Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALAH satu warisan buruk Orde Baru adalah persekongkolan koruptif antara penguasa dan pebisnis culas. Pelembagaan koncoisme tersebut berdampak buruk bagi perekonomian nasional karena menciptakan ketimpangan dan persaingan usaha yang tidak sehat. Seperempat abad Orde Baru berlalu, praktik lancung itu terus terjadi, bahkan mungkin menjadi-jadi. Berbeda waktu dan pelaku, modus operandinya tak berubah: pelaku bisnis yang dekat dengan penguasa mendapat keuntungan ekonomi secara eksesif dari eksploitasi sumber daya alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepak terjang Windu Aji Sutanto adalah bukti bagaimana praktik beking-membeking oleh penguasa dan petinggi lembaga penegak hukum tak pernah hilang. Mengandalkan status pemimpin tim relawan Joko Widodo wilayah Brebes, Jawa Tengah, pada Pemilihan Umum 2014, Windu mendapat kesempatan menggaruk nikel di area milik PT Aneka Tambang Tbk di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Kepada rekan bisnisnya, ia juga kerap mengaku dekat dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selasa, 18 Juli lalu, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara menetapkan pemilik PT Lawu Agung Mining itu sebagai tersangka penambangan nikel ilegal. Potensi kerugian negara dari penambangan itu mencapai Rp 5,7 triliun. Menengok kiprah Windu di Blok Mandiodo, sulit percaya tidak ada orang kuat di belakangnya. Sebenarnya area tambang seluas 3.400 hektare bisa dikelola dan dimanfaatkan sendiri oleh PT Aneka Tambang atau Antam, pemilik sah konsesi. Namun perusahaan negara itu pada Desember 2021 secara sukarela menjalin kerja sama operasi dengan perusahaan Windu, yang lebih dulu menggandeng perusahaan daerah, untuk menguasai sebagian area yang memiliki cadangan lebih dari 7 juta ton bijih nikel tersebut.
Investigasi majalah ini pada awal 2023 menemukan PT Lawu Agung tak hanya menambang di wilayah konsesi milik Antam, tapi juga di luar area konsesi, bahkan di kawasan hutan tanpa dilengkapi izin, serta menampung nikel ilegal dari perusahaan-perusahaan lain. Aktivitas ini nyaris tak terjamah hukum karena dilakukan melalui jual-beli dokumen yang berlapis dan pemberian upeti kepada aparat penegak hukum di pusat dan daerah. Dalam tiga tahun, nilai nikel yang dikeruk kelompok Windu di Blok Mandiodo setidaknya Rp 21,6 triliun.
Di tempat lain, Windu juga menyediakan jasa pengurusan perkara hukum, bidang yang amat memerlukan koneksi kuat dengan pejabat. Dari dokumen pemeriksaan tersangka korupsi pembangunan base transceiver station (BTS) 4G yang sedang disidik Kejaksaan Agung, Windu bersama koleganya, Setyo Joko Santoso, ditengarai menerima duit Rp 75 miliar untuk mengurus perkara yang merugikan negara Rp 8,03 triliun itu. Bualan dapat menghentikan kasus disampaikan Windu dengan menyinggung kedekatannya dengan Inspektur Jenderal Karyoto, Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, yang sebelumnya Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Baca liputannya:
- Bagaimana Windu Aji Sutanto Membangun Jaringan Penegak Hukum
- Profil Windu Aji Sutanto, Tersangka Penambangan Nikel Ilegal
- Temuan Jaksa Menetapkan Windu Aji Sutanto Tersangka Nikel Ilegal
- Modus Perusahaan Windu Aji Sutanto Lolos Menambang Nikel Ilegal
Melihat besarnya uang yang beredar dalam urusan tambang dan pengaturan perkara, patut dicurigai Windu berada dalam sindikat besar bersama orang berpengaruh dan petinggi lembaga penegak hukum. Tali-temali hubungan makelar kasus dengan pejabat penegak hukum tak sekadar memberi keuntungan finansial kepada kedua pihak, tapi juga berpengaruh pada mutasi dan rotasi jabatan sang pejabat. Sudah lama jadi omongan: makelar kasus dapat memindahkan pejabat yang “tak kooperatif” dan menaikkan pangkat mereka yang bisa diajak “cincai”.
Penyidik Kejaksaan Agung tidak cukup hanya menyeret Windu Aji Sutanto dalam pengusutan perkara tambang ilegal dan pengaturan perkara korupsi BTS. Pengakuan para terdakwa, termasuk Windu, nantinya bisa menjadi pintu masuk untuk menyeret orang berpangkat yang selama ini menjadi mitra Windu dalam kejahatan. Sudah bertahun-tahun simbiosis mutualisme pejabat negara dan petinggi lembaga penegak hukum dengan pengusaha nakal menjadi penghalang bagi penegakan pemerintahan yang bersih.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Beking Pemain Tambang Ilegal"