Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK seperti lazimnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly masuk ke ruangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung Nusantara III DPR, Rabu, 28 Agustus lalu, tak melalui pintu depan. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu memilih jalur belakang, melintasi kantor Sekretariat Jenderal DPR, sebelum masuk ke ruang kerja Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
Kedatangan Yasonna yang diam-diam itu untuk meminta DPR segera menyelesaikan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yang dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. “Untuk menyamakan persepsi karena ada fraksi yang belum sepakat,” ujar Yasonna kepada Tempo, Kamis, 5 September lalu. Rapat itu juga dihadiri Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas serta tiga Wakil Ketua Komisi Hukum DPR, yakni Desmond Junaidi Mahesa, Mulfachri Harahap, dan Herman Herry. Supratman dan Desmond membenarkan adanya pertemuan tersebut.
Lobi-lobi tersebut membuahkan hasil. Dalam rapat maraton Panitia Kerja Rancangan KUHP pada 28-30 Agustus lalu di Hotel Ayana, Jakarta Pusat, pemerintah dan DPR sepakat menyelesaikan Rancangan KUHP pada September ini, bulan terakhir masa jabatan anggota DPR periode sekarang. “Tidak ada yang meminta ditunda lagi,” kata anggota Panitia Kerja dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Anwar Rachman.
Desmond J. Mahesa
Ketua Panitia Kerja dari Partai Amanat Nasional, Mulfachri Harahap, mengatakan kini tinggal satu isu krusial yang belum rampung dibahas, yakni pasal kesusilaan. Isu gawat lain, seperti hukum adat, pidana mati, penghinaan terhadap presiden, tindak pidana khusus, dan ketentuan per-alihan, sudah selesai digodok. “Tinggal melakukan penyisiran agar tidak ada du-plikasi pasal,” ujar Mulfachri, Kamis, 12 September lalu.
Salah satu aturan yang sedang disisir oleh Panitia Kerja adalah soal tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Dalam draf, hukuman bagi pelaku korupsi dan pencucian uang berkurang dari sanksi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Misalnya, dalam Pasal 604 Rancangan KUHP, hukuman minimal bagi koruptor adalah pidana penjara 2 tahun hingga 20 tahun serta denda dari Rp 10 juta sampai Rp 2 miliar. Hukuman itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan sanksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yakni minimal 4 tahun penjara dan denda minimal Rp 200 juta.
Keringanan serupa bakal dinikmati pelaku pencucian uang. Pasal 608 Rancangan KUHP menyebutkan hukuman maksimal bagi kejahatan ini adalah 15 tahun penjara dengan denda paling tinggi Rp 5 miliar. Padahal Pasal 3 Undang-Undang Pencucian Uang mencantumkan ancaman pidana paling tinggi 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp 10 miliar. “Ini mencabut sifat khusus Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” ucap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo.
Menteri Yasonna mengatakan pemerintah mengusulkan aturan itu karena ingin ada pembeda hukuman bagi pelaku korupsi penyelenggara negara dan yang bukan aparat sipil negara atau swasta. Ke-ringanan tersebut pun berlaku bagi pihak swasta. “ASN dan penyelenggara negara diperberat. Jangan disamakan hukumannya,” ujar Yasonna.
Faktanya, dalam Pasal 607 RUU KUHP, hukuman bagi aparat sipil negara dan penyelenggara negara yang melakukan korupsi justru makin ringan, yakni penjara paling lama empat tahun dan denda maksimal Rp 200 juta. Sedangkan dalam Pasal 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang kini berlaku, hukuman pidana bagi aparat sipil negara atau penyelenggara yang melakukan korupsi sekurang-kurangnya empat tahun hingga penjara seumur hidup dan denda Rp 200 juta sampai Rp 1 miliar.
Yasonna juga mengatakan pengurangan hukuman bagi pelaku pencucian uang dalam Rancangan KUHP akan menjadi acuan pemberian hukuman dalam undang-undang yang terkait. Wakil Ketua Panitia Kerja dari Fraksi Partai Gerindra, Desmond Junaidi Mahesa, menyatakan masuknya pidana korupsi dan pencucian uang ke Rancangan KUHP menjadi pintu untuk merevisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. “Harus dalam satu arah hukum nasional. Nantinya kewenangan KPK cukup penindakan atau pencegahan,” kata Wakil Ketua Komisi Hukum ini.
Pemerintah dan DPR juga bersepakat menghidupkan lagi pasal pidana penghina presiden, yang telah dihapus Mahkamah Konstitusi. Menurut Yasonna, aturan itu dimunculkan karena selama ini banyak penghina presiden sejak era Abdurrahman Wahid hingga Joko Widodo tidak dihukum. Menurut anggota Panitia Kerja, Arsul Sani, pasal itu diperketat dengan cara presiden sendiri yang harus melaporkan penghinaan terhadap dirinya kepada polisi.
Kembalinya pasal ini disebut oleh pene-liti Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu, sebagai kemunduran demokrasi. “Mahkamah Konstitusi menghapus pasal penghinaan presiden karena pasal itu tak relevan lagi,” tuturnya.
Meski hampir bersepakat, DPR ternyata masih menelaah kembali sejumlah pasal. Arsul Sani mengatakan pembahasan me-ngenai pidana terhadap proses pengadilan tengah ditinjau ulang lantaran isinya kabur. Misalnya tindakan tidak hormat dan menyerang integritas hakim. “Cari jalan tengah. Batasan antara menghina dan mengkritik,” ujar anggota Komisi Hukum ini. ”Aturan ini juga dikhawatirkan mengekang kebebasan pers ketika mengkritik suatu putusan pengadilan.”
Menurut Yasonna, pasal pidana terhadap proses pengadilan dimaksudkan untuk menjaga kehormatan hakim. Misalnya hukuman bagi yang melempar sepatu kepada hakim atau berbuat onar di persidangan. Hal tersebut berbeda dengan kritik. “Kalau mengancam pidana karena mengkritik putusan hakim, matilah kita. Memangnya dia (hakim) malaikat?” ucapnya.
Persetujuan belum bulat. Partai Keadilan Sejahtera menginginkan ada sanksi pidana bagi pelaku perzinaan sesama jenis. Beleid tersebut pernah muncul dalam draf Rancangan KUHP versi 18 Januari 2018. Di draf terakhir, aturan tersebut tidak ada. Meski begitu, anggota Panitia Kerja dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, hakulyakin rancangan akan diketuk sebelum September berakhir. Panitia Kerja akan kembali menggelar pembahasan setelah sebagian anggotanya disibukkan oleh pemilihan calon pemimpin KPK.
Pemerintah pun bertekad menyelesaikannya September ini. Menurut Yasonna, jika tak diketuk pada akhir bulan, pembahasan dikhawatirkan dimulai dari awal lagi lantaran jabatan DPR periode 2014-2019 habis bulan ini. Selain itu, kata Yasonna, pemerintah ingin menorehkan sejarah karena merampungkan Rancangan KUHP. Undang-undang warisan kolonial ini diusul-kan direvisi sejak puluhan tahun silam.
Yasonna mengatakan, jika ia ditanyai soal prestasi terbesarnya selama menjadi menteri, jawabannya adalah penyelesai-an Rancangan KUHP. “This is my legacy. Kalau selesai, saya akan buat syukuran,” ujarnya.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, STEFANUS TEGUH PRAMONO, BUDIARTI UTAMI PUTRI
Pasal Kontroversial
DISAHKAN sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda pada 1918, peraturan tersebut diadopsi Indonesia setelah merdeka. Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, KUHP pada mulanya hanya berlaku di Jawa dan Madura. Pada 1958, undang-undang itu resmi berlaku di seluruh Indonesia. Sejak 1968, muncul usul untuk mengubah KUHP. Sejak itu pula berbagai versi rancangan dibuat, tapi tak pernah sampai ke pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat.
Kini DPR dan pemerintah bersepakat menyelesaikannya sebelum masa jabatan Dewan periode ini berakhir. Bertabur pasal kontroversial, pembahasannya terus melaju. Berikut ini di antaranya.
Hukuman Mati (Pasal 67, 99, 100, dan 101)
Pasal 67
– Pidana mati selalu diancam secara alternatif.
Pasal 100
(1) Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.
(2) Pidana mati dengan masa percobaan harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
(3) Waktu masa percobaan dimulai pada hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
(4) Jika terpidana mati dapat menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
(5) Jika terpidana mati tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Makar (Pasal 167)
Makar adalah niat untuk melaksanakan perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan.
Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara (Pasal 188-190)
Pasal 188
(1) Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan, termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana penjara paling lama empat tahun.
Penghinaan Proses Peradilan (Pasal 281-282)
Pasal 281
Dapat dipidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 10 juta kepada setiap orang:
a. Tidak mematuhi perintah pengadilan atau penetapan hakim.
b. Bersikap tidak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim dalam persidangan.
c. Secara melawan hukum merekam, mempublikasikan secara langsung, memperbolehkan untuk dipublikasi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim.
Penodaan Agama (Pasal 304)
Setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama di Indonesia dipidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.
Perzinaan (Pasal 417 dan Pasal 419)
Pasal 417 ayat 1
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana paling lama satu tahun atau denda Rp 10 juta.
Pasal 419
Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Mempertunjukkan Pencegah Kehamilan dan Pengguguran Kandungan (Pasal 414-415 dan Pasal 470-472)
Pasal 414
Setiap orang yang terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak dapat dipidana dan denda Rp 1 juta.
Pasal 470
(1) Perempuan yang menggugurkan kandungannya diancam pidana penjara empat tahun.
Hukum Adat (Pasal 598)
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan terlarang menurut hukum dalam masyarakat diancam dengan pidana.
NASKAH: HUSSEIN ABRI DONGORAN | SUMBER: ICJR, AJI, LBH PERS
“Kalau mengancam pidana karena mengkritik putusan hakim, matilah kita. Memangnya dia (hakim) malaikat?”
— Yasonna H. Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo