Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rusdi Kirana mendirikan maskapai penerbangan baru di tengah restrukturisasi utang Grup Lion Air.
Grup Lion Air dibelit utang besar di tengah pandemi Covid-19.
Maskapai Grup Lion Air menjadi tulang punggung jalur logistik dan penerbangan Indonesia.
LANGKAH Rusdi Kirana menyelamatkan kerajaan bisnis dari kebangkrutan harus disikapi hati-hati oleh pemerintah. Meski ikhtiar pemilik Grup Lion Air itu menyiapkan sekoci baru merupakan praktik wajar dalam dunia usaha, aksi korporasi tersebut jangan sampai membebani negara. Pemerintah selayaknya mengantisipasi pelbagai kemungkinan bila penguasa industri penerbangan Tanah Air itu gulung tikar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui anak dan kemenakannya, Rusdi mendirikan Super Air Jet dan Flyindo Aviasi Nusantara. Pendirian perusahaan baru ini mengemuka di tengah tarik-ulur restrukturisasi utang antara Grup Lion dan sejumlah kreditor, termasuk dengan lessor. Di tengah terseoknya bisnis penerbangan akibat pandemi Covid-19, pemerintah sepatutnya mendukung upaya penyelamatan yang dirintis perusahaan penerbangan. Apalagi Grup Lion selama ini punya andil besar menyokong bisnis penerbangan dan logistik nasional. Perusahaan ini banyak melayani rute yang tidak diterbangi maskapai penerbangan lain, termasuk penerbangan ke wilayah timur Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak mengherankan bila tahun lalu perusahaan Rusdi Kirana ini menguasai pangsa pasar penerbangan nasional, yakni sebesar 60,70 persen. Angka itu jauh di atas pangsa pasar Grup Garuda Indonesia, yang bertengger di urutan kedua dan menguasai 28,36 persen. Meski menukik akibat pandemi, akumulasi jumlah penumpang Lion Air, Batik Air, dan Wings Air—tiga maskapai penerbangan Grup Lion—masih jauh lebih besar ketimbang total penumpang Citilink dan Garuda Indonesia.
Berkaca pada angka-angka itu, limbungnya bisnis Grup Lion Air jelas akan merembet ke sektor usaha pendukung lain. Dari naiknya ongkos logistik hingga tergerusnya mobilitas penumpang. Kita tentu tak ingin hal itu terjadi.
Hanya, pemerintah tidak boleh terlalu jauh ikut campur dalam proses restrukturisasi yang sedang berlangsung antara Lion dan lessor. Apalagi sampai menanggung risiko dengan menjamin perusahaan tersebut. Pemerintah tak boleh mengorbankan uang pajak masyarakat untuk menyelamatkan bisnis swasta. Biarlah seluruh proses negosiasi diselesaikan melalui mekanisme bisnis biasa.
Sebagai regulator, Kementerian Perhubungan juga harus memastikan Super Air Jet mematuhi aspek keselamatan. Tekanan ekonomi dalam industri penerbangan bukan alasan untuk mengorbankan keselamatan, apalagi sampai menyunat anggaran pemeliharaan pesawat—bagian terpenting dari unsur keselamatan.
Tak hanya mencoreng nama perusahaan, rentetan kecelakaan pesawat di masa lalu telah merusak reputasi Indonesia. Otoritas penerbangan Amerika Serikat dan Uni Eropa bahkan sempat melarang pesawat Indonesia melintas di kawasan udara mereka. Selama bertahun-tahun, audit keselamatan penerbangan yang dilakukan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional memberikan ponten buruk kepada Indonesia. Kejadian ini tidak boleh terulang.
Yang tak kalah penting adalah menyikapi hasil negosiasi Grup Lion dengan lessor dan pemegang surat utang. Dengan jumlah kewajiban yang cukup besar, macetnya kelompok bisnis melunasi tumpukan utang bukan tidak mungkin akan memicu gejolak di pasar keuangan. Buntutnya: peringkat surat utang Indonesia ambrol, harga obligasi turun, dan imbal hasil naik. Biaya utang pemerintah pun melonjak.
Pelbagai kemungkinan buruk itu harus pemerintah antisipasi dari sekarang. Jangan sampai persoalan utang Lion membuat industri penerbangan hancur lebur dan obligasi pemerintah di pasar keuangan dunia ikut babak-belur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo