Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Revolusi Arab: Awal Sebuah Cerita

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Ja’far*)

Berbagai revolusi mengekspresikan diri berbeda-beda. Masing-masing memiliki cara tersendiri merumuskan kritiknya terhadap masa lampau maupun aspirasinya mengenai masa depan.” Demikian tulis Bernard Lewis dalam The Political ­Language of Islam (Gramedia, Terj: 1994, h.1).

Lewis benar, revolusi adalah persepsi masa lalu, kesadaran tentang kekinian, dan peraihan masa depan yang lebih baik. Namun, bagi Edward Said, paradigma Lewis bias Barat. Pendefinisian Lewis tentang kata tsawrah (revolusi) dinilai Said sangat tendensius, konotatif, dan peyoratif (Ibid: h. xxxi).

Apa Revolusi Arab?

Revolusi marak di Arab pada 2011, dari Tunisia, Mesir, Libya, hingga Yaman. Jika aksi tersebut merupakan hasil refleksi atas masa lalu menjadi kesadaran pada masa kini, seperti rumus Lewis, lalu bagaimana mereka mengkonstruksi masa depan pascarevolusi?

Pengalaman teraktual kawasan Timur Tengah tentang revolusi adalah revolusi Islam Iran pada 1979. Ada faktor teologi di dalamnya. Energi perlawanan kaum mustada’fin melawan penguasa dholim, salah satu ajaran dasar teologi Syiah. Aristokrasi kekuasaan Pahlevi, yang bergaya hidup mewah di atas penderitaan ekonomi rakyatnya, menjadi api pengobarnya.

Ada juga elemen ideologis dalam revolusi Iran. Islam menjadi tameng sekaligus pedang perlawanan menghadapi rezim. Konstruksi tafsir atas ayat dan ajaran Islam hadir dalam format yang mampu melahirkan kesadaran kuat untuk mengubah tata kelola hidup bernegara dan bersosial.

Kebudayaan juga memainkan peran penting. Pahlevi bangga akan kekuasaannya yang berkolaborasi dengan Barat sebagai metamorfosis kejayaan Kerajaan Persia. Bagi rakyat Iran, itu justru bentuk manipulasi historis atas tafsir kebudayaan masa lalu mereka. Kaum revolusioner menggambarkan orang Iran yang ter-Barat-kan, dengan Pahlevi sebagai simbol utamanya, sebagai partikel debu yang tersendat di udara, dan tak menyentuh baik langit maupun bumi (Karen Armstrong: h. 517). Misi revolusi adalah memusnahkan Westtoxication (keracunan Barat) dan mengembalikan khitah kebudayaan mereka.

Tiga anasir ini, teologi, ideologi, dan kebudayaan, menjadi satu gerakan politik. Akumulasi persepsi atas masa lalu (kebudayaan), kekecewaan pada masa kini (ekonomi-politik), dan mimpi perubahan di masa depan (teologis-ideologis).

Sedangkan revolusi di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman adalah bentuk kekecewaan terhadap kekuasaan represif dan kefrustrasian terhadap hegemoni ekonomi. Ironisnya, rezim-rezim otoriter tersebut justru akrab dengan negara-negara pendorong prinsip demokrasi. Zein al-Abidin bin Ali, Husni Mubarak, Ali Abdullah Saleh, dan bahkan Muammar Qadhafi di periode akhir pemerintahannya memiliki hubungan mesra dengan pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Nalar publik tak bisa mencerna alur logika tersebut. Solusinya: kekuasaan harus ditumbangkan. Sebab, mekanisme demokrasi, seperti pemilihan umum, tak mumpuni dijadikan alat perlawanan. Sampai di sini, logika terjadinya revolusi Arab mirip penyebab revolusi Iran.

Perlawanan

Muncul perlawanan menumbangkan kekuasaan, mewakili beragam kelompok aliran politik. Kelompok politik Islam, moderat, dan liberal muncul di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman. Namun filosofi gerakannya baru sebatas oposisi biner. Kelompok Islam menawarkan tata kekuasaan islami, hasil pembalikan pola kekuasaan sebelumnya yang ”tidak islami”. Secara teologis, kita menunggu konsep teologi Sunni yang akan menjadi visi pemerintahan pascarevolusi di Mesir, Tunisia, atau Libya.

Kelompok moderat menjanjikan kekuasaan egaliter. Namun belum ada tawaran yang terang tentang reposisi relasi politik dengan Eropa dan Amerika Serikat, mitra strategis rezim sebelumnya. Ranah budaya bisa memberikan jawabannya. Sementara revolusi Iran bertopang pada budaya Persia, revolusi ini seharusnya bersanggah pada basis budaya Arab.

Sementara itu, kelompok liberal menjanjikan demokrasi yang ”logis”. Namun mereka belum bisa memberikan klarifikasi konseptual tentang praktek ”politik ambivalen” oleh kekuasaan sebelumnya.

Kelompok yang lahir dari rahim revolusi Timur Tengah saat ini sudah menawarkan janji, tapi masih minus visi. Teologi, ideologi, dan kebudayaan menjadi anasir-anasir parsial sebatas sebagai senjata perlawanan dan janji perubahan.

Konsekuensinya: intervensi dan kooptasi sangat rentan terjadi. Demonstran kembali memadati Tahrir Square, Mesir, karena melihat militer yang perlahan-lahan berupaya mengkooptasi arah revolusi. Di Tunisia, meski pemilu sukses, belum jelas blueprint politik negeri itu di tangan para pemenangnya. Revolusi ini baru awal dari sebuah cerita baru.

*) Peneliti Indopol Research Center. Pengamat Politik Timur Tengah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus