Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Opsi-opsi Instruksi Komandan

Pemerintah memutuskan tak akan memulangkan warga Indonesia bekas simpatisan ISIS. Mengabaikan status kewarganegaraan.

 

15 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah Indonesia menolak memulangkan warga bekas simpatisan ISIS di Suriah.

  • Pemerintah hanya akan memulangkan anak yatim-piatu berusia di bawah 10 tahun.

  • Ada ratusan warga Indonesia di Suriah yang terlunta-lunta di kamp pengungsian.

DI kamp pengungsian Al-Roj di kawasan timur laut Suriah, Ummu Abdul Jalil terdiam begitu membaca kabar melalui telepon selulernya. Warga negara Indonesia yang pernah bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu tak percaya terhadap keputusan pemerintah Indonesia yang hanya akan memulangkan anak-anak yatim-piatu berusia di bawah 10 tahun dari Suriah. “Kami sedih. Kami mau pulang bukan untuk membawa ideologi ISIS,” ujar Ummu kepada Tempo melalui aplikasi pesan Telegram, Kamis, 13 Februari lalu.

Ummu sudah hampir empat tahun berada di Suriah. Perempuan 25 tahun itu berangkat dari Indonesia melalui Turki pada Desember 2015 setelah keranjingan belajar agama di Internet dengan membaca-baca artikel di situs buatan ISIS. Salah satunya Azzammedia.net. Tapi baru enam bulan kemudian ia bisa masuk ke Suriah. Ummu bukan nama sebenarnya. Ia meminta nama aslinya tak ditulis dengan alasan keamanan.

Di Suriah, Ummu tinggal di Al-Bukamal bersama suaminya yang ia kenal saat singgah di Turki. Selama di Negeri Syam, lulusan Universitas Muhammadiyah Jakarta ini mengaku tak pernah mengikuti kegiatan ISIS. “Di rumah saja sebagai istri,” ucapnya. Belakangan, apa yang dibaca Ummu di dunia maya tak sesuai dengan kenyataan. Menurut dia, kebohongan ISIS mulai terbuka setelah beberapa pusat kekuatannya, seperti Mosul di Irak, jatuh ke pasukan Irak.

Setelah ISIS tersudut, Ummu beserta suaminya berencana kabur ke Desa Baghouz al-Fawqani di Dayr az-Zawr, sekitar 120 kilometer barat laut Al-Bukamal, pada Desember 2017. Tapi Ummu ditangkap pasukan Kurdi dan dibawa ke kamp pengungsian Al-Hawl di timur laut Suriah. Dua pekan tinggal di sana, ia dipindahkan ke kamp Al-Roj hingga sekarang. Kamp ini lebih manusiawi dibanding Al-Hawl, yang dihuni lebih dari 73 ribu pengungsi. Di Al-Roj, Ummu tinggal satu tenda bersama putranya yang berusia 3 tahun.

Di dalam tenda itu ada televisi tabung, matras, dan karpet bercorak bunga. Listrik di pengungsian pun tak pernah mati dan air selalu tersedia. Ummu menggunakan ponsel secara diam-diam. Sehari-hari ia mengurus anak, memasak, menonton film, membaca, dan berbincang-bincang dengan sesama pengungsi. “Enggak produktif,” katanya. “Semacam hidup sekadar hidup selama napas berembus.”

Tempo mengirimkan video yang menampilkan Ubaid Mustofa Mahdi, salah satu tahanan asal Indonesia di penjara Derik. Ummu langsung mengenalinya sebagai Abu Tsabitah. Istri dan anak Ubaid alias Abu Tsabitah satu kamp dengan Ummu. Di Al-Roj, ada sekitar 50 warga Indonesia yang terdiri atas perempuan dan anak-anak. Menurut Ummu, istri Ubaid tidak mau melihat video suaminya tersebut. “Daripada sedih,” tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

•••

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARAPAN Ummu Abdul Jalil untuk pulang sempat menyembul ketika Menteri Agama Fachrul Razi menyebutkan pemerintah sudah mengambil keputusan akan memulangkan 600 warga Indonesia—kini pemerintah menyebutkan 689 orang—di Suriah dengan alasan kemanusiaan. Setelah ditentang di mana-mana, Fachrul meralat pernyataannya.

Pemerintah memang sudah mengkaji nasib warga Indonesia bekas simpatisan ISIS di Suriah itu sejak tahun lalu, terutama setelah Wakil Presiden Ma’ruf Amin menjadi “komandan” penanggulangan terorisme. Untuk menangani nasib warga Indonesia bekas pemuja ISIS di Suriah, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ditunjuk sebagai koordinator.

Seorang pejabat yang dekat dengan Ma’ruf menuturkan, Wakil Presiden beberapa kali menggelar pertemuan tertutup dengan Kepala BNPT Suhardi Alius serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Dalam sebuah pertemuan, Ma’ruf meminta kajian dampak pemulangan bekas simpatisan ISIS serta mendata jumlah persisnya.

BNPT merespons dengan menjanjikan dua kajian yang ditargetkan rampung pada April mendatang. Pertama, kajian mengenai alasan pemerintah memulangkan simpatisan ISIS dan risiko keamanannya. Kedua, analisis dasar hukum untuk tidak memulangkan mereka serta akibatnya. Setelah selesai, kajian itu akan dibawa ke meja Ma’ruf sebelum diteruskan ke Presiden Joko Widodo pada Mei atau Juni.

Juru bicara Ma’ruf Amin, Masduki Baidlowi, tak menyangkal adanya perintah tersebut. Menurut Masduki, salah satu tugas Wakil Presiden sebagai koordinator penanggulangan terorisme memang mengkoordinasi lembaga. “Perintah juga merupakan hal yang wajar,” ujarnya.

Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mengatakan, seusai rapat tersebut, lembaganya makin intensif mengkaji opsi-opsi mengenai nasib warga Indonesia di Suriah. Misalnya soal kesiapan deradikalisasi jika ada ratusan orang yang kembali ke Tanah Air dalam waktu bersamaan. “Kami berharap deradikalisasinya minimal satu tahun,” katanya, Selasa, 11 Februari lalu. BNPT punya pengalaman memulangkan 18 warga Indonesia simpatisan ISIS dari Suriah pada 2017.

BNPT juga menyiapkan cara mengidentifikasi dan menyaring mereka agar tidak memulangkan orang yang keliru. Menurut Irfan, tidak ada jaminan mereka yang dipulangkan betul-betul telah meninggalkan paham radikal. Ia mencontohkan Syawaluddin Pakpahan, penyerang Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara pada 2017. Belakangan diketahui, Syawaluddin pernah pergi ke Suriah pada 2013. Contoh lain, Rullie Rian Zeke dan Ulfa Handayani asal Makassar, menjadi pengebom bunuh diri di Gereja Katedral di Jolo, Filipina.

Kajian selesai lebih cepat dari rencana. Pada Selasa, 11 Februari lalu, Suhardi Alius menyampaikan paparannya di depan Mahfud; Menteri Agama Fachrul Razi; Menteri Luar Negeri Retno Marsudi; serta Menteri Hukum, dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. Setelah itu, Suhardi dan Mahfud bertemu dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin di kantor Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. “Kami menyampaikan apa yang akan diajukan dalam rapat terbatas,” ucap Mahfud.

Dalam rapat terbatas, menurut Mahfud, Presiden Joko Widodo langsung menyampaikan kepada para menterinya ihwal pernyataannya kepada publik. Ia pribadi menyatakan menolak memulangkan bekas simpatisan kelompok teroris ke Indonesia. Presiden juga menceritakan kunjungan kenegaraannya ke Australia pada 8-10 Februari lalu. Dalam lawatan itu, kata Mahfud, Presiden sempat mendiskusikan rencana pemulangan simpatisan ISS dengan Perdana Menteri Scott Morrison.

Australia memang mengeluarkan kebijakan untuk memulangkan anak-anak warga negaranya. “Presiden berpesan, lawan habis-habisan teroris, tapi harus ada perikemanusiaan,” ujar Mahfud. Dalam rapat itu, Mahfud melanjutkan, Suhardi mengusulkan yatim-piatu berusia di bawah umur 10 tahun bisa dibawa ke Indonesia. Alasannya, anak di bawah 10 tahun belum terpapar dan masih bisa dideradikalisasi. Suhardi mengatakan penentuan umur itu merupakan hasil rapat.

Rapat terbatas selama dua setengah jam itu berlangsung alot. Mahfud mengungkapkan, ada yang menyarankan bekas simpatisan ISIS diambangkan sebagai pelajaran bagi masyarakat agar tidak bergabung dengan kelompok teroris. Pada akhir rapat, semua sepakat tidak akan memulangkan 689 warga Indonesia di Suriah untuk menjaga keamanan dalam negeri, kecuali yatim-piatu di bawah 10 tahun.

Pemerintah juga akan mendata lebih jauh jumlah warga Indonesia di Suriah. Presiden menunjuk Suhardi Alius untuk mempersiapkan perangkat pendataan. Saat ini, sejumlah pejabat pemerintah sudah berada Suriah untuk melakukan verifikasi.

Presiden Jokowi mengatakan negara tidak bertanggung jawab atas warga yang kini berada di Suriah karena mereka pergi dengan kesadaran sendiri. Presiden menyebut mereka “ISIS eks WNI”. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik mengingatkan pemerintah agar tak membiarkan mereka kehilangan kewarganegaraan. “Sepanjang mereka warga Indonesia, pemerintah wajib mengurusnya,” tuturnya.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, AYU CIPTA (TANGERANG), DEWI NURITA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus