Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang P. Wiratraman menyatakan bahwa kasus salah tangkap klitih Gedongkuning membuktikan tidak ada pendekatan humanis dalam penegakan hukum. Hal itu, kata dia, terlihat dari cara-cara kekerasan yang digunakan oleh kepolisian kepada lima tersangka kasus klitih Gedongkuning, Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta memvonis 5 orang terdakwa bersalah dalam kasus klitih yang menewaskan satu orang. Padahal, para terdakwa disebut-sebut bukan merupakan pelaku sebenarnya kasus tersbut. Mereka diduga mengalami kekerasan selama proses penyidikan di kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski mengecam kekerasan yang dilakukan aparat, Herlambang mengatakan bahwa dirinya tidak cukup terkejut dengan praktik kekerasan dalam kasus klitih Gedongkuning. Hal itu, kata dia, disebabkan aparat kepolisian di seluruh Indonesia tak bisa lepas dari praktik kekerasan.
"Saya sendiri terlibat pengawalan kasus salah tangkap di Jawa Timur. Laptop saya pernah dicuri, saya lapor polisi. Saya ditunjukkan maling yang babak belur karena dipaksa mengaku mencuri laptop saya. Begitu plisi menjauh, saya tanya, dia tak bisa jawab," kata Herlambang dalam diskusi Mengungkap kasus klitih Gedongkuning di Yogyakarta, Selasa, 23 Mei 2023.
Herlambang mengatakan bahwa kekerasan terhadap para terdakwa menunjukkan bahwa tidak ada pendekatan humanis dalam pendekatan hukum. Hal tersebut berbeda dengan beberapa negara di Eropa yang menurutnya sudah menerapkan pendekatan humanis.
"Selain refomasi polisi yang boleh disebut gagal sampai hari ini tidak ada langkah bagaimana pastikan pendekatan yang humanis dalam paya penagakan hukum. Di Norway, polisi gunakan pendekatan yang tidak kekerasan terhadap maling sekalipun," kata Herlambang.
Hak asasi manusia, menurut Herlambang, tidak pernah menjadi bagian paling mendasar dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Padahal, menurut dia, separuh dari isi konstitusi merupakan manifestasi dari nilai-nilai hak asasi manusia.
"Menurut saya, materi hak asasi manusia dalam pendidkan polisi tidak cukup 1 semester," ujarHerlambang.
Herlambang menambahkan penangkapan para terdakwa, apabila ditinjau dari kacamata ekonomi politik penegakan hukum, tidak bisa lepas perkembangan Kota Yogyakarta yang ingin menjaga citra di mata para wisatawan.
"Pemerintah berusaha mempertahanakan pariwisata yang menarik sehingga peristiwa ini tidak boleh mengganggu. Mungkin di sini posisi pemerintahan," kata Herlambang.
Pilihan Editor: Dosen Hukum Tata Negara UGM Sebut Hukum Menjadi Alat Represi, Legitimasi dan Persekusi
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.