Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencekal lima peneliti asing gara-gara perbedaan data populasi orang utan.
Menteri Siti Nurbaya semestinya tidak memaksakan penyeragaman data.
Tindakan Menteri Siti mempermalukan Indonesia di kalangan pegiat konservasi satwa dunia.
PENCEKALAN lima peneliti asing oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) makin menegaskan sikap antisains Menteri Siti Nurbaya. Politikus NasDem ini terkesan alergi pada temuan data yang berbeda dari versi pemerintah. Sejak ia menjadi menteri, ada semacam “sensor ilmiah” terhadap penelitian yang dianggap mengandung frasa sensitif, semacam deforestasi dan potensi karbon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 14 September 2022, dengan tanggal yang ditulis tangan, Kementerian membuat surat edaran bagi para kepala taman nasional dan balai konservasi sumber daya alam untuk tidak melayani lima peneliti asing: Erik Meijaard, Julie Sherman, Marc Ancrenaz, Hjalmar Kuhi, dan Serge Wich. Alasan: publikasi mereka tentang orang utan berindikasi negatif dan mendiskreditkan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem itu tak jelas merujuk riset yang mana. Soalnya, kelima peneliti itu belum pernah membuat studi kolaborasi. Meijaard dan Sherman hanya menulis opini di The Jakarta Post pada 15 September 2022. Artikel itu menyangkal klaim Siti Nurbaya di Hari Orang Utan Sedunia 19 Agustus yang menyebutkan populasi orang utan bertambah.
Rujukan Meijaard, Direktur Pelaksana Borneo Futures, adalah publikasi di jurnal Nature 2017 serta Current Biology 2018 dan 2022. Alih-alih mengajaknya berdebat soal data dan metodologi atau membuat tulisan serupa untuk membantahnya, Menteri Siti memerintahkan anak buahnya tak melayani penelitian dan kerja-kerja mereka dalam konservasi di Indonesia.
Para pejabat, peneliti, dan pegiat konservasi di Indonesia sudah lama merasakan ada yang tak genah dalam kepemimpinan Siti Nurbaya. Ia menteri yang selalu membawa perasaan (baper) dalam membuat kebijakan publik. Larangan dan pemutusan kerja sama konservasi bukan baru kali ini terjadi. Siti memutus kerja sama dengan WWF, lembaga internasional, dan memasukkan sejumlah lembaga lokal ke daftar hitam kerja-kerja konservasi.
Selama Siti menjadi Menteri Lingkungan, ada semacam ketakutan massal mitra konservasi ikut terkena cekal karena bekerja atau pernah melakukan studi bersama dengan mereka yang masuk daftar hitam. Maka tak mengherankan jika hanya sedikit peneliti yang bersuara atas kesewenang-wenangan Menteri Siti itu. Aktivis lembaga swadaya masyarakat takut tak lagi mendapat dana donor karena KLHK berwenang menyeleksi lembaga mana saja yang bisa mendanai organisasi lingkungan lokal.
Suasana otoritarianisme yang dibangun Menteri Siti Nurbaya ini tak hanya berbahaya bagi ilmu pengetahuan, tapi juga bagi alam semesta. Riset ilmiah sangat terbuka dalam temuan ataupun metodenya. Jika keberatan terhadap kesimpulan penurunan populasi orang utan, Menteri Siti bisa meminta para peneliti pemerintah menguliti metode dan data yang dikutip Erik Meijaard dkk serta menunjukkan kesalahannya dalam menyimpulkan data.
Jika Menteri Siti malah melarangnya, kita tidak akan tahu kenyataan yang benar. Tiba-tiba saja hutan-hutan kita jadi sunyi karena ternyata benar orang utan kita punah akibat deforestasi, degradasi hutan, ataupun konversi lahan, tanpa sempat melakukan pencegahan.
Pencekalan peneliti asing juga melanggar hukum. Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tak membolehkan pencekalan peneliti dari mana pun. Maka, jika komunitas ilmiah Indonesia masih peduli pada ilmu pengetahuan, seharusnya mereka menggugat ramai-ramai sikap antisains Menteri Siti Nurbaya itu. Demi semesta, demi masa depan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo