sebuah keluarga lain.
Sejak 1944, keluarga Putin tinggal di tingkat 5 bangunan sisa abad ke-19 di Jalan Baskov itu. Tak ada air panas. Dapur bersama adalah satu lorong tak berjendela yang, seperti ruang lain, dihuni tikus. Tempat tinggal itu tanpa mesin penghangat; hanya ada perapian.
Di sana Putin tumbuh kecil pendek; tinggi optimalnya 1,68 cm. Di antara anak-anak sebayanya yang suka berkumpul di lapangan apartemen, ia sering dibully dan berkelahi. Ia pun belajar sambo, jenis judo cara Rusia hingga mahir. Olahraga bela diri ini membentuk disiplin dalam hidupnya. Bahkan ia merasa diselamatkan dari hidup anak jalanan. Putin tak suka alkohol, tak merokok, menjauh dari seks, dan keras hati mengolah tubuh jadi kencang. Tak mengherankan pada 1967 ia diterima jadi anggota Komsomol, organisasi pemuda Komunis yang bisa membuka jalan ke arah jabatan tinggi.
Tapi ia lebih tertarik jadi agen rahasia. Sebelum umur 15, ia gemar menonton film yang menggambarkan heroisme spion Soviet menyusup ke markas besar tentara Jerman. Dengan membayangkan spion sebagai pahlawan, remaja Putin mengganti cita-citanya dengan kegagahan baru. “Satu agen rahasia dapat menentukan nasib ribuan orang,” katanya kemudian hari, seperti dikutip Steven Lede Myers dalam biografi Putin, The New Tsar: The Rise and Reign of Vladimir Putin.
Dan ia pun, suatu hari, masuk ke kantor cabang KGB di Liteiny Prospekt, tak jauh dari apartemen orang tuanya. Ia menyatakan diri mau jadi relawan pada dinas rahasia.
Tapi seorang pejabat menjelaskan, KGB tak menerima relawan. Dinas itu hanya menerima mereka yang diseleksi dari kalangan militer atau perguruan tinggi.
Anak muda itu disarankan masuk sebuah fakultas hukum.
Putin pun berusaha keras diterima di Universitas Negeri Leningrad yang prêstisius itu—dan berhasil.
Pada 1974, KGB merekrutnya. Ia bangga. Putin tahu sejarah gelap KGB yang dulu disebut NKVD. Dinas ini menangkap bahkan membunuh ratusan orang yang dicurigai musuh negara. Tapi Putin anggap itu semua, yang terjadi di bawah Stalin, tak membekas. Stalin sudah meninggal 20 tahun sebelumnya dan orang mulai melupakan kekejamannya.
Tapi berbeda dari harapannya, ia tak dijadikan agen rahasia. Dalam umur 23 tahun, ia hanya jadi birokrat yang mengurus surat dan dokumen. Baru kemudian ia dilatih di Sekolah No. 401, di gedung enam lantai yang dijaga ketat di tepi Sungai Okhta dan Neva—sebuah pendidikan yang mengurung para kadetnya seperti dalam kapal selam. Mereka dilatih selama enam bulan pelbagai teknik intelijen dan kemampuan fisik.
Di masa itu KGB dipimpin Yuri Andropov, yang ingin mengubah dinas rahasia itu agar lebih cocok dengan kebutuhan zaman. Andropov sadar, Uni Soviet umumnya tertinggal dibandingkan dengan Barat. Ketika KGB perlu orang yang memahami makroekonomi, Putin—yang di universitas menulis skripsi tentang satu aspek perdagangan internasional—maju ke depan. Ia termasuk generasi baru yang dipilih bukan hanya berdasar kriteria ideologi atau nilai moral apapun, kecuali loyalitas.
Putin tak menentang kebijakan Andropov melanjutkan kebrutalan lama, bahkan menambah metode baru represi. KGB memasukkan para pengecam rezim seperti Shakarov (ahli atom) dan Solzhenitsyn (novelis) dalam rumah sakit jiwa. Putin membantah ikut melakukan prosekusi macam itu. Tapi ia bawahan yang rajin. Kariernya naik.
Pada 1979, ia jadi kapten. Ia dikirim lagi ke Moskow untuk ikut kursus lanjutan KGB. Ia berharap disiapkan buat tugas luar negeri, tapi ternyata, sekali lagi, bukan. Ia kembali bekerja untuk dinas kontraspionase di Leningrad, tanpa hasil yang jelas. Baru beberapa tahun kemudian ia dipromosikan jadi mayor dan dikirim ke pendidikan lanjutan di Institut Bendera Merah.
Institut itu terletak di hutan di luar Moskow dan dikelola para tokoh spionase dengan prestasi gemilang. Mereka misalnya membina seorang lulusan Universitas Cambridge, Kim Philby, yang bertahun-tahun berhasil menyusup ke puncak dinas intel Inggris.
Dari sana Putin lulus, meskipun bukan tanpa cacat. Ketika berlibur di kota kelahirannya, Leningrad, ia terlibat dalam perkelahian dengan sejumlah pemuda brandal. Trampil dalam judo, ia berhasil mengalahkan mereka. Tapi bentrokan itu dilihat sebagai cacat bagi para pendidiknya.
Ia mulai mahir berbahasa Jerman, dan semestinya bisa dikirim menyusup di Jerman Barat, wilayah musuh, untuk menjalankan tugas yang lebih menantang. Tapi tidak: ia ditempatkan di Dresden, di Jerman Timur.
Dresden hampir 200 km dari Berlin: sebuah pinggiran. Jika di Berlin Timur KGB menempatkan beratus-ratus agen, di Dresden tak pernah lebih dari delapan orang. Kantornya bangunan dua tingkat yang hambar di Angelikastrasse.
Di situlah Putin, di pojok lantai dua, bekerja selama empat setengah tahun. Ia birokrat, bukan James Bond. Ia bahkan bukan agen rahasia. Ia tak lagi berlatih judo dan mulai gemar bir. Badannya tak lagi ramping. Ada yang mengatakan, ia sebenarnya kecewa dan ia kelak akan menebusnya dengan jadi rakus kedudukan... Tapi bosnya, seorang kolonel KGB generasi tua, menyayangi mayor usia 30-an tahun yang pekerja serius itu. Putin naik pangkat jadi Letnan Kolonel. Tapi tak ada prestasi yang mencolok; di kota itu tak ada peristiwa yang luar biasa.
Kecuali di akhir riwayat kekuasaan Komunis.
Di Berlin, di tahun 1989, ribuan rakyat yang selama ini tertekan dan dimata-matai menghancurkan Tembok Berlin—dan Uni Soviet tak berdaya. Di Dresden perlawanan tak seseru itu, tapi cukup menegangkan. Ratusan penduduk menyerbu Kantor Stasi. Marah, dendam, tak lagi takut.
Sebagian mendatangi kantor KGB. Di sana hanya Putin, pejabat paling tinggi yang menghadapi mereka. Ia tak dapat bantuan dari militer Soviet di Dresden, karena mereka tak dapat instruksi apapun dari atas. Ketika ia minta dihubungkan telepon langsung ke Moskow, Moskow hanya diam.
Putin berhasil menyelamatkan kantor KGB di Angelikastrasse; dengan bahasa Jermannya yang fasih ia membuat para demonstran batal menyerbu. Tapi ia makin tahu, Uni Soviet diambang keruntuhan. Sudah lama ia bersama koleganya yang muda— ang tiap hari bertugas mengamati keadaan—melihat tanda-tanda jelas kekuasaan Partai Komunis merapuh.
Dimulai dengan runtuhnya Tembok Berlin, Uni Soviet akhirnya ambyar. Federasi Rusia yang menggantikannya tak punya lagi wilayah penyangga dan pendukung: negeri-negeri sosialis Eropa Timur di sekitarnya membelot, bahkan bergabung dengan musuh lama, NATO.
Putin menggambarkan rubuhnya Uni Soviet sebagai “bencana geopolitis terbesar dalam abad ke-20”. Ia menyesali tragedi sejarah Rusia yang “1000 tahun”.
Ada kesan ia mengimajinasikan Rusia sebuah kesatuan yang kontinyu sejak 1.000 tahun yang lalu—seakan-akan Revolusi Sosialis 1917 hanya sambungan kuasa Tsar, seakan sejarah bukan proses kontradiksi dan tak meninggalkan puing. Ia seorang loyalis kepada satu tanah air yang besar; ia memang bukan seorang Marxis. Jika kini ia masih membawa imajinasi kebesaran “1000 tahun” itu, dan ingin menjadikannya realitas, tak akan mengherankan bila ia keliru.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo