Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Puluhan warga Indonesia masih bertahan di Cina.
Buruh migran tak bisa pulang karena terikat kontrak.
Kota-kota lain di luar Kota Wuhan juga ditutup atau ada pembatasan aktivitas.
SETELAH melalui persiapan matang, pemerintah akhirnya mengevakuasi 237 warga Indonesia dari Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, Cina, 2 Februari lalu. Hingga Jumat, 7 Februari lalu, lebih dari 600 orang meninggal di kota yang menjadi pusat penyebaran virus corona itu. Sedianya 244 orang yang akan dievakuasi, tapi ada empat yang akhirnya tetap tinggal karena alasan keluarga dan hendak menyelesaikan tugas kuliah serta tiga orang tidak lolos pemeriksaan kesehatan karena sedang demam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menyatakan masih ada sejumlah pekerja migran yang tidak dievakuasi karena tak melapor ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI). "Jumlahnya puluhan," kata Judha di Jakarta, 7 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Cina menutup Kota Wuhan setelah jumlah orang yang terinfeksi corona terus bertambah dengan cepat sejak 23 Januari lalu. Semua transportasi di dalam kota dihentikan operasinya untuk mencegah meluasnya penyebaran virus, termasuk yang melalui jalur udara. Pengetatan ini membuat warga Indonesia, yang sebagian besar mahasiswa, risau soal persediaan makanan dan kekhawatiran tertular corona.
Virus itu kini setidaknya telah menyebar di 16 negara. Menurut data Shine.cn, pada 7 Februari lalu, total ada 31.224 orang yang terkonfirmasi terkena virus corona. Sebanyak 637 orang meninggal dan 1.592 bisa dipulihkan. Korban terbanyak berada di Provinsi Hubei, yaitu 22.112 orang tertular virus dan 618 meninggal.
Meski tak seperti Wuhan, daerah lain di Cina mulai melakukan pengetatan. Salah satunya Zhejiang, provinsi yang terletak sekitar 600 kilometer ke arah timur Wuhan. Menurut Indah Morgan, salah satu warga Indonesia di sana, Zhejiang melakukan pengetatan setelah 1.006 orang tertular corona, meski belum ada yang meninggal. "Zhejiang sudah masuk restricted area. Mungkin akan segera ditutup karena kini korbannya yang terbanyak ketiga di seluruh Cina," kata Indah, 6 Februari lalu.
Pemerintah Zhejiang berusaha meredam penyebaran corona ini dengan membatasi warganya ke luar rumah. Menurut Indah, pintu keluar perumahannya yang dihuni 10 ribu orang itu kini hanya dibuka satu, dari total empat pintu. Pemerintah mengeluarkan kupon jatah keluar perumahan untuk tiap keluarga. "Seminggu hanya tiga kali keluar. Itu pun hanya boleh satu orang," katanya.
Saat Wuhan ditutup, menurut Indah, Zhejiang masih relatif normal. Ia melihat masih banyak bus dan angkutan umum lain lalu-lalang. Ia memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dengan membelinya di warung di dalam perumahan, yang bisa dicapai dengan berjalan kaki. Saat jumlah korban terus bertambah, angkutan umum mulai jarang terlihat. Banyak toko mulai tutup, termasuk mal In City, yang bisa dijangkaunya dengan 10 menit berjalan kaki dari rumah. "Semalam sudah tutup," ujarnya.
Warga Indonesia di Shanghai, yang berjarak sekitar 830 kilometer dari Kota Wuhan, juga merasakan dampak pengetatan. Jumlah korban yang terkonfirmasi terkena corona di situ mencapai 277 kasus. "Pembatasan aktivitas dilakukan melalui pengecekan suhu badan setiap keluar-masuk perumahan, mal, ataupun tempat umum lain," kata Susan, warga Indonesia yang tinggal di Distrik Pudong. Di distrik ini sudah ada 25 orang yang positif corona.
Dampak pembatasan itu, menurut Susan, banyak orang yang memilih belanja online, termasuk makanan. Namun para pengirim makanan secara online juga tidak bisa masuk ke perumahan secara bebas seperti sebelum wabah. Mereka sekarang hanya bisa menitipkannya di pos keamanan.
Kini keadaan mulai perlahan pulih. "Hanya, banyak kantor yang belum beroperasi seperti semula," ujar Susan. "Libur sepertinya diperpanjang. Beberapa universitas baru beraktivitas April nanti."
KJRI Shanghai, kata Susan, sudah mendata warga Indonesia di sana sejak Senin, 3 Februari lalu. "Rencananya untuk pembagian masker. Semoga saja KJRI segera membagikan masker," ujarnya. Menurut Susan, masker kini menjadi barang langka. Masker isi 50 lembar biasa didapat dengan harga 175 yuan atau sekitar Rp 300 ribu. "Cuma, barangnya tidak ada." KJRI, kata dia, mengimbau warga Indonesia lebih berhati-hati dan tidak panik.
Di luar Cina daratan, negara yang terkena dampak langsung adalah Hong Kong. Hingga 7 Februari lalu, ada 24 orang yang tertular corona di sana. Warga Indonesia merasakan dampaknya cukup besar. Ada sekitar 180 ribu buruh migran di Hong Kong. "Sejumlah sekolah diliburkan sampai 2 Maret. Mungkin bisa diperpanjang kalau tidak ada perubahan," ujar Yana, warga Indonesia di sana.
Masker isi 50 lembar biasa didapat dengan harga 175 yuan atau sekitar Rp 300 ribu. “Cuma, barangnya tidak ada.”
Namun perubahan drastis terjadi setelah seorang pria 39 tahun meninggal pada 3 Februari lalu. Ini korban tewas pertama akibat corona di Hong Kong. Setelah itu, kata Yana, pemerintah menutup sebagian besar perbatasannya dengan Cina, seperti pintu perbatasan Lo Wu dan Lok Ma Chau; titik pemeriksaan Man Kam To, Hung Hom, dan Sha Tau Kok; terminal feri Hong Kong-Cina; kereta cepat West Kowloon; serta terminal penyeberangan Hong Kong-Makau dan Tuen Mun. Yang masih dibuka adalah pelabuhan Shenzhen, jembatan Hong Kong-Zhuhai-Makau, Bandar Udara Internasional Hong Kong, dan pelabuhan kapal pesiar Kai Tak.
Pengumuman penutupan perbatasan pada 4 Februari lalu itu, kata Yana, membuat masyarakat panik. Penutupan itu berdampak pada ketersediaan buah, sayur, dan produk kebersihan yang selama ini berasal dari Cina daratan. Kebutuhan beras relatif sedikit karena warga Hong Kong biasanya makan nasi di malam hari dan selebihnya mengkonsumsi mi. "Dalam dua hari terakhir, warga Hong Kong memborong makanan karena khawatir terjadi kekurangan stok," tutur koordinator komunitas buruh migran Under the Bridge Foundation itu.
Melalui Facebook, KJRI di Hong Kong mengimbau buruh migran Indonesia membatasi kegiatan di luar rumah saat libur Sabtu dan Minggu. Biasanya pada dua hari itu mereka pergi ke Victoria Park atau Kowloon Park. Kini jalanan Hong Kong lebih sepi, termasuk di hari libur. "Ada yang pernah ke Victoria Park di hari Minggu. Hanya ia sendiri di bus itu," kata Yana.
KJRI juga membagikan masker sejak 3 Februari lalu. Awalnya, kantor KJRI yang beralamat di Causeway Bay itu membagikan satu masker untuk tiap buruh migran. Sehari kemudian, jumlahnya ditambah. "Teman saya barusan di KJRI mendapat tiga lembar setelah antre 30 menit," ujar Yana. Masker merupakan barang langka di Hong Kong. Harganya juga melonjak, dari semula Rp 50 ribu bisa naik sampai tiga kali lipat. Itu pun stoknya habis.
Yana menambahkan, ia beberapa kali bertemu dengan sesama buruh migran saat wabah corona ini merebak. "Situasi ini membuat saya terbawa perasaan ingin pulang. Tapi itu kan bukan solusi. Kami terpaksa bertahan bersama warga Hong Kong melalui situasi ini karena kami terikat kontrak," katanya. Yana berharap ada dukungan doa, selain kiriman masker, agar bisa melalui masa sulit ini. Ia melindungi diri dari corona antara lain dengan lebih menjaga kebersihan, tidur lebih awal, dan makan suplemen.
ABDUL MANAN, RAYMUNDUS RIKANG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo