Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERTEMU dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. di kantornya pada Kamis, 17 November lalu, Edward Omar Sharif Hiariej melaporkan hasil diskusi publik tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Kepada sahibulbait, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu mengklaim telah menampung aspirasi dari organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, dan akademikus selama tiga bulan sosialisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eddy—sapaan Edward Omar Sharif Hiariej—menyampaikan bahwa ada sejumlah pasal di RKUHP yang mendapat masukan dari masyarakat. Di antaranya penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara. “Beliau meminta laporan soal hasil dialog publik yang sudah diselenggarakan,” kata Eddy melalui pesan WhatsApp pada Jumat, 18 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dimintai tanggapan pada Sabtu, 19 November lalu, Mahfud membenarkan telah menerima laporan hasil sosialisasi RKUHP. Dalam persamuhan itu, ia juga meminta Eddy mengklarifikasi pernyataan politikus Partai Gerindra, Habiburokhman, bahwa RKUHP tak akan disahkan pada 2022. “Saya meminta Wamenkumham mengklarifikasi karena dia adalah ketua tim lapangan di DPR,” ujarnya.
Diskusi publik mengenai RKUHP diselenggarakan setelah ada perintah dari Presiden Joko Widodo. Dalam rapat terbatas di Istana Negara pada 2 Agustus lalu, Jokowi meminta jajarannya menjaring saran dan kritik dari masyarakat tentang kitab babon hukum pidana tersebut. Ini termasuk 14 isu krusial seperti hukuman mati, perzinaan, dan penghinaan kepala negara.
Jokowi menyoroti polemik tentang RKUHP sejak periode pertama kepemimpinannya. Eddy bercerita, Presiden mengumpulkan tim ahli RKUHP di Istana Negara pada September 2019. Eddy waktu itu masih berstatus anggota tim perumus. Persamuhan itu diadakan di tengah demonstrasi yang menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan RKUHP.
Menurut Eddy, Jokowi menanyakan pasal hukuman mati. Presiden menyebutkan sejumlah duta besar mempersoalkan vonis mati masih berlaku di Indonesia. Jokowi juga menyinggung pasal penghinaan presiden. Kepada tetamunya, bekas Gubernur DKI Jakarta itu meminta pasal tersebut dihapus. Jokowi juga mengaku sudah biasa dicela. “Kami bilang ini bukan soal Joko Widodo, tapi urusan menjaga martabat kepresidenan,” kata Eddy.
Disorot tajam dalam acara sosialisasi, pemerintah mempertahankan pasal penghinaan terhadap kepala negara di draf yang diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada 9 November lalu. Pemerintah cuma menambahkan sejumlah frasa pada bagian penjelasan pasal tersebut, yaitu aksi menista dan memfitnah merupakan tindakan yang menyerang martabat presiden. Adapun kegiatan unjuk rasa digolongkan sebagai aktivitas yang tak menghina presiden.
Imbuhan pada bagian penjelasan diklaim sebagai hasil dialog publik. Eddy bercerita, tim perumus mengambil saran dosen Universitas Sumatera Utara, Mahmud Mulyadi, ketika bersafari ke Medan pada pertengahan Oktober lalu. Menurut dia, Mahmud mengusulkan tambahan kata memfitnah dan menista di bab penjelasan agar perbuatan menghina tak ditafsir macam-macam.
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej (tengah) mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR mengenai penyempurnaan RKUHP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 9 November 2022. ANTARA/Aprillio Akbar
Menambahkan frasa unjuk rasa, tim perumus mengambil saran dari mahasiswa Universitas Krisnadwipayana saat diskusi di Hotel Aryaduta, Jakarta. Mahasiswa khawatir dituduh mencela presiden ketika melontarkan kritik saat demonstrasi. Tim ahli RKUHP menilai saran itu masuk akal dan bisa disisipkan di bagian penjelasan. “Kami kurang apa lagi?” ucap Eddy.
Isu penyerangan harkat dan martabat kepala negara terus diungkit oleh organisasi masyarakat sipil. Salah satunya Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Menyambangi Eddy di kantor Kementerian Hukum pada Kamis, 17 November lalu, anggota Aliansi Reformasi KUHP memprotes pasal itu masih ada di draf terbaru yang dikirim ke DPR.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu, yang hadir dalam pertemuan itu, menyebutkan koalisi mengkritik pasal penghinaan presiden dipertahankan dan hukumannya penjara tiga tahun. Mendengar kecaman itu, Eddy meminta mereka menyodorkan solusi. “Verbal crime bisa diganjar dengan kerja sosial, bukan kurungan,” ujar Erasmus.
Bukan hanya pasal penghinaan presiden, rumusan pasal tentang penistaan terhadap kekuasaan umum juga ditentang Aliansi Reformasi KUHP. Dalam pertemuan itu, anggota Aliansi menyarankan naskah memakai istilah lembaga tinggi negara alih-alih kekuasaan umum atau lembaga negara belaka.
Berdasarkan naskah RKUHP versi 9 November, kepolisian, kejaksaan, dan pemerintah daerah termasuk lembaga negara yang tak boleh dihina. Menurut Erasmus, Undang-Undang Dasar 1945 mencatat hanya ada tujuh lembaga tinggi negara. Kepolisian, kejaksaan, dan pemerintah daerah tak termasuk. “Kami menuntut ada rumusan bahwa pihak yang boleh melaporkan hanya pemimpin tertinggi dari lembaga itu,” katanya.
Pada malam seusai pertemuan dengan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, pemerintah mengadakan rapat tim perumus di sebuah hotel di Jakarta. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej menyebutkan salah satu topik yang dibahas adalah rumusan penjelasan tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum.
“Kami sepakat mengganti frasa kekuasaan umum menjadi lembaga negara,” ujar Eddy. Peserta rapat juga membatasi pengertian institusi negara dengan merujuk pada konstitusi. Artinya, hanya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, lembaga kepresidenan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam bagian penjelasan.
Rapat itu berlangsung cukup alot. Yenti Garnasih, anggota tim perumus yang hadir dalam pertemuan itu, bercerita, ada peserta yang mengapungkan gagasan untuk merombak batang tubuh mengenai penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara. Sebagian mengatakan perubahan cukup dilakukan pada bagian penjelasan pasal.
Yenti berpendapat dalam rapat itu bahwa bagian penjelasan harus dirumuskan secara rinci. Sebab, bab penjelasan akan dirujuk oleh pengacara, hakim, dan jaksa sebagai sumber penafsiran terhadap pasal. “Penjelasan akan menjadi sumber penafsiran paling autentik bagi penegak hukum,” kata Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi ini.
Tim perumus juga merujuk putusan Mahkamah Konstitusi untuk mempertahankan pasal penghinaan presiden. Juru bicara tim, Albert Aries, mengungkapkan kelompoknya meninjau putusan MK tentang uji materi Pasal 134 KUHP. Pada 2006, MK membatalkan pasal penghinaan terhadap penguasa dan menetapkannya sebagai delik aduan.
Menurut Albert, dalam diskusi di tengah tim ahli, penambahan penjelasan pada pasal penghinaan dianggap sudah mempersempit ruang penafsiran lain terhadap aturan itu. “Tak ada proses hukum tanpa pengaduan yang sah sekaligus menutup ruang bagi simpatisan melaporkan dugaan penghinaan terhadap presiden,” tuturnya lewat wawancara tertulis pada Jumat, 18 November lalu.
Gelagat pemerintah tak mau merombak batang tubuh RKUHP tampak dalam sejumlah acara sosialisasi. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur dua kali menghadiri kegiatan diskusi publik yang diadakan pemerintah pada Juli dan Agustus lalu. Ia mendesak pemerintah menghapus pasal mengenai penyampaian pendapat di muka umum.
Pemerintah bergeming merespons permintaan Isnur. Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej dan tim perumus menyebutkan perubahan hanya bisa dilakukan pada bagian redaksional pasal, tapi tidak menyentuh substansi. “Mereka beralasan draf RKUHP sudah disepakati secara politik,” kata Isnur. Dalam draf RKUHP versi 9 November, aturan tentang demonstrasi tertera pada pasal 256.
Pertemuan Isnur dan koalisi masyarakat sipil dengan wakil pemerintah turut menyinggung pasal 2 tentang hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law. Menurut Isnur, Eddy Hiariej sepakat bahwa norma itu semestinya diubah. Namun aturan itu tak diutak-atik dengan alasan menghormati begawan hukum pidana yang ikut menyusun RKUHP, seperti mendiang Muladi, guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
Dalam wawancara khusus dengan Tempo pada Kamis, 17 November lalu, Eddy Hiariej mengatakan naskah RKUHP disusun sejak puluhan tahun lalu oleh para ahli hukum. Menurut dia, sejumlah guru besar itu tak punya kepentingan apa-apa ketika merumuskan kitab babon hukum pidana. “RKUHP bukan tiba-tiba ada, tapi sudah ada sejak dahulu,” ujar guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini.
Mengamankan pasal kontroversial, pemerintah memakai berbagai dalih. Yenti Garnasih, anggota tim ahli RKUHP, bercerita kerap mendapat pertanyaan dari audiens mengenai penistaan harkat dan martabat kepala negara saat mengikuti acara sosialisasi. Yenti menjadi pembicara di Surabaya, Makassar, dan Manado. Sebagian dari mereka menuntut pemerintah mencabut pasal itu dari draf.
Yenti bertahan dengan pasal itu. Kepada hadirin, dosen Universitas Trisakti itu menyebutkan kitab pidana yang saat ini berlaku mengatur larangan menghina kepala negara asing. “Masak, presiden negara sendiri tidak dilindungi?” tuturnya. Ia menyatakan pencantuman pasal itu bukan untuk melindungi sosok tertentu, melainkan martabat kepresidenan.
Badan Intelijen Negara pun dikerahkan untuk mensosialisasi RKUHP. Lembaga telik sandi ini terlibat dalam diskusi publik yang digelar di Makassar pada akhir September lalu. Kepala Biro Hukum, Organisasi, dan Tata Laksana BIN Gede Agung Patra, yang datang ke acara itu, memaparkan Indonesia membutuhkan kitab pidana baru karena KUHP lama dibuat pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Yenti diundang menjadi salah satu pemberi materi dalam sosialisasi yang dihelat BIN. Ia mengatakan pembagian jatah pembicara urusan pemerintah. “Perwakilan BIN menyampaikan pengesahan RKUHP ini berkaitan dengan kepentingan nasional,” ujarnya. Juru bicara BIN, Wawan Purwanto, tak merespons pertanyaan yang diajukan Tempo hingga Sabtu, 19 November lalu.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Hiariej menjelaskan, BIN dilibatkan atas perintah Presiden Jokowi. Menurut dia, tak ada larangan lembaga intelijen diajak mensosialisasi RKUHP. “BIN memetakan dan melihat aspirasi masyarakat,” kata Eddy.
Dalih lain untuk mempertahankan draf RKUHP diungkapkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Hadir melalui video telekonferensi dalam diskusi yang diadakan Dewan Pers pada Rabu, 16 November lalu, bekas Ketua Mahkamah Konstitusi itu menyebutkan KUHP yang dipakai di Indonesia sudah berlaku selama lebih dari 200 tahun.
Herlambang Wiratraman, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yang mengikuti forum itu, mengatakan Mahfud membeberkan bahwa pemerintah semula akan mengesahkan RKUHP pada 17 Agustus lalu. Namun rencana itu ditunda karena hendak digelar sosialisasi lagi.
“Sekarang harus segera diputuskan karena itu bagian dari demokrasi dan semua suara sudah ditampung,” ujar Herlambang mengulang penjelasan Mahfud. Padahal, menurut Herlambang, RKUHP masih memuat pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers.
Herlambang mencontohkan draf terbaru bertarikh 9 November 2022 masih mencantumkan pasal penyebarluasan berita bohong, penghinaan kepala negara dan lembaga negara, serta pencemaran nama. “Pemerintah sekadar mementingkan formalitas pengesahan,” tutur doktor lulusan Universiteit Leiden, Belanda, ini. Mahfud membenarkan jika disebut mendorong pengesahan RKUHP secepat mungkin.
Dihujani kritik tentang isu krusial, pemerintah optimistis RKUHP rampung pada akhir 2022. Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej mengatakan tim ahli sedang menyelesaikan beberapa pasal, termasuk usul baru dari Komisi Hukum DPR tentang perintangan penyidikan. “Insya Allah selesai karena kita tak boleh pesimistis,” ujarnya.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo