Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mulai menerapkan pembelajaran tatap muka. Apa saja risikonya?
Apa yang harus kita ketahui dalam hak-hak anak?
Saran-saran kepada pemerintah agar negara memenuhi hak anak di masa pandemi.
PANDEMI Covid-19 memicu krisis multidimensi, dari ekonomi, kesehatan, sosial, hingga pendidikan. Pandemi telah mengubah kehidupan anak-anak. Banyak kalangan cemas efek jangka panjang bagi anak akibat terisolasi di rumah, kehilangan hak bermain dan bersosialisasi serta terlalu lama tidak melakukan kegiatan akademik dan ekstrakurikuler di sekolah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak pemerintah menerapkan belajar dari rumah, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapat 246 aduan. Survei KPAI tentang pembelajaran jarak jauh (PJJ) terhadap 1.700 siswa, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas sederajat di 20 provinsi pada April 2020, menemukan sebanyak 76,7 persen siswa tidak senang belajar dari rumah. Alasan yang mengemuka di antaranya tidak adanya interaksi guru dan siswa kecuali hanya memberi dan menagih tugas; beratnya tugas; serta tugas yang menumpuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang, perubahan metode belajar dari pertemuan langsung ke online ini mengurangi kuantitas dan kualitas pendidikan di masa usia emas para peserta didik. Pada Maret lalu, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani anak-anak, UNICEF, merilis data sebanyak 168 juta pelajar kehilangan masa pembelajaran tatap muka akibat penutupan sekolah, sementara pembelajaran secara daring tidak berlangsung maksimal.
Pendidikan di negara-negara miskin yang tidak memiliki kemewahan infrastruktur jaringan Internet pun makin merosot. Bukan hanya tak bisa mengakses mata pelajaran, anak-anak bahkan terpaksa harus keluar dari sekolah. Ketika itu terjadi, ada potensi kerentanan anak-anak masuk ke dua perangkap eksploitasi: menjadi pekerja atau pengantin anak.
Pembelajaran jarak jauh adalah “hal baru” bagi anak-anak, orang tua, ataupun sekolah. Tak satu pun pihak yang memiliki bekal cukup untuk menjalaninya, baik secara pedagogis maupun psikologis. Orang tua juga tertekan saat mendampingi anak mereka belajar di rumah karena harus mengingatkan berbagai tugas belajar, membantu mengerjakannya, dan mengirimkan tugas-tugas itu kepada guru dalam bentuk foto ataupun video. Terbayang beratnya bila orang tua memiliki anak lebih dari satu, termasuk biaya kuota Internet yang harus mereka tanggung. Apalagi jika ibu juga harus bekerja, karena mayoritas pendamping anak-anak usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar yang menjalani PJJ adalah ibu.
Bagi anak, setidaknya ada lima kerentanan yang menjadi ancaman saat PJJ di masa pandemi. Pertama, anak rentan kecanduan gawai dan Internet serta mengalami eksploitasi seksual. Selama belajar dari rumah, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar telepon seluler untuk bisa mengerjakan tugas dan mengakses Internet setelah mengikuti PJJ. Dunia digital merupakan ruang publik yang tidak aman dan tidak ramah bagi anak-anak. Anak harus dijaga dari kemungkinan kejahatan di dunia maya, seperti perundungan siber, kejahatan seksual, penipuan, serta predator anak.
Kedua, anak rentan mengalami gangguan kesehatan. Penggunaan peralatan telekomunikasi dan informasi selama berjam-jam setiap hari memicu kelelahan fisik dan mata anak. Posisi duduk yang tidak tepat bisa memicu anak mudah mengalami kelelahan dan dalam jangka panjang bisa mengakibatkan gangguan nyeri punggung bawah atau sakit pada pergelangan tangan. Untuk itu, anak harus diberi porsi istirahat yang tepat saat belajar daring. Minimnya aktivitas fisik juga memicu obesitas. Untuk itu, para orang tua perlu mengajak anak berolahraga bersama setiap hari.
Ketiga, anak rentan putus sekolah. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2019, ada 157.166 anak putus sekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah. PJJ berpotensi membuat anak-anak miskin yang tidak bisa mengikuti pembelajaran daring terancam putus sekolah. Ketidakmampuan mengakses PJJ membuat anak-anak kehilangan semangat melanjutkan sekolah. Apalagi, dalam beberapa kasus, tidak mengikuti PJJ ataupun ujian daring hingga mengumpulkan tugas membuat nilai kognitif anak tak tuntas sehingga mereka dinyatakan tidak naik kelas.
Keempat, anak rentan mengalami eksploitasi. Ketika anak-anak memilih berhenti bersekolah akibat tidak memiliki akses PJJ, banyak anak yang akhirnya diminta orang tua mereka bekerja atau menikah. Walhasil, angka pekerja anak dan perkawinan anak meningkat. Menurut survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2018, kondisi ekonomi menjadi alasan utama bagi 50,1 persen anak tidak melanjutkan pendidikan. Sebagian besar dari mereka harus bekerja guna membantu orang tua.
Kelima, anak rentan mengalami berbagai kekerasan. Orang tua yang mengalami kesulitan ekonomi, kecemasan, dan emosi yang tidak stabil melampiaskannya kepada anak-anak mereka. Survei KPAI pada Juni 2020 dengan sampel 25.164 responden anak menunjukkan terjadi kekerasan psikis dan fisik terhadap anak dengan pelaku adalah orang terdekat, seperti ibu, ayah, saudara, kakek, nenek, dan asisten rumah tangga, meskipun kekerasannya tidak spesifik terjadi saat mendampingi anak mengikuti PJJ.
Berbagai kerentanan ini menjadi alasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengizinkan pembukaan sekolah tatap muka, demi mencegah terjadinya learning loss yang bisa berdampak pada masa depan anak-anak Indonesia. Padahal menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) cukup riskan mengingat pandemi belum mereda. Selain itu, tingkat capaian vaksinasi baik terhadap guru atau tenaga pendidikan maupun siswa masih jauh di bawah ketentuan yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Karena itu, tugas pemerintah adalah memperbaiki pelaksanaan PJJ karena satu-dua tahun ke depan, pembelajaran masih menggabungkan antara daring dan luring, mengingat siswa yang bisa mengikuti PTM hanya 50 persen. PTM akan berjalan aman jika pemerintah melakukan beberapa kewajiban.
Pertama, memastikan sekolah memenuhi segala syarat dan kebutuhan penyelenggaraan PTM, termasuk memastikan protokol kesehatan. Pemerintah daerah harus membantu terutama sekolah yang miskin dan sedikit peserta didiknya.
Kedua, pemerintah pusat wajib mempercepat vaksinasi kepada peserta didik usia 12-17 tahun. Tingkat vaksinasi harus mencapai minimal 70 persen dari populasi di sekolah agar terbentuk kekebalan kelompok. Jika hanya guru yang divaksin, kekebalan komunitas belum terbentuk karena jumlah guru hanya sekitar 10 persen dari jumlah siswa. Selain itu, pemerintah pusat mesti memastikan penyediaan vaksin untuk anak merata di seluruh Indonesia. Survei singkat KPAI pada Agustus lalu menemukan bahwa vaksinasi anak didominasi oleh Pulau Jawa, itu pun hanya menyasar sekolah di perkotaan.
Ketiga, pemerintah daerah harus jujur dengan angka penularan infeksi Covid-19 di daerah masing-masing. Sesuai dengan ketentuan WHO, sekolah tatap muka digolongkan aman jika laju penularan di bawah 5 persen. Karena itu, pemerintah perlu meningkatkan 3T (testing, tracing, treatment), bukan malah menguranginya sehingga menghasilkan laju penularan kasus yang rendah, karena angka penularan virus corona adalah persentase antara total kasus positif dan jumlah orang yang dites.
Keempat, sekolah perlu memetakan materi untuk setiap mata pelajaran, mengingat PJJ dan PTM dilaksanakan secara beriringan. Materi yang mudah dan sedang diberikan di PJJ dengan bantuan modul, sedangkan materi yang sulit disampaikan saat PTM agar ada interaksi dan dialog langsung antara guru dan siswa. Hal ini juga bagian dari upaya membantu anak-anak memahami materi yang sulit dan sangat sulit sehingga mengurangi stres peserta didik.
Kelima, guru dan orang tua harus mengedukasi dan menjadi panutan perubahan perilaku anak-anak dalam melaksanakan protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak). PTM di masa pandemi sangat berbeda dengan PTM sebelum pandemi. Berdasarkan pemantauan langsung KPAI di sejumlah sekolah di beberapa daerah, pelanggaran PTM terbanyak adalah penggunaan masker yang salah. Bahkan banyak kasus guru dan siswa tidak memakai masker.
Menggelar PTM dalam kondisi laju penularan kasus yang belum di bawah 5 persen dan lemahnya kepatuhan dalam protokol kesehatan adalah keputusan berisiko bagi anak-anak Indonesia. Hak hidup anak adalah nomor satu, lalu hak sehat anak, kemudian hak pendidikan. Jika anak sehat dan tetap hidup, semua ketertinggalan pelajaran masih bisa dikejar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo