Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Fatwa pada Sesisir Pisang

Tidak ada hukuman bagi para penolak fatwa, tapi menjadi kewajiban bagi mereka yang mempercayainya.

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fatwa bisa menggelikan. Dalam sebuah wawancara awal Desember lalu, seorang syekh di Eropa menyatakan kekhawatirannya bahwa buah pisang dan mentimun bisa merangsang perempuan. Ia membandingkan keduanya dengan alat kelamin laki-laki. Kesimpulannya: larangan khusus bagi perempuan untuk menyentuh keduanya.

"Itu fatwa nyeleneh," kata Asterina. Dara 25 tahun ini meragukan legitimasi dan kebenaran fatwa tersebut karena tidak didukung dasar hukum Islam yang jelas dan tak ada manfaatnya bagi masyarakat. Setali tiga uang, Esthi Widyarini berpendapat, "Fatwa seperti itu keluar dari ulama yang berpikiran mesum."

Betapapun menggelikan keputusan itu, bisa dipastikan sang syekh—dan sebagian orang yang percaya—memiliki logika sendiri. Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan berpendapat fatwa itu "ngawur". "Kalaupun benar ada (alasannya), ini mungkin sebagai reaksi ulama itu atas banyaknya sex shop di Eropa," kata Amidhan kepada Tempo, dua pekan lalu.

Jika diberlakukan untuk masyarakat Indonesia, menurut Amidhan, fatwa itu tidak tepat. "Ibu-ibu di sini pasti memegang sayur dan buah itu di dapur sebagai bahan makanan," ujarnya.

Sebuah fatwa lahir untuk menjawab pertanyaan seseorang atau satu komunitas mengenai masalah yang tengah dihadapi. Pada 20 September 2010, tatkala muncul pertanyaan tentang posisi penyanyi perempuan, ulama Mesir, Yusuf Qardhawi, mengeluarkan fatwa yang menghalalkan perempuan menyanyi di hadapan publik. Di Indonesia, menjawab pertanyaan mengenai perbedaan Sunni-Syiah 28 tahun silam—tepatnya 7 Maret 1984—Majelis Ulama Indonesia meluncurkan fatwa: Syiah perlu diwaspadai.

Majelis merumuskan lima perbedaan pokok. Syiah hanya mengakui hadis yang diriwayatkan ahlulbait (Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husein, serta Nabi Muhammad; tidak mengakui ijma (kesepakatan ulama) tanpa imam; menegakkan pemerintahan termasuk dalam rukun agama; dan tak mengakui masa khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, serta Usman bin Affan. Menurut Amidhan, fatwa ini akan dikaji ulang. "Dalam waktu dekat," katanya berjanji.

Khatib Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Malik Madani, mengatakan fatwa juga terbatas pada ruang dan waktu. Seorang ulama atau sebuah lembaga yang mengeluarkan fatwa bisa menegaskan kembali, bisa juga merevisi fatwa. Suatu kali Imam Syafi'i pernah mengatakan bersentuhan dengan muhrim membatalkan wudu (qaul qadim, fatwa lama). Namun beberapa waktu berselang ia memberikan qaul jadid (fatwa baru) bahwa bersentuhan dengan muhrim tak membatalkan wudu.

Kendati bisa keluar lewat pernyataan seseorang atau lembaga, fatwa di Indonesia lebih banyak lahir dari lembaga (ijtihad jamai atau keputusan kolektif). Di Majelis Ulama Indonesia, pertanyaan seperti itu muncul di komisi fatwa yang beranggotakan 41 ulama. Setiap ulama dimintai pendapat. Lalu ketua komisi fatwa menilai dan memoderasi pandangan mana yang paling kuat. Karena yang akan difatwakan bukanlah masalah yang sudah jelas hukumnya di dalam Al-Quran dan hadis, proses sebelum kesepakatan bisa memakan waktu lama. Kasus vaksin meningitis untuk jemaah haji yang diduga mengandung DNA babi, misalnya, membutuhkan sembilan kali sidang.

Di Muhammadiyah, fatwa tertinggi lahir dari musyawarah nasional yang berlangsung lima tahun sekali. Sedangkan fatwa paling rendah berasal dari Majelis Tarjih Muhammadiyah yang bertugas membahas masalah fatwa. Majelis ini beranggotakan lebih dari 30 ulama. Menurut Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Bidang Tarjih, Yunahar Ilyas, tak sembarang ulama bisa mengeluarkan fatwa. Sang ulama harus memahami Al-Quran, hadis, ilmu fikih, ijma, mengikuti fatwa ulama terdahulu, dan tentu punya kepribadian lurus sehingga fatwanya tidak bisa dibeli. Jika masalahnya tergolong rumit, para ulama dapat meminta pandangan ahli di bidangnya, seperti pakar kesehatan dan perbankan.

Yunahar mengakui tidak ada sanksi bagi siapa saja yang tak mengikuti fatwa. "Namun," katanya, "fatwa mengikat bagi mereka yang meyakininya." Siapa saja bisa menyanggah suatu fatwa asalkan memiliki dasar yang jelas dan kuat.

Di tubuh Nahdlatul Ulama, pengurus ranting atau cabang memiliki otoritas mengeluarkan keputusan. Malik Madani mengatakan setiap pertanyaan bisa disampaikan melalui pengurus ranting (tingkat desa), majelis wakil cabang (kecamatan), cabang (kabupaten), wilayah (provinsi), dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (pusat). "Jika selesai di tingkat bawah, tak perlu sampai ke pengurus di atasnya," kata Malik. Apabila persoalannya rumit, ada Bahtsul Masail yang menjadi wadah pembahasan segala masalah.

Dedhi Suharto, penulis buku Qur'anic Quotient, Negarawan Qur'ani, dan Keluarga Qur'ani, menjelaskan fatwa terdiri atas beberapa lapis. Ada fatwa nabi atau dikenal dengan sunah dan fatwa shahabyyang dikeluarkan para sahabat nabi. Misalnya, Umar bin Khattab pernah memfatwakan pembagian rampasan perang berupa tanah tidak dibagi habis karena perlu memikirkan generasi masa mendatang. Padahal pada masa Rasulullah harta rampasan itu dibagi habis.

Ada pula fatwa Imam Mujtahid, di antaranya Imam Bukhari, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Ahmad bin Hambali. Selain itu, fatwa keluar dari lembaga resmi, seperti Darul Ifta, Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama.

Rini Kustiani


Rumah Fatwa Kelas Dunia

Dar Al-Ifta atau Darul Ifta berarti Rumah Fatwa. Inilah lembaga fatwa pertama yang didirikan di dunia Islam pada 21 November 1895.

Mulanya, lembaga fatwa ini berada di bawah Departemen Kehakiman Pemerintah Mesir. Mufti atau ulama yang membuat fatwa selalu dimintai pendapat dalam pelaksanaan vonis mati dan persoalan hukum lainnya. Namun lama kelamaan tugasnya meluas ke berbagai bidang.

Kini, Darul Ifta menjadi tempat memaparkan hukum-hukum Islam untuk menjawab setiap permasalahan pada kehidupan modern. Tak terbatas pada wilayah Mesir saja, jangkauannya kini sampai membahas masalah seputar dunia Islam secara umum. Karena itu, lembaga ini dianggap mumpuni sebagai rujukan tentang fatwa di seluruh dunia.

Setiap bulan tercatat sekitar 50 ribu fatwa dikeluarkan lembaga ini, antara lain masalah di masyarakat dan keluarga termasuk, persoalan muamalah, mulai jual-beli, asuransi, ganti rugi, gadai, sampai akhlak. Permasalahan kontemporer, seperti kekayaan intelektual dan merek dagang serta penggunaan jaringan ikat babi dalam riset ilmiah untuk kepentingan manusia, juga masuk dalam kategori ini.

Pekerjaan pokok para ulama di Dar Al-Ifta adalah menerima pertanyaan dan permohonan fatwa serta menjawabnya dengan berbagai bahasa: Inggris, Jerman, Prancis, Turki, Rusia, Urdu, dan Indonesia. Mereka juga wajib menentukan permulaan setiap bulan hijriah, mengadakan pelatihan fatwa bagi mahasiswa asing, menjawab kesalahpahaman terhadap Islam, dan mengadakan sistem belajar jarak jauh.

Salah satu isu yang ditanggapi lembaga fatwa ini adalah invasi Amerika Serikat terhadap Irak, larangan penggunaan jilbab di Prancis, pelecehan terhadap para sahabat, serta peristiwa peledakan bom yang membuat takut dan cemas masyarakat.

Orang atau lembaga yang meminta fatwa (mustafti) dapat mengajukan pertanyaan secara lisan—baik datang langsung maupun melalui telepon—dan tertulis lewat surat, faksimile, surat elektronik, atau jejaring sosial seperti Facebook serta Twitter. Setiap pertanyaan yang masuk disalurkan ke Dewan Fatwa sebagai badan tertinggi yang terdiri atas para ulama pilihan dan dibantu peneliti syariah. Dewan ini berada di bawah pengawasan Mufti Agung.

Untuk melengkapi pertimbangan fatwa, Dar Al-Ifta bekerja sama dengan Lembaga Riset Nasional Mesir, Universitas Ain Syams, Perpustakaan Nasional Mesir, Lembaga Layanan Sosial, dan Bank Sentral. Lalu mengapa rumah fatwa ini ada di negeri para Pharaoh, bukan di Mekah sebagai tempat lahirnya Islam atau Madinah yang menjadi kota hijrah Nabi Muhammad? Ketika itu, Mesir menjadi pusat studi Islam terkemuka di seantero jagat, hingga sekarang.

Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Bidang Tarjih, Yunahar Ilyas, mengatakan, pada zaman setelah Nabi Muhammad, para ulama menyebar ke berbagai wilayah dan kemudian berdiri pusat-pusat studi Islam di Jazirah Arab.

Ada yang ke Basrah (sebuah kota di sebelah selatan Irak), Damaskus (Suriah), Kairo (Mesir), dan Maroko. "Sehingga Mekah dan Madinah sekarang menjadi pusat ibadah," katanya. Khatib Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Malik Madani, mengatakan selain Mesir, Malaysia memiliki lembaga fatwa bentukan pemerintah dengan nama Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim).

Di Indonesia, menurut Malik, fatwa dikeluarkan oleh organisasi kemasyarakatan Islam, seperti Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis).

Rini Kusrini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus