Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejak awal, penyidik Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara meyakini Windu Aji Sutanto terlibat kasus tambang nikel ilegal.
Ia menyeret nama Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam sengketa tambang Blok Mandiodo.
Windu termasyhur sebagai makelar perkara.
GONJANG-GANJING kasus tambang nikel ilegal di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara, merembet hingga gedung Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung. Pemeriksaan tim Jaksa Agung Muda Pengawasan menyimpulkan Direktur Ekonomi dan Keuangan Jaksa Agung Intelijen Raimel Jesaja terlibat pemerasan terhadap sejumlah pengusaha tambang nikel di Kabupaten Konawe Utara tersebut. Karena melanggar aturan disiplin berat, jaksa pengawas merekomendasikan Raimel dicopot. Kewenangannya sebagai jaksa ikut dicabut. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengabulkan rekomendasi itu. “Disetujui pencopotannya karena ada hasil rekomendasi,” katanya kepada Tempo pada Sabtu, 22 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raimel baru lima bulan menjadi direktur. Pada 2 Maret 2022 hingga Februari lalu ia menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara. Pada September 2022, PT Aneka Tambang Tbk melaporkan dugaan penambangan nikel ilegal di area konsesi mereka di Konawe Utara. Penyidikan kasus itu mandek hingga berbulan-bulan. Rupanya, Raimel diduga menerima setoran dari para pengusaha tambang yang terlibat. Salah satunya dari manajemen PT Lawu Agung Mining, mitra kerja sama operasi PT Aneka Tambang atau Antam yang mengelola wilayah konsesi tambang nikel di Blok Mandiodo. Raimel juga ditengarai memeras sejumlah perusahaan subkontraktor yang digandeng PT Lawu Agung. Para jaksa menyebutkan nilai suapnya mencapai miliaran rupiah.
Windu Aji Sutanto berjalan menuju mobil tahanan di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung, Jakarta, 18 Juli 2023/Tempo/M Taufan Rengganis
Kasus tambang nikel ilegal Blok Mandiodo mencuat setelah terbitnya laporan investigasi majalah Tempo berjudul “Pencahar Nikel Ilegal” pada edisi 23-29 Januari 2023. Laporan itu menemukan PT Lawu Agung Mining menambang di kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka menjual bijih nikel menggunakan dokumen abal-abal ke smelter lain. Sepuluh hari kemudian, Jaksa Agung mencopot Raimel sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara.
Dihubungi lewat sambungan telepon, Raimel mengaku sedang tak sehat. Ia menolak menjelaskan detail sanksi dari Jaksa Agung. “Kapan-kapan kita bisa bertemu langsung, ya,” ujarnya.
Baca: Bersih-bersih Blok Mandiodo
Seseorang yang mengetahui pencopotan Raimel mengatakan Sanitiar Burhanuddin merasa gerah atas ulah Raimel. Soalnya, Burhanuddin menerima informasi bahwa Raimel mengklaim uang yang ia terima dari PT Lawu Agung disebar untuk menyawer petinggi Kejaksaan Agung. Informasi yang diterima Jaksa Agung menyebutkan pemberi suap untuk Raimel adalah Windu Aji Sutanto, pemilik PT Lawu Agung.
Lokasi tambang ilegal di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Antam (Persero) di Blok Mandiodo pada 27 Januari 2023/Tempo/Linda Trianita
Manajemen perusahaan subkontraktor PT Lawu Agung yang dimintai uang suap melaporkan hal itu ke Kejaksaan Agung. Dari penyelidikan para jaksa, mereka mengendus Raimel tak bekerja sendirian. Ada Asisten Tindak Pidana Khusus dan Koordinator Tindak Pidana Khusus yang diduga sebagai operator pelaksana beserta seorang staf bagian tata usaha. Ketiganya turut dihukum.
Jaksa Agung Muda Pengawasan merekomendasikan sanksi pemecatan terhadap keduanya. Sementara itu, sanksi untuk staf tata usaha berupa penundaan kenaikan pangkat. “Sesuai dengan tingkat kesalahan masing-masing,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana.
Pada 8 Februari lalu, Jaksa Agung Burhanuddin menunjuk Patris Yusrian Jaya, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, menggantikan Raimel. Patris membenarkan kabar bahwa penanganan kasus nikel ilegal di Blok Mandiodo mandek di tangan pejabat sebelumnya. Ia langsung tancap gas membentuk tim penyidikan. “Selama satu bulan kami konstruksi lagi perkaranya,” ujar Patris.
Selepas memeriksa sekitar 30 saksi, penyidik mulai mendapatkan titik terang. Jaksa lalu menetapkan Direktur Utama PT Kabaena Kromit Prathama, Andi Adriansyah; General Manager PT Antam Unit Bisnis Pertambangan Nikel Konawe Utara Hendra Wijayanto; dan pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, Glen Sudarto, sebagai tersangka pada Senin, 5 Juni lalu.
Pada Kamis, 22 Juni lalu, penyidik memeriksa Windu Aji Sutanto di Kendari. Dari pemeriksaan, penyidik yakin sudah cukup bukti menjadikan Windu sebagai tersangka. Mereka memilih penetapan itu dilakukan pada pemeriksaan kedua, Rabu, 12 Juli lalu. Tapi Windu tak datang. Pada hari itu, jaksa menetapkan Direktur Utama PT Lawu Agung Mining Ofan Sofwan menjadi tersangka keempat.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, 9 Agustus 2022/TEMPO/Febri Angga Palguna
Penyidik memanggil Windu Aji Sutanto ke Kejaksaan Agung pada Selasa, 18 Juli lalu. Sehabis diinterogasi, pengusaha asal Brebes, Jawa Tengah, itu langsung ditetapkan sebagai tersangka. Jaksa menuduh relawan pemenangan Presiden Joko Widodo pada pemilihan presiden 2014 itu menerima keuntungan dari penjualan nikel ilegal karena menguasai 99 persen saham PT Lawu Agung lewat PT Khara Nusa Investama. “Seluruh keuntungan mengalir kepadanya,” tutur Patris.
Jaksa menghitung kerugian negara dari penambangan nikel ilegal itu mencapai Rp 5,7 triliun. Tanpa IPPKH, penambangan nikel itu tak membayar pajak. Apalagi, dari penelitian jaksa, penambangan juga merambah area kawasan hutan tanpa izin. Dari 22 hektare dalam kontrak, nyatanya PT Lawu Agung dan perusahaan subkontraktornya menambang hingga 157 hektare.
PT Lawu Agung menggandeng 39 perusahaan lain untuk mengeruk bijih nikel. Padahal jaksa menemukan perusahaan-perusahaan itu tak memiliki izin usaha pertambangan. Apalagi, setelah mengeruk, perusahaan-perusahaan itu tak menjual nikel kepada PT Antam sebagai pemilik konsesi, melainkan dijual kepada smelter lain di sekitar Konawe Utara. “PT Lawu ini tidak bekerja, mereka cuma jadi broker,” ujar Patris.
Penyelidikan jaksa atas kepemilikan saham PT Lawu Agung Mining sampai juga kepada Bambang Soesatyo, politikus Partai Golkar yang kini menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Rupanya, pada April lalu, Windu bertemu dengan Bambang menawari saham PT Khara Nusa Investama, pemegang mayoritas saham PT Lawu Agung Mining.
Bambang mengakui adanya pertemuan itu. Menurut pengakuan dia, Windu Aji Sutanto berjanji mendatangkan investor bisnis pasir silika dari Cina jika Bambang mau bekerja sama melalui perusahaan tersebut. “Saya tertarik karena punya lahan di Kepulauan Riau yang mengandung deposit pasir silika,” kata Bambang.
Sebelum mengeluarkan uang, ia meminta kantor pengacara Junimart Girsang untuk menilai PT Lawu Agung. Junimart, Bambang mengimbuhkan, menyatakan PT Lawu Agung sebagai perusahaan bagus. Bambang juga tertarik berinvestasi karena Windu dekat dengan sejumlah tokoh nasional. Salah seorang di antaranya, tutur Bambang, adalah kandidat calon presiden dari partai politik yang menguasai kursi Dewan Perwakilan Rakyat.
Bambang dan Windu lalu menandatangani kerja sama pembelian saham pada Senin, 17 Juli lalu. Ia menolak menyebutkan nilai transaksinya. Karena kini menguasai saham PT Khara Nusa Investama, Bambang pun menjadi komisaris utama. Esoknya, Bambang kaget karena media memberitakan kongsi barunya itu menjadi pesakitan Kejaksaan Agung. Ia berniat meninjau ulang kontraknya bersama PT Khara Nusa Investama. “Kayaknya saya kena tipu,” ucapnya.
***
TAK hanya Bambang Soesatyo yang mengenal Windu Aji Sutanto. Mantan anggota DPR dari Partai NasDem, Akbar Faizal, juga sudah lama mengenal pengusaha ini sebagai relawan Presiden Joko Widodo dalam pemilihan presiden 2014. Selepas pemilihan presiden itu, Akbar bersama Windu menjadi anggota Tim Transisi Presiden Jokowi. Akbar mengenal Windu sebagai pengusaha tambang pasir dan emas.
Akbar berseteru dengan Windu pada akhir 2021. Ia menuduh Windu mencaplok lahan tambang nikel perusahaan sepupunya di Konawe Utara, PT Karya Murni Sejati 27. Konflik itu memanas ketika Windu mengklaim saham perusahaannya juga dimiliki Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kepada Tempo, Sigit menyangkal klaim itu. “Salah satu kelebihan Windu memang meyakinkan orang lain,” tutur Akbar.
Baca: Perang Tambang Blok Mandiodo
Dalam wawancara dengan Tempo pada Februari lalu, Windu mengklaim meminta perlindungan Kepala Polri untuk berinvestasi di Blok Mandiodo. Ia mengaku sudah menghabiskan banyak uang di sana. Ia membantah dituding menambang nikel secara ilegal. “Investasi kami gede banget, sampai sekarang belum balik,” katanya, tanpa mau menyebut nilainya.
Setelah Jenderal Sigit Prabowo menyangkal berada di balik perusahaan tambang nikel milik Windu Aji, pengusaha ini juga menyatakan Kepala Polri itu tak memiliki saham di perusahaannya. Namun, Akbar Faizal mengungkapkan, Windu memang punya kedekatan dengan sejumlah petinggi kepolisian. Ia melihat sendiri beberapa jenderal polisi dan petinggi Kejaksaan Agung tanpa sungkan bertamu ke rumah Windu di kompleks Patra Land, Kuningan, Jakarta Selatan.
Sejumlah sumber menyebutkan jaringan Windu Aji Sutanto di kepolisian terjalin setelah ia mengenal Muhammad Suryo, pengusaha 39 tahun asal Yogyakarta, selepas pemilihan presiden. Suryo memang terkenal di kepolisian. Salah seorang yang kemudian akrab dengannya adalah Inspektur Jenderal Karyoto. Ia mantan Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini menjabat Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.
Tempo dan anggota konsorsium IndonesiaLeaks pernah menelusuri kedekatan Windu dengan Karyoto pada Januari 2021. Kedekatan itu terungkap dalam dokumen penyelidikan sebuah lembaga penegak hukum. Pada saat itu Karyoto masih menjabat Deputi Penindakan KPK. Keduanya ditengarai bahu-membahu menjadi “juru damai” sebuah kasus korupsi yang menjerat anak perusahaan telekomunikasi nasional.
Dokumen tersebut menyebutkan sekelompok orang menggeruduk pertemuan Windu dengan Karyoto di perumahan Patra Land. Mereka mengaku sebagai wartawan media daring Siasat Kota. Mereka sempat memotret dan merekam keduanya. Peristiwa itu menimbulkan kericuhan. Petugas keamanan kompleks berupaya menengahi. Polisi datang setelah menerima laporan Karyoto.
Tempo menyambangi kantor redaksi Siasat Kota di sebuah kompleks perumahan elite di Jakarta Timur untuk meminta konfirmasi ihwal keterangan dalam dokumen tersebut. Salah seorang redaktur pelaksana media itu membenarkan adanya peristiwa tersebut. “Liputan itu kami lakukan karena ada dugaan permainan,” ujarnya. Dia tidak mengizinkan namanya dipublikasi.
Sejumlah pengusaha dan politikus yang ditemui Tempo mengakui nama Windu masyhur sebagai makelar perkara. Agar terlihat meyakinkan, ia kerap menelepon sejumlah jenderal polisi di depan “korbannya”. Windu, misalnya, pernah “menengahi” perkara di sejumlah lembaga negara dengan imbalan uang. Ia, berdasarkan keterangan para sumber itu, menggandeng Muhammad Suryo saat menjadi makelar perkara.
Pada Juni lalu, nama Suryo mencuat di KPK. Ia menjadi tersangka korupsi proyek rel Direktorat Jenderal Kereta Api Kementerian Perhubungan. Pejabat di direktorat itu, Dion Renato Sugiarto, mengatakan Suryo menerima sleeping fee Rp 9,5 miliar. Istilah itu merujuk pada fulus yang disetorkan kepada perusahaan agar mau mengalah dalam proses tender. Dalam perkara ini, penyidik sudah memeriksa Suryo pada Selasa, 11 Juli lalu. Suryo tak meladeni pertanyaan wartawan selepas diperiksa.
Nama Suryo juga muncul dalam pemeriksaan kebocoran surat penyidikan korupsi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang ditangani Dewan Pengawas KPK. Kasus ini menyeret Ketua KPK Firli Bahuri dan Karyoto. Nama Suryo dan Karyoto muncul dalam sengkarut pertambangan pasir di sekitar Gunung Merapi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 2019. Suryo disebut bekerja sama dengan Karyoto yang masih menjabat Wakil Kepala Polda DIY melalui PT Surya Karya Setiabudi. Kala itu Karyoto membantah kebenaran informasi tersebut.
Nama Windu dan Karyoto kembali muncul dalam kasus korupsi base transceiver station (BTS) 4G Kementerian Komunikasi dan Informatika. Salah seorang tersangka, Irwan Hermawan, mengaku memberikan Rp 75 miliar kepada Windu dan orang dekatnya, Setyo Joko Santoso. Irwan dan para tersangka lain mengumpulkan uang dengan harapan Windu bisa menghentikan penyelidikan kasus pemancar Internet tersebut di Kejaksaan Agung. Pengakuan itu tertuang dalam berkas kesaksian Irwan pada 14 Mei dan 15 Juni 2023.
BTS 4G Bakti Kominfo di Negeri Nalahia, Maluku, 17 Maret 2023/Dok. Tempo
Penyerahan uang itu bermula dari kedatangan Irwan dan Galumbang Menak Simanjuntak, tersangka korupsi BTS lain, ke rumah Windu di Patra Land pada akhir 2022. Kabarnya, Windu menelepon Karyoto di depan Irwan dan Galumbang. Beberapa jam kemudian, Karyoto datang. Mereka ngopi bareng di sana. Sehabis pertemuan, Irwan dan Galumbang makin yakin Windu bisa membantu menyetop penanganan perkara BTS di Kejaksaan Agung.
Sebelum ditahan, Tempo tiga kali mendatangi rumah Windu di Patra Land untuk menyampaikan permohonan wawancara. Tapi tak satu pun berbalas. Ia juga tak kunjung merespons permintaan wawancara yang pernah dikirim melalui pesan ke telepon selulernya. Inspektur Jenderal Karyoto juga tak merespons permintaan wawancara yang dikirim lewat WhatsApp dan stafnya di Polda Metro Jaya. Tempo pun mendatangi rumah dinasnya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 22 Juli lalu. Tapi seorang personel Polri menolak mengizinkan wartawan Tempo bertemu dengan Karyoto.
Suryo juga tak merespons permintaan wawancara. Namun, beberapa waktu lalu, Tempo menemuinya ketika ia tengah mengurus sengketa kasus tambang batu bara. Pada waktu itu ia mengaku mengenal Windu Aji Sutanto. Ia membantah klaim Windu yang mengaku membayar sewa rumah di Patra Land. “Ngawur, yang dipakai Windu itu rumah saya,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fajar Pebrianto dan Ihsan Reliubun berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jejaring Tambang Mantan Relawan"