Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rasa cemas membuat warga Indonesia di Wuhan dan sekitarnya kembali ke Tanah Air.
Sebagian memilih pulang sendiri dan tak menunggu evakuasi.
Mereka menghadapi berbagai kesulitan untuk kembali ke Tanah Air.
EMPAT hari putus komunikasi dengan putrinya membuat Mat Suwarsono cemas bukan kepalang. Selama itu, ia tidak mengetahui kondisi Siti Mizabul Ijabah, 20 tahun, yang dikarantina di Pulau Natuna, Kepulauan Riau. Bersama 236 warga Indonesia lain dan satu warga asing yang bermukim di Wuhan, Provinsi Hubei, dan sekitarnya, mahasiswa Hubei University of Science & Technology itu dipulangkan akibat virus corona melanda Cina.
Suwarsono sempat khawatir karena wabah itu menyebar dengan cepat dengan jumlah korban terus meningkat. Apalagi tak sedikit penduduk Wuhan yang meninggal setelah terpapar virus. Hingga akhirnya Siti dievakuasi dan menjalani observasi di Natuna. Namun Suwarsono lega setelah bisa melihat putrinya melalui telepon video. “Saya sempat stres. Untung, dia kelihatan sehat,” katanya saat dihubungi Tempo, Jumat, 7 Februari lalu.
Mereka yang diungsikan dari Cina tiba di Tanah Air pada Ahad, 2 Februari lalu. Kementerian Kesehatan menyediakan 4 dokter, 5 perawat, 1 epidemiolog, dan 10 anggota tim disinfeksi. Enam alat disinfeksi menyemprot tubuh mereka begitu menjejakkan kaki di Bandar Udara Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau. Mereka kemudian ditempatkan di pangkalan militer di Natuna. Jarak lokasi berkapasitas 300 orang itu sekitar lima kilometer dari permukiman terdekat.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan ada 102 tenaga medis yang disiapkan untuk mengawasi para mahasiswa. Mereka secara intensif mengukur suhu tubuh serta mewaspadai jika ada gejala terpapar virus Wuhan, seperti flu, batuk, demam, atau sakit tenggorokan. “Kami berfokus memperhatikan peningkatan suhu tubuh,” ujar Anung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kesehatan juga memenuhi kebutuhan psikologis mereka yang dikarantina. Mereka menggelar kegiatan olahraga bersama. Disediakan pula alat musik hingga fasilitas Internet. Ahmad Syaifuddin Zuhri, yang istrinya, Hilyatu Millati Rusydiyah, ikut dikarantina di Natuna, bercerita bahwa pemerintah menyediakan meja pingpong dan televisi untuk karaoke. “Biar tidak drop kesehatannya,” kata Zuhri kepada Tempo, 7 Februari lalu. Observasi terhadap mahasiswa yang datang dari Wuhan akan berlangsung hingga 16 Februari 2020.
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBAGAI jalur ditempuh warga Indonesia yang tinggal di Wuhan dan sekitarnya untuk kembali ke Tanah Air. Isma Nur Fadilah, mahasiswa Jiangsu Agri-animal Husbandry Vocational College—sekitar 100 kilometer dari Wuhan—kembali ke Indonesia dengan biaya sendiri. Bersama sejumlah teman asal Indonesia yang tinggal di asrama yang sama di Nanjing, Isma meminta izin pulang ke pihak kampus.
Isma bercerita, suasana Nanjing terasa mencekam. Toko-toko tutup, alat transportasi umum pun berkurang. Semua penduduk mengenakan masker. Mahasiswa di asrama tempat dia tinggal dilanda kepanikan. Penghuni asrama yang sakit batuk disertai demam dan sesak napas langsung diperiksa lantaran dikhawatirkan terjangkit virus corona. “Peraturan asrama diperketat, kami tidak boleh keluar,” kata Isma, yang ditemui Tempo di rumahnya di Lumajang, Jawa Timur, 7 Februari lalu.
Isma Nur Fadilah (kanan) dan ibunya, Sudarmi di rumahnya, di Dusun Sarirejo, Desa Kebonsari, Kecamatan Sumbersuko, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. TEMPO/David Priyasidharta
Isma dan teman-temannya memesan tiket pesawat yang transit di Singapura pada 28 Januari lalu. Namun, pada Senin, 3 Februari, ia menerima pemberitahuan bahwa Bandara Changi tak menerima penerbangan asal Cina. Isma akhirnya memesan tiket penerbangan lagi yang transit di Bangkok, Thailand. Menuju Bandara Nanjing, Isma dan kawan-kawan beruntung bisa mendapat taksi, yang jumlahnya makin terbatas. Suasana tegang menyelimuti mereka.
Dia dan teman-temannya sempat menjalani pemeriksaan suhu tubuh di Bandara Nanjing. Mereka akhirnya meninggalkan Cina pada Rabu dinihari, 5 Februari lalu. Sebagian besar penumpang pesawat merupakan warga Indonesia. “Lega rasanya bisa meninggalkan Cina,” ujarnya. Isma dan semua penumpang pesawat menjalani pemeriksaan ulang saat transit di Bangkok dan Soekarno-Hatta.
Di Bandara Juanda, Sidoarjo, Isma juga menjalani pemeriksaan suhu tubuh. Bahkan, ketika tiba di Lumajang, dia langsung dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah dr Haryoto. Di situ, sampel darahnya diperiksa dengan hasil bebas virus corona Wuhan. Anak tunggal itu kini tinggal di rumahnya bersama kedua orang tuanya sambil tetap diawasi Dinas Kesehatan Lumajang.
•••
PROSES evakuasi berjalan tak mudah bagi Hilyatu Millati Rusydiyah, mahasiswa doktoral jurusan administrasi bisnis di Chongqing University, sekitar 1.000 kilometer dari Wuhan. Suami Hilyatu, Ahmad Syaifuddin Zuhri, bercerita bahwa istrinya memilih bertahan di apartemen mereka, sekitar 12 kilometer dari pusat Kota Wuhan, untuk menggarap disertasi. Zuhri, yang menjadi mahasiswa doktoral hubungan internasional di Central China Normal University, Wuhan, sudah kembali ke rumahnya di Klaten, Jawa Tengah, pada 9 Januari lalu, bersama putrinya yang berusia dua tahun.
Awalnya, Zuhri tak cemas meninggalkan Hilyatu sendirian. Membaca penyebaran virus corona melalui koran lokal, dia menilainya sebagai fenomena biasa. Ketegangan muncul setelah pemerintah menutup Wuhan pada 23 Januari lalu. Ia sempat berencana memulangkan istrinya dengan biaya sendiri. “Tapi tiket sudah langka dan harganya terlalu mahal,” katanya. Di sisi lain, kepastian evakuasi tak kunjung terang. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan evakuasi di wilayah yang mengalami lockdown tidak bisa dilakukan begitu saja. “Kami harus berbicara dengan otoritas Cina karena ada aturannya,” ujar Retno pada Selasa, 28 Januari lalu.
Harapan muncul pada 1 Februari lalu. Kedutaan Besar Indonesia meminta mahasiswa berkemas. Tim advance Kementerian Luar Negeri bersiaga menjemput mereka. Kampus Zuhri, Central China Normal University, ditetapkan sebagai salah satu titik kumpul. Untuk Hilyatu, proses evakuasi menimbulkan masalah karena jaraknya cukup jauh. Saat itu, Wuhan sudah seperti kota mati, dengan transportasi publik berhenti beroperasi.
Titik terdekat penjemputan ada di Huazhong University of Science and Technology, sekitar tujuh kilometer dari apartemen mereka. “Saya bilang kepada istri, bismillah, pakai saja sepeda motor listrik yang ada meskipun nanti dicegat polisi,” kata Zuhri. Menembus udara dingin, Hilyatu akhirnya tiba di lokasi.
Setelah menjalani pemeriksaan suhu tubuh, bersama 236 warga Indonesia dan satu warga asing, Hilyatu masuk ke pesawat Batik Air. Setelah semua penumpang duduk sempurna, pilot pesawat memberikan pengumuman, “Penerbangan ini akan membawa Anda pulang ke tanah air,” tulis Hilyatu Millati di akun Facebooknya. Penumpang menyambut ucapan ini dengan tempik-sorak.
WAYAN AGUS PURNOMO (JAKARTA), DAVID PRIYASIDHARTA (LUMAJANG), SUJATMIKO (LAMONGAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo