Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DOKTRIN pertama kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) kepada Ubaid Mustofa Mahdi setiba di Suriah empat tahun lalu adalah halal membunuh orang di luar Islam. Ubaid dicekoki ajaran itu bersama puluhan laki-laki lain dari berbagai negara di sebuah gedung di Jarabulus, kota perbatasan dengan Turki, dalam masa “orientasi” selama dua hari. “Kalau tidak mau ikut, akan dipenjara,” kata Ubaid dalam wawancara dengan Tempo di kompleks kantor intelijen Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Rmelan, Suriah, Sabtu, 25 Mei lalu.
Ubaid tak bertemu lagi dengan istri dan anaknya yang berusia tiga tahun setelah mereka tiba di tempat penampungan itu. Perempuan dan anak-anak dipisahkan dari laki-laki dewasa. Selesai “penataran”, Ubaid dan para lelaki lain langsung dikirim ke sebuah gurun yang tak begitu jauh dari Kota Homs, sekitar 350 kilometer di barat daya Jarabulus, untuk mengikuti pelatihan militer. Setiap hari selama sebulan mereka disuruh berlari di padang pasir dan push-up. Ubaid juga diajari memereteli dan merakit kembali senjata api, seperti AK-47.
Tiga hari sebelum tiba di Jarabulus, Ubaid dan keluarganya sampai di Istanbul, Turki, pada 22 Februari 2015 bersama rombongan pelancong asal Indonesia. Setelah pemeriksaan imigrasi di Bandar Udara Ataturk, Ubaid dan keluarganya beserta 13 orang lain memisahkan diri dari rombongan yang diberangkatkan agen perjalanan ternama di Jakarta itu. Mereka menuju terminal bus dan membeli tiket tujuan Gaziantep, yang terletak sekitar 1.100 kilometer di tenggara Istanbul. Setelah menempuh perjalanan lebih dari 12 jam, Ubaid dan keluarganya tiba di tujuan.
Melalui aplikasi pesan Telegram, rombongan diberi perintah oleh seorang petugas dari ISIS agar menginap di sebuah hotel di Gaziantep. Instruksi selanjutnya datang dua hari kemudian. “Isinya, ada tiga taksi yang menjemput dengan kode ‘Mustofa’,” ujar Ubaid, yang kini ditahan SDF di penjara Derik, Al-Malikiyah, sekitar 30 kilometer di timur laut Rmelan.
Mustofa juga nama tengah pria 29 tahun itu, baik pada nama asli maupun aliasnya. Nama sebenarnya bukan Ubaid Mustofa Mahdi. Ia mendapat nama ini di Suriah. Ubaid meminta nama pemberian orang tuanya tak ditulis karena alasan keamanan. Ia ingin pulang ke Indonesia suatu hari nanti. Menurut Ubaid, jaringan ISIS di Indonesia cukup kuat. Ia mengetahui hal tersebut sejak bergabung dengan kelompok teroris ini hingga dua tahun lalu. Sejak 17 November 2017, ia ditahan SDF, gabungan prajurit Kurdi dan Arab Suriah yang beroperasi di wilayah Kurdi dan bukan bagian dari pasukan militer pemerintah Suriah.
Halimatun Sadiyah di kamp Al-Hawl, 23 Mei 2019. TEMPO/Hussein Abri Dongoran
Ketika taksi datang, menurut Ubaid, pengemudi hanya mengatakan “Mustofa”, yang dijawab Ubaid dengan “yes” dan anggukan kepala. Membawa para penumpang, ketiga taksi itu langsung meluncur ke perbatasan Turki dengan Suriah, di dekat Jarabulus.
Di perbatasan, semua penumpang diturunkan. Di sana sudah menunggu mobil van dan sejumlah pria berbadan tegap yang langsung meminta penumpang masuk ke kendaraan tersebut. Sebelum para penumpang masuk ke mobil, menurut Ubaid, para pria tersebut meminta mereka menyerahkan paspor. “Mereka seperti anggota mafia. Paspor diminta untuk alasan keamanan,” ujarnya. Dari sana, rombongan Ubaid dibawa ke gedung penampungan di Jarabulus, yang berjarak sekitar 175 kilometer di selatan Gaziantep, untuk menjalani “penataran”.
Di tempat pendoktrinan itu, Ubaid selalu menanyakan keberadaan rekannya, Muhsim bin Abu Bakar, yang lebih dulu berada di Suriah. Muhsim adalah tetangga dan rekan main futsal Ubaid ketika ia tinggal di kawasan Jalan Ampel Cempaka, Surabaya, pada 2011-2015. Muhsim juga yang mengajaknya ke Suriah. “Muhsim memberikan kontak saya ke petugas ISIS,” katanya. Petugas ISIS itulah yang memberinya petunjuk untuk masuk ke Suriah.
Sebelum berangkat, Ubaid mengaku punya masalah dengan keluarganya, yang memiliki usaha percetakan di Ampel Cempaka. Lulusan Politeknik Telkom Bandung dan Universitas Bina Nusantara itu ingin bekerja di bidang teknologi informasi. Tapi orang tuanya, yang tinggal di Solo, memintanya meneruskan usaha mereka di Surabaya. Setelah ayahnya pulang kampung ke Solo, bisnis tersebut dikelola pamannya.
Ubaid menceritakan situasinya kepada Muhsim dalam percakapan pesan instan. Sahabatnya itu kemudian menyuruh Ubaid menyusulnya ke Suriah dan menjanjikan pekerjaan yang sesuai dengan minat Ubaid. Muhsim juga mengiming-iminginya rumah, listrik, air, hingga bensin gratis dari ISIS.
Terbujuk Muhsim, Ubaid memutuskan berangkat ke Suriah melalui Turki menggunakan agen perjalanan. Ia membayar paket senilai US$ 3.250, atau sekitar Rp 46 juta dalam kurs saat ini, untuk dia sekeluarga. Hasil keuntungan bisnis ayahnya sebesar US$ 10 ribu dia bawa sebagai bekal. Duit itu antara lain dipakai untuk membeli mobil Mitsubishi Strada senilai US$ 5.000 di Raqqah, Suriah, pada 2016. “Semuanya yang dijanjikan Muhsim ternyata bohong belaka,” ujar Ubaid.
Setiba di Suriah, Ubaid juga tak bertemu dengan Muhsim. Mereka putus kontak. Ubaid lalu sibuk dengan situasinya. Setelah pelatihan militer di dekat Kota Homs selesai, ia dan peserta pelatihan diminta ke garis depan untuk berperang. Ia menolak. Ubaid tahu penolakan tersebut akan berujung di penjara dan berarti ia harus siap mati. Sebab, menurut cerita yang tersiar di sana, mereka yang masuk penjara tak pernah terdengar lagi kabarnya.
Pelatihan serupa dijalani Dwi Djoko Wiwoho, bekas direktur pelayanan di Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Batam atau BP Batam. Menurut putri Dwi, Nur Diana, ayah dan pamannya dilatih merakit dan menggunakan senjata selama dua bulan pada awal masuk Suriah. ISIS kemudian meminta mereka berangkat perang. “Tapi ayah saya menolak dengan alasan bahwa menurut Al-Quran tidak semua orang harus ikut perang,” katanya. Dwi Djoko telah kembali ke Indonesia dan dikurung di penjara khusus teroris di Sentul, Bogor, Jawa Barat.
Petugas ISIS awalnya berkukuh bahwa pendatang seperti Ubaid harus berperang. Belakangan, mereka menanyakan latar belakang lelaki itu. Setelah mengetahui Ubaid memahami informatika, ISIS memberinya tugas di bagian media. Ubaid, antara lain, diminta menerjemahkan video-video propaganda ISIS dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. “Untuk disebarkan kepada orang Indonesia,” ujarnya.
Kantornya berada di Kota Homs. Di sana, Ubaid kembali bertemu dengan istri dan anaknya. ISIS menggaji keluarga Ubaid sebesar US$ 90 per bulan, atau sekitar Rp 1,3 juta, per anggota keluarga, sehingga keluarga itu menerima total US$ 270. Tapi uang itu hampir tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Harga satu liter air saja bisa mencapai Rp 50 ribu. Saat bekerja di Homs itulah Ubaid mendapat kabar bahwa Muhsim tewas dalam pertempuran di Dayr az-Zawr, kota di timur Homs.
Baru berjalan dua pekan, Ubaid diberi tugas lain. Ia bekerja di bagian radio dengan tugas menyusun jadwal siaran dan membuat program di komputer. Karena tak mau berperang, Ubaid harus bekerja setiap hari tanpa mengenal libur. Jam kerjanya pun sejak pagi hingga malam. Ia melakoni pekerjaan ini hingga 2017. Gaji terakhirnya menyusut hingga US$ 35 untuk setiap anggota keluarga.
Menurut Ubaid, dalam hierarki ISIS, orang Indonesia berada di tingkat paling bawah. Mereka ditempatkan di garis terdepan pertempuran. “Seperti kambing ternak yang digiring ke penjagalan, ke kematian,” katanya. Adapun warga negara lain diberi posisi yang lebih tinggi, seperti tenaga di bidang perminyakan atau keuangan.
Ada juga orang Indonesia yang ditempatkan di bagian administrasi atau sebagai tukang rukiah. Menurut Ubaid, banyak kombatan ISIS yang kesurupan sehingga marah-marah tak keruan. Mereka meyakini penyebabnya adalah kerasukan jin. Karena banyaknya kejadian, ISIS di Homs menyediakan ruangan khusus untuk rukiah. Salah satu ahli rukiahnya adalah orang Indonesia. “Dikeluarkan jinnya. Seram,” ujar Ubaid.
Ia menghitung, setidaknya ada 70 laki-laki serta 200 perempuan dan anak-anak di Homs. Jumlah pria dewasa terus menurun lantaran banyak yang tewas dalam pertempuran. Para perempuan dan anak-anak tinggal di rumah. Belakangan, mereka digunakan ISIS untuk meledakkan bom bunuh diri. “Karena ISIS terdesak, seperti saat dikepung di Raqqah,” tutur Ubaid. Pada Oktober 2017, ISIS keok di Raqqah, yang menjadi ibu kotanya, setelah digempur SDF yang disokong Amerika Serikat.
Menurut Nur Diana, karena ayahnya, Dwi Djoko Wiwoho, dan pamannya menolak bertempur, mereka mengucilkan diri dari lingkungan selama 22 bulan tinggal di Raqqah. Sebanyak 17 orang anggota keluarga Nur Diana tinggal di sebuah flat. Ketika ingin keluar dari flat, para laki-laki mengenakan kafiyah untuk menutupi seluruh muka supaya tidak dicurigai kaki tangan ISIS karena tak ikut berperang.
Karena tidak ada yang bekerja pada ISIS, keluarga Dwi Djoko ini tidak mendapat pemasukan. Untuk hidup, mereka menjual emas yang dibawa dari Indonesia dan pernah berjualan pakaian bekas. “Emas itu pun semuanya ludes,” ujar Rani Nirmala, istri Dwi Djoko. Selain hidup susah, mereka menjalani hari dengan cemas. Ledakan bom dan suara tembakan kerap terdengar di lingkungan tempat tinggal mereka dan terjadi kapan saja.
Halimatun Sadiyah, 25 tahun, yang ditemui Tempo di kamp pengungsian di Kota Al-Hawl, sekitar 350 kilometer di timur Jarabulus, pada Kamis, 23 Mei lalu, menceritakan kegiatannya selama di Suriah sejak tinggal di sana pada 2014. Ia mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan melayani suaminya, Budianto Panjaitan. Menurut Halimatun, Budianto bertugas di garis depan sebagai anggota pasukan perbatasan.
Sebagaimana Ubaid, Halimatun, suami, dan tiga anaknya masuk ke Suriah melalui Gaziantep dan Jarabulus. Tinggal selama beberapa bulan di Jarabulus, mereka memperoleh rumah dan gaji US$ 250 per bulan dari ISIS. Menurut Halimatun, mereka juga mendapat makanan dan gas gratis tiap bulan. “Tapi semuanya berkurang setelah Jarabulus diserang,” ujarnya.
Setelah ISIS keok di Jarabulus, Halimatun dan keluarganya pindah ke Raqqah dan menetap selama dua tahun. Pada 2016, Budianto tewas dalam pertempuran di Al-Bab, Provinsi Aleppo. Halimatun dan anak-anaknya lalu dipindahkan ke rumah khusus tempat menampung para janda yang suaminya tewas dalam perang. Fasilitas yang didapat Halimatun berkurang setelah Budianto tiada. “Ada beberapa orang Indonesia juga di sana,” katanya. Perkumpulan ini pindah ke Desa Baghouz al-Fawqani di Dayr az-Zawr setelah ISIS kalah di Raqqah.
Selama berada di Suriah, Ubaid kerap menyatakan keinginannya untuk pulang, terutama saat berkomunikasi melalui aplikasi Telegram dengan ayahnya. Namun keinginan itu tak kunjung terwujud karena siapa saja yang mencoba melarikan diri bisa dibunuh. “Banyak intel ISIS yang pura-pura bisa mengeluarkan dari Suriah, tapi nyatanya malah membawa ke penjara,” tutur Ubaid.
Ketika Homs dan Raqqah digempur pasukan gabungan, Ubaid dan keluarganya serta lima keluarga lain dari Indonesia kabur ke kawasan Dayr az-Zawr. Di sana, mereka menetap bersama sekumpulan orang Indonesia yang merupakan petempur ISIS. Ubaid mencari cara untuk bisa kembali ke Indonesia.
Namun gerak-gerik Ubaid dan rekan-rekannya terpantau ISIS. Mereka dijebloskan ke penjara di daerah Dayr az-Zawr dengan tuduhan melarikan diri dari ISIS pada Oktober 2017. Saat itu, Ubaid membayangkan hukuman mati akan datang dalam waktu dekat. Belakangan, ia mendapat hukuman berupa 100 cambukan di punggung, lalu dibebaskan. Satu bulan kemudian, SDF datang ke Dayr az-Zawr dan Ubaid menyerahkan diri.
HUSSEIN ABRI DONGORAN (RAMELAN, AL-HAWL)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo