Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BADAN Mustafa Bali terlihat gempal di balik seragam lorengnya. Tingginya lebih dari 180 sentimeter, dengan rambut tipis di kepala. Tanpa senyum, dia menjabat keras tangan saya saat memasuki kantornya di kawasan Ain Issa, di Provinsi Raqqah, Suriah, Senin, 20 Mei 2019. Nyali saya sempat ciut melihat penampilannya. Pada siang bolong yang panas itu, di ruangan yang tak berpenyejuk udara, keringat di dahi saya terasa lebih lebat.
Juru bicara Pasukan Demokratik Suriah (SDF), sayap militer Otoritas Kurdistan Suriah atau Rojava, itu menjadi penentu boleh-tidaknya saya melintasi kawasan timur laut Suriah. Wilayah itu sebelumnya dikuasai kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)—sebelum SDF meraih kemenangan terakhirnya pada Maret lalu melalui pertempuran di Desa Baghouz. “Dia adalah kunci,” kata Abdulrahman Dawud, penerjemah saya, berbisik sebelum kami melintasi dua pos penjagaan untuk tiba di kantornya.
Entah apa pangkat Mustafa. Yang jelas, empat pengawalnya mengelilingi kami di ruang tunggu. “Jauh sekali asal Anda,” ujar Mustafa dalam bahasa Kurdi, tanpa senyum, setelah saya memperkenalkan diri sebagai wartawan asal Indonesia.
Hari itu, kami sama-sama tak puasa. Tawaran minum dari Mustafa saya tolak. Sebagai gantinya, saya mengeluarkan empat renceng kopi seduh produksi Tanah Air dan dua bungkus rokok kretek. “Anda harus mencoba ini, khas Indonesia,” kata saya. Dia lalu memerintahkan anak buahnya menyeduh kopi. Setelah isapan pertama rokok kretek, Mustafa tersenyum. “Rasanya seperti siwak,” ucapnya. Lalu kopi yang datang pun diseruputnya. “Enak, langsung manis,” ujarnya dengan senyum yang masih tipis.
Mustafa mengatakan saya wartawan asal Indonesia pertama yang masuk ke Rojava. Dia sempat menyebut nama Abu Bakar Ba’asyir, pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia yang juga narapidana terorisme, yang menurut dia terkenal di wilayah Suriah. Ketika saya menanyakan kenapa nama belakangnya sama dengan Pulau Bali, barulah dia tertawa. “Pulau Anda saja yang mengikuti nama saya,” katanya disertai tawa yang lebih keras.
Saya menyampaikan keinginan menemui simpatisan ISIS asal Indonesia yang berada di tahanan dan pengungsian yang dikontrol SDF untuk mengetahui kondisi mereka. Apalagi belum ada tanda-tanda pemerintah Indonesia akan memulangkan mereka. Mustafa menjelaskan bahwa kondisi di pengungsian kurang aman. Lalu dia menghubungi seseorang dengan telepon selulernya. Setelah itu, dia mempersilakan saya berjumpa dengan Ketua Komisi Luar Negeri Otoritas Kurdistan Suriah, Abdulkarim Omar. Sebelum saya keluar dari ruangan, Mustafa memberikan surat berbahasa Arab, izin melintas ke Raqqah, bekas ibu kota ISIS.
Sempat tertahan karena surat izin dari kepala intelijen SDF belum diterima pe-jabat di pengungsian Al-Hawl—kamp terbesar di timur laut Suriah—saya akhirnya bisa berjumpa dengan warga Indonesia yang tinggal di sana pada Kamis, 23 Mei 2019. Bahkan saya diizinkan berjumpa dengan bekas kombatan yang ditahan di penjara Derik di Al-Malikiyah. Namun pertemuan tak terjadi di penjara. Tentara SDF membawa Ubaid Mustofa Mahdi, tawanan itu, ke sebuah kantor intelijen SDF di Rmelan, sekitar 30 kilometer dari Derik.
Meski diberi izin masuk ke kamp pengungsian, saya ternyata harus mencari sendiri warga negara Indonesia di antara 73 ribu pengungsi di Al-Hawl. Berkali-kali saya berteriak, “Siapa dari Indonesia?” Hampir setengah jam saya mencari-cari. Yang menyahut justru bocah laki-laki asal Filipina yang fasih berbahasa Indonesia. Jemarinya menunjuk ke area tenda warga Indonesia. Sebagai balas jasa, permen dan cokelat di tas saya pun berpindah tangan. Total, setelah 25 menit masuk ke kamp, baru saya menemukan warga Indonesia.
Aisyah Retno, 35 tahun, perempuan asal Kutacane, Aceh Tenggara, terkejut melihat saya. Di tendanya, dia mempersilakan saya duduk. Sebungkus abon sapi saya berikan kepadanya, yang langsung berpindah ke anak-anaknya. “Mas, kalau ke sini, bawanya sambal terasi dan ikan asin,” ujar Aisyah, yang masih tak percaya ada jurnalis Indonesia bisa masuk ke pengungsian. Sekitar setengah jam berbincang, Aisyah menitipkan pesan. “Tolong sampaikan kepada pemerintah, kami ingin pulang,” katanya dengan mata berair.
Kombatan Asing di Legiun Teror
Kombatan Asing di Legiun Teror
HUSSEIN ABRI DONGORAN ( SURIAH)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo