Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KIKA mendorong para dosen bersatu dalam serikat buruh.
Serikat itu sebagai wadah untuk mengatasi masalah bersama, seperti kebijakan pemerintah.
Dosen kini menggugat peraturan Menteri PAN yang dinilai menekan kebebasan akademik.
Herdiansyah Hamzah
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dan Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjelang Hari Buruh, yang jatuh pada 1 Mei, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menegaskan bahwa dosen adalah buruh dan mendorong dosen membentuk serikat buruh untuk menghadapi berbagai tekanan, terutama birokrasi pemerintah, dan berbagai masalah. Salah satu masalah yang menggelisahkan dosen belakangan ini adalah terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan itu dibikin tanpa partisipasi pengajar dan cenderung menundukkan dosen ke bawah birokrasi. Sejauh ini, protes para dosen hanya dijawab pemerintah dengan menerbitkan surat edaran, padahal seharusnya dijawab dengan perubahan kebijakan yang fundamental. Surat edaran itu tidak menyelesaikan masalah. Ibarat punggung yang gatal, malah kepala yang digaruk.
Tanpa Partisipasi
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan mewajibkan partisipasi publik. Tidak hanya untuk memenuhi pemenuhan syarat formal semata, tapi juga untuk memastikan keterlibatan setiap warga negara dalam merumuskan kebijakan yang menentukan masa depannya. Inilah yang tidak ditemukan dalam pembentukan peraturan menteri baru itu.
Ada kesan bahwa pembentukan peraturan itu tidak membutuhkan persetujuan civitas academica sehingga ruang debat dan diskusi seolah-olah diharamkan serta kritik ditabukan. Ini jelas situasi yang tidak sehat. Akibat “aksi sepihak” itu, para dosen melancarkan protes kolektif karena merasa ruang partisipasinya ditutup. Padahal, jika ruang partisipasi itu sungguh-sungguh dibuka, tentu mereka akan memberikan masukan sekaligus legitimasi terhadap regulasi baru itu.
Mahkamah Konstitusi telah menggariskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna. Partisipasi semacam itu harus memenuhi syarat, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terkena dampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Apakah dosen, yang terkena dampak langsung atas pemberlakuan peraturan itu, telah dilibatkan? Ini salah satu masalah utamanya. Mungkin Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memahami tata kelola dan manajemen aparatur sipil negara pada umumnya, tapi belum tentu memahami dengan benar manajemen dosen dan perguruan tinggi dengan segala dinamikanya. Intinya, medan kerja dosen hanya dapat dipahami dengan baik oleh dosen sendiri. Untuk bertani, bertanyalah kepada petani, bukan kepada nelayan. Karena itulah partisipasi dosen begitu esensial dalam pembentukan regulasi ini. Lucu rasanya jika kementerian yang seharusnya menjadi pelopor utama reformasi birokrasi justru mengabaikan partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakannya.
Penundukan
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa desain tata kelola jabatan fungsional sebagaimana yang diatur dalam peraturan baru ini adalah upaya penundukan terhadap dosen. Kekhawatiran ini setidaknya didukung oleh beberapa alasan. Pertama, regulasi itu mengatur proses penilaian kinerja pejabat fungsional yang meliputi evaluasi kinerja dosen. Bahkan penilaian kinerja ini secara terang diorientasikan untuk pemenuhan harapan pimpinan, pencapaian kinerja organisasi, hingga perilaku kerja.
Predikat kinerja dosen berupa sangat baik, baik, cukup, kurang, atau sangat kurang. Semua penilaian ini ditentukan oleh selera subyektif pimpinan masing-masing. Model penilaian kinerja semacam ini jelas akan membuka ruang penilaian berdasarkan “suka atau tidak suka” dari pimpinan. Dampaknya, dosen yang masih memiliki “mentalitas kuli” akan berlomba mencari muka asalkan “bos senang” demi penilaian terbaik dari pimpinan.
Kedua, integrasi kinerja dosen ke dalam mesin kerja birokrasi. Artinya, dosen tidak lagi memiliki keleluasaan untuk menjalankan tugasnya secara individual, tapi wajib bekerja sesuai dengan tujuan organisasi masing-masing. Kreativitas dibunuh atas nama institusi.
Sebagai pendidik dan ilmuwan yang memiliki tugas utama untuk mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi, dosen tidak lagi bekerja untuk publik dan kepentingan kemanusiaan, melainkan untuk pimpinan dan kekuasaan. Integrasi dosen ke dalam mesin kerja birokrasi ini sudah tampak pada bagian konsideran “menimbang” dalam peraturan tersebut, yang hanya melihat dengan kacamata kuda pada aspek “manajemen ASN” an sich. Tidak ada rujukan dan pertimbangan yang berkaitan dengan manajemen kinerja dosen.
Ketiga, beban administratif yang semakin berat. Beban ini akan membuat dosen membangun menara gadingnya sendiri yang terasing dengan tugas dan kewajibannya dalam hal pendidikan, penelitian, ataupun pengabdian kepada masyarakat. Peraturan ini membuat dosen berkejaran dengan waktu akibat adanya tenggat pengumpulan dokumen kinerja Tri Dharma Perguruan Tinggi. Penumpukan kerja-kerja administratif pada akhirnya sulit dihindari.
Peraturan itu menyebutkan bahwa hasil kerja pejabat fungsional yang dilaksanakan sampai 31 Desember 2022 tetap dinilai angka kreditnya. Meski demikian, proses penilaian tersebut dilaksanakan paling lambat 30 Juni 2023. Ini diperparah oleh sistem dan aplikasi pengisian yang lagi-lagi berbeda dengan sistem dan aplikasi yang digunakan sebelumnya. Sadar atau tidak sadar, dosen telah benar-benar ditundukkan oleh mesin birokrasi kekuasaan. Dosen hendak dipisahkan dari fungsi dan tugas utamanya sebagai intelektual.
Serikat Dosen
Yang menarik adalah respons para dosen terhadap peraturan ini. Semua tampak marah dan mengeluh, tapi gamang harus berbuat apa. Suatu persoalan tidaklah cukup dihadapi dengan kemarahan. Kemarahan itu harus dikelola dengan baik. Inilah pentingnya serikat bagi dosen. Ia akan menjadi wadah untuk menumpahkan keresahan, merumuskan strategi, dan memperjuangkannya secara kolektif. Keresahan kolektif kita terhadap peraturan baru itu seharusnya dijadikan momentum untuk dengan rendah hati melancarkan otokritik. Respons kita tercerai-berai. Asyik berjalan dengan warna bendera kampus masing-masing. Hanya serikatlah yang mampu merekatkan dan mengkonsolidasikan kita dengan baik.
Setidaknya ada tiga fungsi pokok serikat bagi dosen. Pertama, ia menjadi alat perjuangan untuk mendapatkan kebebasan akademik sepenuhnya, perjuangan atas kesejahteraan, perjuangan terhadap kepastian kerja, hingga perjuangan untuk mendapatkan waktu libur yang cukup.
Kedua, serikat sebagai wadah persatuan. Kita kuat karena bersatu. Dengan bersatu pulalah posisi tawar kita jauh lebih kuat terhadap kekuasaan dan kebijakannya yang menindas. Gagasan persatuan tentu tidak cukup hanya dibenamkan di kepala, tapi harus diterjemahkan ke dalam wadah yang bernama serikat.
Ketiga, serikat sebagai tempat untuk memupuk solidaritas. Seharusnya kita tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat kampus. Satu kampus milik bersama tanpa batas dan tanpa penindasan. Masalah di satu kampus adalah masalah kita bersama karena kita semua adalah buruh. Dan buruh tidak mengenal batas wilayah, jenis kelamin, ataupun warna almamater. Dosen se-Indonesia, bersatulah.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo