Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA wartawan bertanya kepada Presiden Joko Widodo alias Jokowi kapan berkantor di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Presiden balik bertanya. Apakah fasilitas air sudah masuk? Apakah instalasi listrik sudah masuk? Kalau semua siap, pindah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kali ini Jokowi sangat realistis, tidak seperti biasanya. Bahkan, yang mengejutkan, ketika ditanya kapan akan meneken keputusan presiden (keppres) tentang pindahnya ibu kota negara dari Jakarta. Jokowi menjawab tak menutup kemungkinan keppres itu bisa terbit pada pemerintahan selanjutnya. “Kita melihat situasi lapangan," kata Jokowi. Presiden pun menegaskan pemerintah tidak ingin memaksakan penerbitan keppres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Opini yang ada saat ini adalah IKN terkesan proyek yang dipaksakan. Atau mengutip apa yang dikatakan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat, ini proyek yang sangat tergesa-gesa. Langkah tergesa-gesa itu tak cuma dalam membangun infrastrukturnya, tapi juga dari sisi hukum. Andil ketergesaan ini tak hanya ada pada pemerintah, tapi juga pada parlemen.
Undang-undang tentang ibu kota negara terlalu prematur. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2022 itu, Jakarta kehilangan statusnya sebagai daerah khusus ibu kota per 15 Februari 2024. Namun undang-undang ini mengalami perubahan lewat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023. Salah satu pasalnya menyebutkan Jakarta tetap sebagai ibu kota negara sampai terbit keppres pemindahan ke IKN.
Andai Jakarta itu berwujud orang, inilah orang yang tak jelas. Bukan daerah khusus lagi, tapi tetap sebagai ibu kota negara. Seandainya Jokowi tak juga menerbitkan keppres pemindahan ibu kota itu sampai lengser dengan alasan belum siap, sedangkan penggantinya, Prabowo Subianto, ogah-ogahan memindahkan ibu kota, Jakarta ibarat orang yang tak berjenis kelamin.
Jokowi tak buru-buru menerbitkan keppres. Itu bagus. Mungkin Jokowi mendengar suara rakyat (tapi bukan suara hasil survei) karena memang kota yang sedang dibangun dengan dana yang mulai terbatas itu masih berantakan. Bagaimana jika Prabowo juga realistis? Anggaran membangun IKN dialihkan ke program makan bergizi gratis dan program lain yang langsung menyentuh nasib rakyat miskin.
Dua tokoh ini bisa kembali membawa harapan baik untuk Indonesia ke depan. Namun bagaimana dengan Jakarta? Daerah khususnya hilang, sedangkan status ibu kotanya tetap. Membingungkan? Ah, tidak. DPR bisa mengubah lagi undang-undang tentang ibu kota negara itu. Mahkamah Konstitusi saja bisa seenaknya mengubah undang-undang, tentu DPR sebagai pembuat undang-undang lebih mudah lagi mengobrak-abrik undang-undang.
Begitulah nasib IKN menjadi pertaruhan bagaimana membangun kota impian yang dikerjakan dengan tergesa-gesa. Ketergesaan membuahkan perencanaan yang tidak matang. Ujung-ujungnya adalah kesemrawutan. Dan itu bisa membuat biaya makin tinggi di tengah minimnya dana. Sebut saja rencana merayakan HUT Proklamasi 17 Agustus 2024 di IKN. Tidakkah justru membuat biaya makin tinggi hanya untuk mengejar gengsi—yang belum tentu diraih?
Mari kita selisik. Pidato kenegaraan Presiden dilangsungkan di Jakarta, lalu orang berbondong-bondong dibawa ke IKN. Apa bandar udara VVIP sudah siap? Kalaupun peserta turun di Balikpapan, apakah jalan tol sudah rampung? Pengibaran bendera pusaka ada di dua tempat. Di IKN dipimpin Presiden Joko Widodo dan di Istana Merdeka, Jakarta, dipimpin Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Yang dikibarkan memang duplikat bendera pusaka dan itu bisa dibuat dalam sekejap. Terus bendera pusaka yang asli ikut mendampingi di mana? Jakarta atau IKN? Lalu detik-detik proklamasi dengan tanda tembakan meriam pada pukul 10.00 ikut waktu mana, WIB atau Wita? Tidakkah semua ini akan mengurangi kesakralan perayaan HUT Proklamasi?
Orang akan senang jika Jokowi realistis. Batalkan perayaan HUT Proklamasi di IKN jika keppres pemindahan ibu kota negara belum ada. Tanpa ada keppres, status IKN masih kota angan-angan. Tak elok upacara kenegaraan yang resmi dilaksanakan di tempat tak patut. Ayolah Jokowi, Anda tak perlu tergesa-gesa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo