Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELAKU industri digital, bersiaplah, badai itu telah tiba. Rontoknya sejumlah perusahaan rintisan atau startup digital sejak awal tahun ini menjadi sinyal bahwa industri berbasis teknologi tak kebal krisis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pekan lalu kita dikejutkan oleh kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk alias GoTo. Ada 1.300 atau 12 persen dari karyawan GoTo yang terpaksa diberhentikan dari pekerjaannya. Manajemen GoTo beralasan PHK massal ini dipicu oleh “tantangan makroekonomi global”. Dengan kata lain, decacorn atau perusahaan dengan valuasi di atas US$ 10 miliar (sekitar Rp 157 triliun) ini terkena dampak lesunya kondisi ekonomi yang terjadi di seluruh dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan cuma GoTo, e-commerce Shopee, startup teknologi pendidikan Ruangguru, hingga perusahaan teknologi keuangan atau fintech LinkAja juga diterjang badai PHK. Alasannya sama, perampingan jumlah pegawai tak terhindarkan di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan. Tapi mungkin perusahaan-perusahaan ini masih beruntung lantaran tetap bisa beroperasi mengingat banyak startup digital yang bangkrut. Sebut saja startup e-commerce furnitur Fabelio, penyedia akomodasi Airy Rooms, dan e-commerce fashion Sorabel yang terpaksa tutup lapak lantaran kalah bersaing atau modal yang cekak.
Kondisi ini dihadapi pelaku industri digital di seluruh dunia. Perusahaan raksasa seperti Meta Platform (induk usaha Facebook), Twitter, dan Amazon pun terpaksa memangkas jumlah karyawan besar-besaran. Yang membuat khawatir, badai ini mungkin berlangsung lama karena belum ada yang tahu kapan resesi ekonomi akan berakhir. Walhasil, gelombang PHK dan tingginya angka penganggur tak cuma mengancam pekerja kerah biru seperti buruh pabrik tekstil atau pabrik sepatu. Pekerja industri digital yang rata-rata berpendidikan tinggi juga kini dihantui PHK.
Lesunya perekonomian di sejumlah negara maju membuat seret arus modal untuk industri digital. Laporan berjudul “State of Venture Q3’22” yang dirilis lembaga riset CB Insights menyebutkan penurunan arus modal ventura terjadi sejak awal tahun ini. Pendanaan ventura di kuartal I 2022 mencapai US$ 142,1 miliar, turun 20,2 persen dari kuartal sebelumnya. Sedangkan arus modal ventura pada kuartal II dan III melorot dari US$ 112,6 miliar menjadi US$ 74,5 miliar. Tren ini pada akhirnya akan berdampak terhadap startup digital di Indonesia, yang masih bergantung pada pendanaan perusahaan modal ventura asing.
Sedangkan hasil riset Google, Temasek, dan Bain & Company memberi catatan penting: nilai investasi bisnis digital menurun karena investor mengutamakan profitabilitas. Dengan kata lain, tak ada modal untuk startup yang merugi. Perusahaan digital harus beroperasi dengan efisien, tak lagi membakar uang demi menarik pengguna. Ini pula yang akhirnya memicu gelombang PHK hingga kebangkrutan startup digital.
Situasi genting ini menjadi pengingat bahwa startup digital kita ada di posisi rawan. Valuasi yang sempat menggelembung selama bertahun-tahun kini ada kemungkinan meletus. Jika ini terjadi, ada bahaya besar, yakni ledakan penganggur tenaga kerja terdidik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo