Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keputusan pemerintah kembali mengurangi jumlah BUMN, dari 41 menjadi 30, perlu didukung.
Privatisasi BUMN merupakan langkah korporasi yang bisa membawa banyak manfaat.
Sebaliknya, menggabungkan lebih banyak perusahaan dalam holding BUMN dapat menambah beban negara.
UPAYA pemerintah mengkonsolidasikan badan usaha milik negara merupakan langkah rasional di tengah banyaknya perusahaan negara yang membebani anggaran. Saatnya pemerintah menghentikan pengucuran anggaran negara untuk BUMN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Badan Usaha Milik Negara kembali menggulirkan rencana pengurangan jumlah perusahaan pelat merah. Saat ini terdapat 41 perseroan, tapi yang menghasilkan keuntungan cuma 25. Sisanya merupakan "parasit" yang hidup dari pendanaan BUMN lain atau mengandalkan penyertaan modal negara—diusulkan Rp 57 triliun untuk 2024 dan 2025. Targetnya, hanya ada 30-an perusahaan negara hingga akhir tahun depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangkaian transformasi yang berlangsung sejak 2020 ini tidak semata bertujuan membentuk holding. Ada juga skema privatisasi alias penjualan BUMN kepada pihak swasta. Presiden terpilih, Prabowo Subianto, menyebut perhotelan sebagai sektor ekonomi yang tidak perlu dioperasikan langsung oleh negara.
Kita tidak perlu alergi terhadap privatisasi, apalagi mengaitkannya dengan nasionalisme. Penswastaan kerap membawa banyak manfaat, dari efisiensi operasional, dorongan inovasi, hingga peningkatan kualitas produksi. Hasil penjualan saham BUMN dapat pemerintah alokasikan untuk mengembangkan pelayanan publik.
Penswastaan perusahaan pelat merah merupakan langkah korporasi yang berlangsung di banyak negara. Di Jepang dan Inggris, misalnya, Japan Airlines dan British Airways sudah lama menjadi perusahaan swasta. Toh, nama negara tetap bisa dipertahankan meski keduanya tak lagi menjadi maskapai penerbangan nasional atau flag carrier.
Sebaliknya, mempertahankan suatu badan usaha di bawah ketiak pemerintah lebih banyak mudaratnya. Kerugian yang paling nyata adalah beban penugasan. BUMN kerap diwajibkan menjalankan proyek pemerintah, meski tidak layak secara komersial. Walhasil, perusahaan itu merugi. Ujung-ujungnya, negara pula yang harus menalangi kerugian tersebut. Contohnya PT Hutama Karya. Perseroan pengembang infrastruktur ini merugi hingga Rp 2 triliun per tahun akibat beban bunga dan amortisasi jalan tol Trans Sumatera.
Persoalan seperti itu tidak akan muncul jika perusahaan ditangani swasta. Maka privatisasi BUMN merupakan langkah yang tepat. Hakikat privatisasi BUMN tertera dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yaitu meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat.
Maka, sebelum pelepasan saham, perlu ada kajian menyeluruh untuk memastikan manfaat-manfaat itu bisa tercapai. Pelaksanaannya pun harus adil dan transparan. Jangan sampai penswastaan malah hanya mengalihkan kepemilikan kepada kroni-kroni penguasa.
Pemerintah juga perlu memikirkan ulang kebijakan pengelompokan BUMN. Garuda Indonesia dipertimbangkan masuk InJourney, holding BUMN sektor pariwisata. Grup perusahaan ini sudah kelewat besar. Di dalamnya ada PT Angkasa Pura sebagai pengelola bandar udara, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia, hingga PT Sarinah sebagai peretail. Praktik ini tidak menciptakan kompetisi yang sehat dan mengarah pada monopoli. Grup besar ini dibentuk pada 2021 dan menelan penyertaan modal negara lebih dari Rp 10 triliun, termasuk untuk menambal ongkos penyelenggaraan MotoGP 2022 di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, yang boncos Rp 200 miliar.
Sudah waktunya negara tidak lagi terbebani urusan-urusan korporasi. Cukuplah pemerintah berperan sebagai regulator, bukan operator bisnis. Ibarat turnamen olahraga, adanya pemain yang merangkap panitia dipastikan menghasilkan pertandingan yang tidak bermutu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Karena Negara Bukan Pelaku Niaga".