Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK ada yang mengejutkan dari keputusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi ketika menjatuhkan sanksi etik kepada dua penyidik kasus korupsi dana bantuan sosial Covid-19 di Kementerian Sosial. Tak perlu pula tercengang ketika Dewan Pengawas tidak melindungi penyidik yang telah sukses membongkar kasus korupsi. Apa pun bisa terjadi bila lembaga antikorupsi telah berubah menjadi mesin kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Revisi Undang-Undang KPK telah mengubah komisi antirasuah itu menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif. Dengan kekuasaan eksekutif yang besar seperti sekarang, lembaga hukum itu dapat menjadi monster yang digunakan untuk menekan siapa pun. Jika diperlukan, KPK bisa membela mereka yang dekat dengan kekuasaan. Sanksi etik terhadap penyidik KPK, Mochamad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga, adalah salah satu contohnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Pengawas KPK menghukum Praswad dan Prayoga karena mereka dianggap melanggar kode etik dan pedoman perilaku. Mereka diperiksa atas laporan salah seorang saksi kasus korupsi bansos Covid-19, Agustri Yogaswara, yang mengaku dirundung dan dilecehkan oleh kedua penyidik tersebut pada saat pemeriksaan di kantor KPK dan penggeledahan di kantor Agustri. Ia mengaku penyidik memakinya dengan kata-kata kasar, seperti “gila”, “setan”, dan “benturin kepala ke dinding”, dalam pemeriksaannya sebagai saksi kasus korupsi bansos. Dewan Pengawas menilai perlakuan penyidik itu melanggar Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020.
Praswad mendapat sanksi berupa pemotongan gaji pokok sebesar 10 persen selama enam bulan. Adapun Prayoga menerima teguran tertulis pertama yang berlaku selama tiga bulan. Praswad dan Prayoga meyakini tindakan mereka masih sesuai dengan aturan. Kata-kata yang dianggap kasar, misalnya, muncul sebagai reaksi penjelasan Agustri yang dianggap bohong.
Kedua penyidik mengajukan pembelaan ke Dewan Pengawas yang isinya menyatakan pelaporan itu berkaitan dengan upaya pihak tertentu untuk menghentikan penyidikan kasus korupsi bansos. Yang paling mengkhawatirkan adalah keputusan Dewan Pengawas ini dapat menjadi celah lolosnya tersangka utama kasus korupsi bansos, yakni mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara.
Keputusan Dewan Pengawas ini merupakan preseden buruk bagi penyidikan kasus korupsi di KPK. Mereka yang beperkara di KPK dapat melakukan hal serupa agar bebas di pengadilan. Dewan Pengawas seharusnya paham bahwa pelapor adalah orang yang berkaitan dengan kasus korupsi bansos, sehingga majelis hakim etik tak dapat melepaskan begitu saja peran Agustri dalam kasus itu. Agustri diduga berperan sebagai operator untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ihsan Yunus. Ia diduga berkali-kali menerima fee dari vendor bantuan sosial, yang menjadi jatah Ihsan.
Pemberian sanksi kepada dua penyidik KPK ini membuktikan bahwa masyarakat tak bisa berharap kepada Dewan Pengawas. Para pegiat antikorupsi sebaiknya berhenti berilusi bahwa Dewan Pengawas bisa menjadi teman seiring untuk memperbaiki KPK. Anggota Dewan Pengawas yang selama ini memiliki rekam jejak baik—Albertina Ho, Syamsuddin Haris, Harjono, dan Tumpak Hatorangan Panggabean untuk menyebut beberapa—nyatanya tak lebih dari perpanjangan tangan kekuasaan eksekutif yang bertugas melanggengkan kerusakan KPK.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo