Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Semua aturan yang ada rupanya belum cukup untuk menyelamatkan Jakarta dari dampak krisis iklim.
Pemerintah Jakarta harus berfokus pada dua isu utama: banjir dan kemacetan.
Untuk isu kemacetan dan polusi udara, pemerintah Jakarta dapat mengintegrasikan sistem manajemen transportasi dengan wilayah di sekitarnya.
TATA kota dan perubahan iklim menjadi tema pamungkas debat ketiga pemilihan Gubernur Jakarta 2024, yang akan digelar pada Ahad, 17 November 2024. Isu ini menjadi fokus perhatian Komisi Pemilihan Umum Jakarta, mengingat Jakarta diprediksi akan tenggelam pada 2050, bencana banjir masih kerap terjadi di musim hujan, serta kemacetan lalu lintas yang memperparah polusi udara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Jakarta telah melakukan berbagai upaya antisipasi, adaptasi, dan mitigasi perubahan iklim. Hal itu dapat dibaca dalam laporan Strategy Brief Resilient Jakarta (2019) dan Jakarta Climate Resilient City (2021). Berbagai peraturan pendukung juga telah dikeluarkan, seperti Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada juga sederet aturan lain. Di antaranya Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau; Pergub Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat; Pergub Nomor 3 Tahun 2020 tentang Insentif Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan; serta Pergub Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Pohon.
Lalu ada Instruksi Gubernur (Ingub) DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara serta Ingub Nomor 52 Tahun 2020 tentang Percepatan Peningkatan Sistem Pengendalian Banjir di Era Perubahan Iklim. Selain itu, ada Rencana Induk Bangunan Gedung Hijau Jakarta 2012-2030 serta Rencana Induk Ruang Terbuka Hijau Jakarta 2018-2030.
Namun semua aturan itu rupanya belum cukup untuk menyelamatkan Jakarta dari dampak krisis iklim. Pada tahun lalu, The Economist Impact merilis Indeks Kota Berketahanan 2023 yang mengkaji bagaimana 25 kota di dunia mampu menghindari, bertahan, serta pulih dari berbagai guncangan dalam empat tema utama, yakni infrastruktur penting, lingkungan, lembaga sosial, dan ekonomi.
Dalam indeks tersebut, Jakarta berada di posisi ke-21 dengan skor 51,6. Jakarta hanya unggul dari Kairo (dengan skor 44,7), Dhaka (43), dan Lagos (39,6). Posisi Jakarta sangat jauh dari New York (84,9) di urutan pertama, Los Angeles (84,4), London (83,2), dan Singapura (82).
Skor ini menandakan Jakarta masih rentan bencana dan belum berketahanan, dengan nilai infrastruktur penting (50,6 persen), lingkungan (56,7 persen), lembaga sosial (50,4 persen), dan ekonomi (47,7 persen). Karena itu, pemerintah dan penduduk Jakarta harus bekerja lebih keras untuk membangun kota berketahanan iklim agar masuk daftar 10 kota berketahanan terbaik.
Untuk mencapai "status" tersebut, pemerintah Jakarta harus berfokus pada dua isu utama: mengendalikan banjir (dan menjamin ketersediaan air bersih) serta mengurangi kemacetan lalu lintas (dan menekan polusi udara). Untuk isu pertama, harus ada upaya regenerasi tata ruang sungai dari hulu ke hilir dan revitalisasi situ/danau/embung/waduk, dengan dukungan Bendungan Sukamahi dan Ciawi, Jawa Barat, serta sodetan Ciliwung untuk mengatasi banjir kiriman dan luapan air sungai.
Upaya lain mengatasi banjir adalah merehabilitasi saluran drainase serta memperluas ruang terbuka hijau (sebagai daerah resapan air) guna mengatasi banjir lokal. Sedangkan untuk mengatasi banjir rob, perlu dilakukan restorasi pesisir pantai utara dan reforestasi dengan membangun giant mangrove wall. Dinding alamiah ini akan menjadi benteng penahan abrasi pantai serta peredam terjangan tsunami. Solusi ini akan lebih baik ketimbang rencana lanjutan pembangunan giant sea wall (tanggul laut raksasa).
Untuk isu kemacetan dan polusi udara, pemerintah Jakarta dapat mengintegrasikan sistem manajemen transportasi dengan wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Transjabodetabek) serta memperbanyak fasilitas park and ride di wilayah perbatasan. Tata kota harus dikembangkan dengan berorientasi pada konsep transportasi wilayah 15 menit (15 minutes city).
Infrastruktur untuk pejalan kaki (trotoar, zebra cross/pelican crossing, dan jembatan/terowongan penyeberangan atau penghubung antar-bangunan) serta pesepeda (jalur sepeda, tempat parkir, ruang ganti, bengkel, dan toko aksesori) juga harus diperbanyak.
Upaya lain yang bisa dilakukan ialah perluasan kebijakan pelat nomor ganjil-genap se-Jabodetabek, parkir elektronik progresif, jalan berbayar elektronik, dan penyediaan gedung parkir komunal. Hal yang tak kalah penting adalah meneruskan program transisi energi dari pembangkit listrik tenaga uap batu bara ke energi hijau, peralihan industri polutan ke industri ramah lingkungan, serta relokasi kawasan industri ke luar Jabodetabek.
Demi masa depan Jakarta, menjalankan konsep pembangunan kota berketahanan iklim merupakan keharusan, bukan pilihan.
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.