Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Trenggono akan kembali membuka ekspor benur lobster.
Ada syarat baru bagi calon eksportir benur.
Kerugian di depan mata ketika ekspor benur dibuka.
NIAT pemerintah membuka kembali ekspor benih bening atau benur lobster sungguh suatu kemunduran. Kebijakan ini bakal mengulang persoalan lama, dari eksploitasi besar-besaran sumber daya hayati yang seharusnya dilindungi hingga permainan yang berujung pada korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana pembukaan kembali ekspor benur lobster dinyatakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Alasan pemerintah membuka kembali ekspor benur adalah maraknya penyelundupan saat larangan penjualan ke luar negeri berlaku. Di mata pemerintah, izin ekspor benur akan memberikan penghasilan bagi nelayan yang belum mampu membudidayakan hewan krustasea ini. Pemerintah pun mengkaji syarat baru untuk ekspor, antara lain kewajiban investasi dan pembudidayaan di dalam negeri bagi perusahaan yang hendak memasarkan benur ke luar negeri.
Pemerintah berkali-kali mengubah kebijakan ekspor benur lobster. Pada 2016, Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan ketika itu, memberlakukan larangan ekspor dengan pertimbangan melindungi sumber daya hayati sekaligus mencari nilai tambah dari pengembangan benur di dalam negeri. Empat tahun kemudian, aturan tersebut diubah oleh Edhy Prabowo yang menggantikan Susi. Edhy membuka keran ekspor dengan alasan yang sama dengan yang dikemukakan Trenggono.
Pada masa inilah mudarat pembukaan ekspor benur terlihat manakala Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Edhy Prabowo karena menerima suap dari eksportir. Alih-alih mencegah penyelundupan, pembukaan ekspor benur malah menjadi ruang untuk kolusi dan korupsi. Manfaat penjualan benur bagi nelayan pun tak sebanding dengan nilai yang mereka terima jika menjual lobster dewasa. Sebagai perbandingan, harga benur yang diekspor hanya Rp 30-40 ribu, sementara harga lobster dewasa bisa mencapai Rp 2-4 juta. Nilai tambah inilah yang bakal diraih oleh Vietnam, yang selama ini menjadi pembeli benur lobster dari Indonesia.
Berkaca pada yang sudah terjadi, rencana Trenggono untuk membuka kembali ekspor benur sungguh ngawur dan menunjukkan inkonsistensi. Apalagi, pada awal masa jabatannya sebagai Menteri Kelautan, Trenggono menyatakan akan tetap melarang ekspor benur dengan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 17 Tahun 2021. Tindakannya yang bertolak belakang pun memicu pertanyaan, apa motif sesungguhnya dari pembukaan kembali ekspor benur lobster. Yang jelas, kelestarian benur yang menjadi kekayaan sumber daya perikanan nasional kian terancam.
Daripada mengubah-ubah aturan ekspor benur, alangkah baiknya jika pemerintah memikirkan kebijakan yang produktif. Dari menyusun peta jalan budi daya lobster, mengembangkan teknologi budi daya lobster yang efektif, membangun ekosistem yang melibatkan nelayan pembudi daya hingga eksportir, sampai membuka pasar dan merangkul buyer yang fair demi menciptakan nilai tambah optimal.
Sudah menjadi tugas pemerintah untuk menciptakan ekosistem yang memberikan nilai tambah pada komoditas sumber daya alam. Jika aktivitas ini berlangsung dengan benar, manfaat yang diterima oleh negara dan publik akan lebih besar ketimbang hanya mengekspor benih. Namun jangan pula mengulangi pola industri pertambangan, yakni penghiliran hanya menjadi justifikasi untuk eksploitasi mineral secara besar-besaran dan pemerkosaan lingkungan dengan kedok menarik investasi. Kebijakan yang seharusnya baik malah menjadi buruk.
Yang juga harus diingat, ekspor benur dalam jangka panjang bisa membunuh bisnis lobster itu sendiri. Ketika permintaan lobster dewasa naik dan benur di dalam negeri menipis karena ekspor besar-besaran, kita hanya bisa gigit jari dan menjadi importir bahan pangan yang bernilai tinggi itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo