Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKOB Oetama, salah satu pendiri Kompas, pernah membandingkan pola kepemimpinannya dengan Goenawan Mohamad. “Di Kompas, kami punya Bapak. Di Tempo, Anda hanya punya Mas,” kata Jakob. Di Kompas Jakob dipanggil “Pak Jakob”, sedangkan di Tempo Goenawan disebut “Mas Goen” belaka (Janet Steele, 2007). Sebutan ini menunjukkan bagaimana relasi antara atasan dan bawahan. Hubungan di Tempo egaliter dan di Kompas cenderung paternalistis, setidaknya saat komentar itu terucap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Paternalisme memang mewabah di republik ini. Seperti dibabar Saya Sasaki Shiraishi dalam Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (2009), pola hubungan bak bapak-anak ini terjadi dari lingkungan rumah, sekolah, kantor, sampai negara. Presiden Soeharto, misalnya, memimpin negara sambil berpikir bahwa dia adalah bapak yang tahu segalanya, sedangkan menteri dan rakyat adalah anak-anak yang tak tahu apa-apa sehingga selalu butuh arahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski berlepotan, saya terbiasa menggunakan bahasa Jawa kromo di rumah. Pembiasaan ini membuat saya nyaris otomatis menggunakan bahasa itu setiap kali bercakap-cakap dengan orang yang terlihat lebih tua. Artinya, saya memposisikan diri lebih rendah daripada mereka, bagai anak dengan bapak. Saya memanggil mereka “pak” atau “bu” dan mereka akan menyebut saya “mas”.
Relasi bapak-anak yang sering saya bangun ini suatu saat mendapat tantangan dari tempat tak terduga: tempat pangkas rambut. Saat saya duduk dan menatap cermin, si tukang cukur, yang usianya mungkin sekitar sepuluh tahun di atas saya, bertanya menggunakan ngoko, “Mau model gimana, Om?” Seketika saya kebingungan. Ini pertama kalinya saya dipanggil “om” oleh orang dewasa selain kakak (ipar) atau orang tua. Dengan sebutan apa saya harus menimpalinya? Pak, pakde, paklik, atau om juga? Saya belum pernah mendengar orang saling menyebut “om” laiknya orang saling memanggil “mas”, “mbak”, “pak”, “bu”, atau “bro”.
“Om” baru masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia pada edisi kedua (1991). Di situ, “om” berarti adik laki-laki ayah atau panggilan kepada lelaki dewasa. Kendati baru tercatat pada 1991, kata ini sudah digunakan jauh sebelumnya, meski kadang dengan ejaan bahasa Belanda. Kartun editorial Kompas yang muncul pada 1967, misalnya, dinamai Oom Pasikom. Dalam Kamus Saku Belanda Indonesia-Indonesia Belanda susunan Thrion dan Patty (2012), oom berarti paman.
Kartunis G.M. Sudarta, pembikin karakter itu, membayangkan bahwa Oom Pasikom adalah seorang yang tidak berpihak kepada siapa pun, independen, dan berdiri di atas angin (Kompas, 2017). Gambaran seperti itu berarti membuat sosok om tidak bergantung sebagaimana anak pada orang tuanya dan tidak terikat selayaknya bapak dengan keluarganya. Selain Oom Pasikom, tokoh om yang cukup dikenal adalah Ben Anderson (1936-2015).
Seperti diceritakan novelis Eka Kurniawan (2016), Indonesianis ini memang mengenalkan diri sebagai Om Ben alih-alih Pak Ben atau Prof Ben. Ben dikenal sebagai orang konyol dan gemar mengolok-olok, dan salah satu sasaran favoritnya adalah Orde Baru—ia menyebutnya Orde Babe. Pengenalan diri sebagai om barangkali cara Ben mencemooh citra bapak yang dibangun Orde Baru.
Sementara sebutan “bapak” terkesan formal dan birokratis, panggilan “om” terasa kasual. Mungkin itu sebabnya tokoh-tokoh om yang kini populer hampir bisa dipastikan bukan dari kalangan birokrat. Untuk menyebut contoh adalah Om Iwan (Fals), Om Deddy (Corbuzier), dan Om Indro (Warkop). Akan ada nuansa berbeda jika kita menyebut tiga nama ini sebagai “pak”.
“Berapa?” tanya saya dalam ngoko. “Sepuluh ribu, Om,” kata si tukang cukur. “Matur nuwun,” ujar saya setelah menyerahkan selembar uang. Sampai saat terakhir, saya tak sempat menemukan sebutan yang tepat untuknya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Om"