Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM melaksanakan kebijakan migrasi siaran televisi digital, pemerintah perlu memakai kacamata kuda. Tak perlu lagi mengindahkan keberatan stasiun televisi swasta yang terus-menerus mencari celah untuk menunda analog switch off (ASO).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penerapan ASO pada 2 November 2022 semestinya mengakhiri kisruh yang berkepanjangan selama dua windu. Migrasi siaran dari analog ke digital ini merupakan hasil Konferensi Radio Komunikasi Regional di Jenewa pada 2006 yang kemudian diratifikasi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perpindahan ini memungkinkan pemerintah mengatur ulang pemanfaatan frekuensi pada spektrum 700 megahertz (MHz), yang bisa menjangkau area yang luas, tak terpengaruh topografi dan kondisi cuaca. Selama lebih dari dua dekade spektrum yang dianggap istimewa itu dipegang 14 stasiun televisi dan membawa mereka meraup 78 persen pasar iklan yang senilai Rp 259 triliun pada tahun lalu.
Penataan ulang gelombang itu bermanfaat bagi masyarakat. Publik bisa memiliki lebih banyak pilihan tontonan karena industri penyiaran akan berkembang. Sebab, satu spektrum frekuensi yang tadinya dipegang satu lembaga penyiaran swasta akan dapat digunakan berbarengan oleh 12 saluran televisi digital.
Keuntungan lain adalah terciptanya dividen digital. Selama ini, 14 stasiun televisi menyelenggarakan siaran terestrial analog di spektrum frekuensi selebar 328 MHz, antara frekuensi 478 dan 806 MHz. Dengan migrasi TV digital, kebutuhannya hanya 176 MHz, yakni pada rentang frekuensi 518 dan 694 MHz. Selisihnya akan digunakan untuk pengembangan jaringan Internet cepat atau 5G. Pemerintah juga wajib menunaikan janji mewujudkan penyiaran kebencanaan dengan memanfaatkan dividen digital ini.
Kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh hampir semua negara ini terus dipermasalahkan oleh stasiun televisi swasta di Indonesia. Pada 2011, mereka menolak migrasi karena hal itu tidak diatur undang-undang, hanya lewat peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika. Di periode ini, ada kelalaian pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang tak kunjung membuat payung hukum. Revisi Undang-Undang Penyiaran yang mandek tiga tahun kemudian masuk Undang-Undang Cipta Kerja pada November 2020. Sudah ada aturannya pun implementasi analog switch off berulang kali tertunda akibat desakan Asosiasi Televisi Swasta Indonesia.
Meski sebagian melewati tenggat 2 November 2022, semua stasiun televisi swasta mematuhi ASO. Namun mereka berencana menuntut pemerintah. Alasannya, uji materi Mahkamah Konstitusi melarang pemerintah membuat kebijakan strategis berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja.
Ada juga dalih ketidaksiapan masyarakat. Untuk bisa menangkap siaran digital, butuh televisi keluaran terbaru atau menambahkan set-top box sebagai pengalih sinyal digital menjadi gambar dan suara di TV analog. Kementerian Komunikasi dan lembaga penyiaran swasta bersepakat membagikan 5,5 juta unit kepada keluarga miskin. Namun penyaluran oleh pihak swasta mandek.
Tertundanya akses masyarakat terhadap tayangan televisi bakal menimbulkan kerugian yang lebih besar dari sisi penyedia layanan, yang hanya kehilangan penerimaan iklan. Tersebab itu, pemerintah tak boleh kalah oleh kepentingan bisnis sesaat pemilik stasiun televisi swasta.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo