Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Pertemuan dalam Bayang-bayang Perang

Sebanyak 17 kepala negara menyatakan siap datang ke KTT G20. Dibayang-bayangi kemungkinan walkout atau tanpa komunike bersama sebagai dampak invasi Rusia ke Ukraina.

13 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGIAN besar kepala negara sudah memastikan datang ke Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada 15-16 November 2022. Pada Jumat, 11 November lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meneruskan pranala situs Kementerian Luar Negeri yang melaporkan perkembangan terbaru tentang kehadiran para pemimpin itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hingga Jumat itu, 17 kepala negara sudah menyatakan siap datang ke Bali. Tiga lainnya akan diwakili oleh menteri luar negeri atau hadir secara virtual. Kedutaan Besar Rusia di Jakarta telah mengirim nota diplomatik yang menyatakan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin tidak dapat hadir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat perang masih terus berkecamuk di Ukraina, isu dampak perang akan menjadi pembahasan tak terelakkan di forum G20. Indonesia sebagai tuan rumah bersiap menghadapi kejutan, entah aksi walkout entah tak adanya komunike bersama.

Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Istana Kremlin, 29 Juni 2022. BPMI Setpres/Laily Rachev

Indonesia seharusnya memegang keketuaan atau presidensi G20 pada 2023, bukan tahun ini. Perubahan terjadi karena adanya pertukaran antara Indonesia, India, dan Italia. Akhirnya Italia memegang keketuaan pada 2021, Indonesia pada 2022, dan India pada 2023. Pertukaran ini terjadi, kata Menteri Retno Marsudi, karena pada 2023 Indonesia juga menjadi Ketua ASEAN.

Secara resmi Indonesia memegang keketuaan kelompok negara ekonomi maju dan berkembang ini setelah serah-terima dari Italia pada November 2021. Sebagai pemegang presidensi G20, Indonesia menetapkan tiga prioritas isu, yaitu arsitektur kesehatan, transformasi digital, dan transisi energi. Moto yang diusung adalah “Recover Together, Recover Stronger”.

Pertemuan tingkat menteri keuangan dan gubernur bank sentral anggota G20 pertama digelar pada pertengahan Februari lalu di Jakarta. Hasilnya, ada komunike bersama setebal delapan halaman. Isinya antara lain tentang kesiapan mendukung negara yang rentan dalam menghadapi pandemi, komitmen pendanaan hijau, serta memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Semuanya berubah setelah Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari lalu. Invasi itu dikecam dunia internasional. Dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2 Maret lalu, 141 dari 193 anggota PBB menyetujui resolusi yang menuntut Rusia untuk segera mengakhiri serangannya di Ukraina. Indonesia mendukung resolusi tersebut.

Buntut invasi itu, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Rusia agar pemerintah Presiden Vladimir Putin menarik pasukannya dari Ukraina. Sanksi itu diikuti dengan penghentian impor minyak dan gas dari Rusia ke Eropa, yang kemudian memicu krisis energi di Eropa dan naiknya harga minyak dunia.

Invasi itu juga memicu krisis pangan, terutama di kawasan Afrika. Sebab, Ukraina adalah salah satu penyuplai besar gandum dunia. Perang ini, menurut Menteri Retno, yang membuat Indonesia menambah fokus agenda G20, yaitu memasukkan isu pangan.

Rusia juga mulai disisihkan dari pergaulan internasional. Sejumlah negara membekukan aset para pejabat dan anggota keluarga para pemimpin Rusia. Majelis Umum PBB juga mendukung penangguhan Rusia dari keanggotaannya di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

Perang itu tak ayal membuat hubungan Rusia dengan Amerika, Uni Eropa, dan Inggris memburuk. Selain karena sanksi, Amerika dan sekutunya memberikan dukungan senjata kepada Ukraina. Ketegangan di kalangan anggota G20 ini tentu berdampak pada agenda-agenda G20.

Muncul pula desakan dari negara Barat agar Rusia dicoret keanggotaannya dari G20. Hal ini antara lain disampaikan oleh Presiden Amerika Joe Biden saat bertemu dengan pemimpin Uni Eropa di Brussels, Belgia. pada 24 Maret lalu. Menurut sumber di Kementerian Luar Negeri, permintaan itu hanya disampaikan di media dan belum ada permintaan secara resmi kepada Indonesia.

Indonesia mengaku tak memiliki wewenang mengeluarkan Rusia dari G20. Sebab, pendepakan anggota harus diputuskan secara bersama oleh semua anggota G20. “Silakan diputuskan dalam KTT,” ujar Menteri Retno kepada Tempo pada Jumat, 21 Oktober lalu. Retno juga menyadari bahwa tidak mudah mencapai konsensus karena dalamnya jurang perbedaan di antara para anggota.

Hal itu berdampak langsung pada agenda dan pertemuan-pertemuan G20. Salah satunya terlihat saat menteri ekonomi dan gubernur bank sentral negara G20 bertemu untuk kedua kalinya pada 20-21 April lalu di Washington, DC, Amerika. Saat itu Wakil Menteri Keuangan Rusia Timur Maksimov datang dan Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov hadir secara virtual.

Pada awalnya acara itu berjalan lancar. Namun, saat Anton Siluaniov berbicara, Menteri Keuangan Amerika Janet Yellen, Menteri Keuangan Kanada Chrystia Freeland, Menteri Keuangan Inggris Rishi Sunak, Gubernur Bank Sentral Amerika Jerome Powell, dan Gubernur Bank Sentral Eropa Christine Lagarde keluar dari ruangan. Meski diwarnai aksi walkout, ada sejumlah kesepakatan yang dihasilkan. Namun pertemuan itu tak menghasilkan komunike bersama seperti pertemuan sebelumnya.

Indonesia menyadari adanya seruan boikot dalam agenda G20. Menurut Retno, seruan itu sudah muncul tak lama setelah invasi Rusia. Indonesia berusaha meredam gerakan itu dengan cara berkomunikasi secara intensif dengan anggota G20 lain. “Kami bicara dengan semua anggota,” katanya.

Indonesia juga berusaha mencari terobosan untuk mengakhiri perang di Ukraina. Salah satunya dengan melibatkan Ukraina dalam forum-forum G20, meski statusnya bukan anggota. Mengundang negara luar yang bukan anggota adalah salah satu kewenangan keketuaan G20. Itu sebabnya Menteri Keuangan Ukraina dan Menteri Luar Negeri Ukraina juga ikut dalam pertemuan tingkat menteri.

Kontak resmi Indonesia dengan Ukraina terjadi pada 27 April lalu. Saat itu Presiden Joko Widodo menelepon Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. “Saya kembali menegaskan dukungan Indonesia terhadap segala upaya agar perundingan damai berhasil dan siap memberikan bantuan kemanusiaan,” tutur Jokowi mengenai percakapan teleponnya. Indonesia juga mengundang Zelenskyy untuk datang ke KTT G20 di Bali.

Setelah menelepon Zelenskyy, esoknya Jokowi menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin. Dalam cuitannya di Twitter, Jokowi menyatakan bahwa dalam percakapan telepon itu Indonesia mendesak dihentikannya perang. Pesan lain adalah menegaskan tentang undangan ke Bali. Menurut sumber di Kementerian Luar Negeri, undangan secara resmi kepada Rusia sudah dikirim sebelum invasi terjadi.

Kontak lewat telepon itu kemudian diikuti dengan kunjungan Jokowi ke Kyiv pada 29 Juni lalu. Dalam pertemuan dengan Zelenskyy, Jokowi menyampaikan bantuan dari pemerintah Indonesia, termasuk menanyakan rencana kedatangan Zelenskyy ke Bali. Seusai dari Kyiv, Jokowi melanjutkan kunjungan ke Moskow untuk menemui Putin pada 1 Juli.

Menurut sumber di Kementerian Luar Negeri, Jokowi mengunjungi Kyiv lebih dulu karena pertimbangan sensitivitas. Indonesia memahami sensitifnya masalah Ukraina. Ia memberi contoh protes Ukraina saat Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres lebih dulu datang ke Moskow daripada Kyiv. Tapi Indonesia tetap berkoordinasi dengan Rusia mengenai hal tersebut.

Dalam pertemuan itu, kata sumber tersebut, Presiden Zelenskyy menyatakan kesediaan untuk datang. Tapi ia tidak menjelaskan apakah akan hadir secara langsung atau dengan cara lain. Adapun Putin menyatakan akan berpartisipasi dan mendukung kesuksesan Indonesia di G20. Tak ada kepastian Putin untuk datang saat itu.

Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, mengatakan Presiden Jokowi saat itu membicarakan perang, koridor kemanusiaan, dan undangan ke Bali. Presiden Zelenskyy menyampaikan terima kasih atas undangan itu. “Ia akan datang jika situasi keamanan memungkinkan,” ujar Hamianin saat ditemui di kantornya pada Selasa, 8 November lalu.

Perang di Ukraina yang berlarut-larut sangat berpengaruh terhadap agenda G20. Ketegangan terlihat saat menteri luar negeri G20 bertemu di Bali pada 8 Juli lalu. Seperti dilansir media Amerika, US News, setidaknya dua kali Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov keluar dari ruangan, yakni saat Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock berbicara dan sebelum Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba berbicara di sesi kedua melalui konferensi video.

Dalam pertemuan itu, meski ada di ruangan yang sama, Menteri Lavrov dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken seperti mengabaikan satu sama lain. Seorang diplomat menyebutkan Blinken sempat menunjuk delegasi Rusia dan menuduh Moskow memblokir jutaan ton biji-bijian di pelabuhan Ukraina dan menyebabkan kerawanan pangan di sebagian besar wilayah di dunia.

Apa yang terjadi dalam pertemuan menteri keuangan di Washington berulang dalam pertemuan menteri luar negeri di Bali pada Juli lalu. Pertemuan yang salah satunya membicarakan perang di Ukraina itu tak menghasilkan komunike bersama. Menurut sumber di Kementerian Luar Negeri, sesi foto bersama para menteri luar negeri juga ditiadakan.

Menteri Retno Marsudi mengatakan tak adanya sesi foto bersama itu memang inisiatif Indonesia. “Pertemuan menteri luar negeri G20 memang didesain tidak ada foto bersama agar semua pihak merasa nyaman,” ucapnya.

Apa yang terjadi saat ini sebenarnya bukan krisis pertama yang dihadapi G20. Situasi yang mirip terjadi pada 2014 saat Rusia mencaplok Krimea dari Ukraina. Saat itu Australia memegang presidensi G20. “Kalau sebelumnya ada kecaman dan sebagainya. Tapi tidak ada wacana sampai mengeluarkan Rusia,” kata Lina Alexandra dari Centre for Strategic and International Studies pada Jumat, 11 November lalu.

Retno Marsudi, yang juga ikut dalam KTT G20 di Brisbane, Australia, itu, punya kesan yang sama. Ia menyebutkan krisis saat ini dengan krisis pada 2014 mirip, tapi suasananya tidak setajam saat ini. “Makanya saya bilang perbedaannya itu bukan cuma lebar, tapi lebar dan dalam. Lengkap,” ujarnya.

Seusai pertemuan menteri luar negeri pada Juli lalu, puncak acara G20 adalah konferensi tingkat tinggi di Bali pekan ini. Pertemuan tersebut akan dihadiri para kepala negara anggota G20. Pertemuan puncak tersebut juga akan menandai peralihan pemegang presidensi dari Indonesia ke India.

Perang di Ukraina ditaksir menyebabkan setidaknya 200 ribu tentara dari kedua belah pihak tewas atau terluka. Ribuan orang sipil Ukraina tewas di tangan tentara Rusia, seperti yang terjadi di Bucha, Irpin, dan sejumlah kota lain. Pembunuhan terhadap masyarakat sipil inilah yang akan dibawa Ukraina ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebagai kejahatan perang Rusia.

Presiden Joko Widodo memberikan pidato saat pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral atau Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBG) di Jakarta Convention Center, Jakarta, 17 Februari 2022. ANTARA/Hafidz Mubarak A

Ancaman boikot dalam KTT G20 di Bali ternyata tidak terjadi. Hingga Jumat, 11 November lalu, 17 kepala negara sudah mengkonfirmasi kehadiran mereka. Tiga kepala negara akan diwakili menteri luar negerinya atau datang secara virtual. Adapun Presiden Vladimir Putin dipastikan tidak datang langsung ke Bali.

Konfirmasi ketidakhadiran Putin ini disampaikan Alexander Tumaykin, Atase Pers Kedutaan Besar Rusia di Jakarta, kepada media Rusia, RIA Novosti. Saat dihubungi Tempo pada Jumat, 11 November lalu, Tumaykin belum memberi jawaban. Namun, dalam grup WhatsApp Russia News pada Kamis, 10 November lalu, dia mengatakan, “Saya dapat mengkonfirmasi bahwa Kepala Delegasi Rusia pada KTT G20 mendatang adalah Menteri Luar Negeri Federasi Rusia Sergey Lavrov.”

Pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie hadir dalam acara Annual Meeting of the Valdai Discussion Club di Moskow pada 27 Oktober lalu. Saat itu dia bertanya kepada Presiden Putin dalam forum tersebut. “Waktu itu Putin mengusahakan datang. Kalaupun tidak datang, dia akan mengirim delegasi tingkat tinggi,” kata Connie pada Sabtu, 12 November lalu.

Mendengar jawaban itu, Connie yakin Putin tidak akan datang. Sebab, sebelumnya Putin mengatakan bahwa Presiden Jokowi seperti saudara. “Saya punya feeling dia tidak akan datang karena tidak mau merepotkan kita. Bukan karena takut, tidak mau, tapi menghormati Presiden dan tak mau bikin ribet acara G20,” ucapnya.

Hadir atau tidaknya Putin dalam G20 ini, bagi Lina Alexandra, menjadi dilema bagi Indonesia sebagai tuan rumah. Kalau Putin datang, Indonesia bisa deg-degan ihwal kemungkinan apa yang terjadi selama KTT. Tapi, kalau Putin tidak datang, KTT dianggap tidak sukses. “Makanya becandaannya adalah, ‘Kalau tahu begini, kita tukar saja sama India. Biar dia yang pusing.’ Ini cuma becandaan, ya,” ujar Lina.

Dalam situasi sekarang, Lina menyarankan Indonesia berfokus mengamankan isu inti dari G20, yaitu soal kesehatan, transisi energi, dan transformasi digital. “Itu hal penting yang sangat dibutuhkan dunia ke depan. Soal misi perdamaian yang dibawa dalam pertemuan G20, itu suatu poin tambahan saja kalau bisa dicapai,” tuturnya.

Lina menilai tidak adanya komunike bersama kecil kemungkinan terjadi karena Putin sudah pasti tidak datang. Namun pemerintah tetap harus mengantisipasi kemungkinan tidak adanya komunike bersama atau tak ada sesi foto bersama karena sudah ada kasusnya dalam dua kali pertemuan tingkat menteri. “Sebaiknya (pemerintah) menyiapkan skenario kalau hal itu terjadi. Kita siapkan plan A dan plan B. Seharusnya sekarang lebih siap,” katanya.

Berdasarkan pengalaman KTT G20 pada 2014, menurut Lina, Australia berusaha memecahkan kebekuan di antara sesama kepala negara dengan membuat acara barbeque. Itu adalah tradisi khas Australia. Dalam KTT di Bali, ia mendengar kabar bahwa panitia menyiapkan acara penanaman mangrove bersama oleh para kepala negara.

Menteri Retno Marsudi tak menjawab langsung saat ditanyai mengenai kemungkinan tak ada sesi foto bersama dalam pertemuan kepala negara ini. “Apakah pernah ada foto bersama di pertemuan internasional lain di mana Amerika, Uni Eropa, dan Rusia hadir dalam satu pertemuan setelah adanya perang di Ukraina?” ucapnya diplomatis.

Soal komunike bersama, Retno mengatakan konsentrasi Indonesia saat ini adalah mengamankan substansi dari outcome document karena penting artinya bagi dunia. “Sampai saat ini tidak ada satu pun anggota G20 yang disengage dari proses negosiasi. Ini capaian tersendiri di tengah situasi dunia yang penuh tantangan seperti saat ini,” tuturnya.

ABDUL MANAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus