Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Terbengkalai Setelah Peleburan Lembaga Riset

Sejumlah gedung riset di berbagai daerah terbengkalai setelah melebur ke BRIN. Aset-aset penelitian diboyong ke Cibinong.

19 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA tahun sejak Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kantor Balai Arkeologi Yogyakarta sepi dari berbagai penelitian. Laboratorium Balai Arkeologi Yogyakarta itu sudah tak digunakan lagi. Hanya terlihat beberapa petugas keamanan yang berjaga di kantor ini, Jumat, 18 Oktober 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak melebur ke BRIN, semua koleksi benda bersejarah milik Balai Arkeologi diboyong secara bertahap ke kantor BRIN di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Balai arkeologi tersebut selama ini menyimpan koleksi fosil manusia purba berusia jutaan tahun lalu serta berbagai jenis arca, gerabah, porselen, dan alat batu masa prasejarah yang penting sebagai sumber penelitian. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahan materi penelitian laboratorium, naskah kuno, dan buku-buku arkeologi koleksi perpustakaan di Balai Arkeologi juga diangkut ke Cibinong. Sebelum melebur ke BRIN, Balai Arkeologi Yogyakarta, yang berada di bawah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, ramai dengan berbagai aktivitas penelitian. Tapi kini balai arkeologi itu terbengkalai.

Peneliti senior dari Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN, Indah Asikin Nurani, mengatakan, sejak setahun lalu, balai arkeologi tidak lagi digunakan sebagai kantor bersama peneliti. Semula BRIN memiliki layanan coworking space di kantor itu untuk tempat bekerja para peneliti. Tapi BRIN menghapus layanan tersebut. 

Sejumlah peneliti juga kerepotan karena BRIN membatasi lokasi penelitian. Indah menyebutkan, sejak BRIN mempunyai rumah program, kegiatan riset lapangan berlangsung di luar Jawa, yaitu di Indonesia timur dan Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur. 

Akibatnya, peneliti BRIN di Yogyakarta yang hendak melakukan penelitian lapangan di Jawa terpaksa mengeluarkan biaya pribadi. Atau, jika peneliti ingin menganalisis riset lebih lanjut tentang arkeologi, mereka harus ke Cibinong dengan biaya pribadi. Sebab, dalam riset lanjutan tersebut, mereka membutuhkan keberadaan aset-aset balai arkeologi yang semuanya sudah diangkut ke Cibinong. 

“Riset-riset (saat ini) sifatnya hanya riset studi,” kata Indah, Jumat, 18 Oktober 2024. 

Kantor Balai Arkeologi Yogyakarta yang kini menjadi BRIN di Jalan Gedongkuning No 174, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta, 18 Oktober 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Seorang peneliti BRIN di Yogyakarta mengatakan pemindahan aset BRIN dari Yogyakarta ke Cibinong itu membuat kerja para peneliti terhambat. Mereka harus ke Cibinong jika hendak melanjutkan riset. Konsekuensinya, mereka harus mengeluarkan uang pribadi untuk biaya transportasi pergi-pulang Yogyakarta-Cibinong serta akomodasi. 

“Kekacauan tidak hanya di Yogyakarta, tapi juga terjadi Manado dan Papua,” kata peneliti BRIN ini.

Peneliti ini tak bersedia identitasnya diungkap karena BRIN mengatur pembatasan berbicara para peneliti mengenai lingkup internal lembaga kepada media massa. Mereka wajib mendapat izin dari Kepala BRIN lebih dulu. Setelah mendapat izin, mereka baru dapat memberikan keterangan kepada jurnalis. Ketika para peneliti melanggarnya, BRIN dapat memecat mereka.  

Di samping balai arkeologi, sejumlah gedung pusat riset pemerintah lainnya terancam terbengkalai setelah aset-aset penelitian diboyong ke Cibinong. Misalnya Kawasan Baron Techno Park di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul, Yogyakarta. 

Adapun Balai Teknologi Infrastruktur Pelabuhan dan Dinamika Pantai di Jalan Grafika, Sinduadi, Kecamatan Mlati, Sleman, Yogyakarta, berubah menjadi Laboratorium Pantai dan Dinamika Pantai sejak bergabung dengan BRIN. Perubahan fungsi itu membuat peneliti di sana serba kesulitan.

Seorang peneliti BRIN di Tangerang Selatan, Banten, menguatkan informasi tersebut. Pemusatan kantor BRIN di Cibinong mengakibatkan banyak gedung dan laboratorium penelitian milik BRIN di sejumlah daerah terbengkalai. Ia mencontohkan sejumlah kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di berbagai daerah. Padahal gedung-gedung itu berdiri megah dengan anggaran pembangunan yang besar. "Gedungnya jadi seperti tempat hantu,” kata peneliti ini.

Ia mencontohkan sejumlah gedung penelitian BPPT di Bandung, Gorontalo, dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Di Kecamatan Malak, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, terdapat Kawasan Sains Kurnaen Sumardiharga yang menjadi pusat riset bioindustri laut dan darat. Kawasan ini awalnya dilengkapi peralatan canggih. Pengelola kawasan ini awalnya adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 

Periset, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat sudah menjalin kerja sama untuk berbagai kegiatan penelitian di kawasan tersebut. Namun proyek penelitian itu terancam batal saat para peneliti dan aset-aset penelitian dipindahkan ke Cibinong.

Menurut dia, pemindahan aset lembaga penelitian tersebut sangat menyulitkan peneliti. Sebab, periset sangat bergantung pada lokus dan fasilitas penelitian. Peneliti tidak dapat disamakan dengan aparatur sipil negara lain yang punya ketergantungan rendah terhadap tempat-tempat untuk meriset. 

Ia berpendapat, jika peneliti dipindahkan dari lokasi kerja, mereka akan kehilangan lokus penelitian di mana di lokasi tersebut sudah terjalin kerja sama dengan masyarakat dan pemerintah daerah. Pemindahan lokasi kerja itu juga berpotensi menunda beberapa proyek penelitian bersama.

Ia mengungkapkan, sejumlah peneliti mengeluh karena mereka sudah nyaman bekerja di daerah. Tapi BRIN justru meminta semua periset pindah ke homebase unit penelitian masing-masing sesuai dengan penempatan dan kepakarannya di pusat atau organisasi riset BRIN pada tahun depan. Kebijakan itu merupakan bagian dari tahap akhir transisi BRIN. 

Jika menolak ketentuan itu, peneliti diberi pilihan untuk pindah ke BRIN daerah atau milik pemerintah daerah dengan jabatan fungsional tetap sebagai periset. Opsi lain, peneliti kembali ke kementerian atau lembaga asal dengan alih jabatan fungsional selain periset atau mundur sebagai ASN. 

Di Yogyakarta, sebanyak 450 lebih peneliti mulai resah akan rencana BRIN memindahkan periset ke homebase unit penelitian masing-masing sesuai dengan penempatan di pusat. “Ini kebijakan yang ugal-ugalan,” kata seorang peneliti.

Kantor Balai Arkeologi Yogyakarta yang kini menjadi BRIN di Jalan Gedongkuning No 174, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta, 18 Oktober 2024. TEMPO/Shinta Maharani

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko membantah tudingan banyak gedung BRIN di daerah yang terbengkalai. Ia mengatakan pemerintah baru saja membangun ulang Kawasan Sains Kurnaen Sumardiharga. Setelah pembangunan ulang tersebut, kawasan itu ditetapkan sebagai pusat pengembangan produk halal komoditas laut. “(Ini) keterampilan Pak Wapres (Wakil Presiden Ma’ruf Amin),” kata Laksana, Jumat kemarin.

Selanjutnya, kata dia, Kawasan Sains Mlati di Yogyakarta mulai aktif dipakai sebagai laboratorium hidrodinamika pantai. Meski begitu, kegiatan risetnya dipusatkan di laboratorium hidrodinamika Sukolilo, Surabaya. 

Ia melanjutkan, gedung bekas balai arkeologi di Bandung, Yogyakarta, Banten, dan sejumlah daerah lain dioptimalkan untuk kegiatan pemerintah daerah ataupun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi. “Karena BRIN telah memiliki kantor baru dan representatif,” tuturnya.

Adapun gedung bekas balai arkeologi di Palembang, Medan, dan Makassar dimanfaatkan sebagai coworking space bagi peneliti BRIN yang belum pindah ke pusat riset masing-masing di Cibinong.

“Untuk Baron (Baron Techno Park di Gunungkidul) sedang proses untuk dibangun menjadi akuarium raksasa untuk biota laut,” ujar Laksana.

Dia juga menjawab kewajiban peneliti BRIN agar pindah berkantor ke Cibinong. Ia mengatakan para peneliti yang berdomisili di luar Cibinong tetap dapat beraktivitas karena BRIN menerapkan sistem bekerja work from anywhere atau bekerja dari mana saja.

“ASN wajib mengikuti penempatan karena sejak awal ASN telah menandatangani kesediaan untuk ditempatkan di mana saja,” kata Laksana. “Kalau keberatan, mereka memiliki opsi mutasi ke pemda atau kementerian/lembaga lain.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus