Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Pencabutan Izin Gereja Pantekosta dan Intoleransi Lain di Yogya

Pencabutan izin Gereja Pantekosta bukan yang pertama soal intoleransi di Yogyakarta. Ada beberapa kasus lain.

3 Agustus 2019 | 10.32 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Bupati Kabupaten Bantul Suharsono mencabut izin pendirian Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu pada Jumat, 26 Juli 2019. Pendeta dan sekitar 50 jemaat gereja tersebut terpaksa menumpang beribadah di Gereja Kristen Jawa sampai Agustus mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suharsono mengatakan Gereja Pentakosta tersebut menjadi satu dengan rumah tinggal Pendeta Tigor Yunus Sitorus, sehingga tidak dapat difungsikan sebagai rumah ibadah. Menurut dia, hal ini melanggar Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang tata cara pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya cabut karena ada unsur yang tidak terpenuhi secara hukum,” kata Suharsono di kantor Pemerintah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 29 Juli 2019.

Kepala Kepolisian Sektor Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Komisaris Sugiarta mengatakan ada organisasi masyarakat garis keras mendatangi Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Immanuel Sedayu sebelum Bupati Bantul Suharsono mencabut izin pendirian tempat ibadah tersebut.

Sugiarta menjelaskan rombongan ormas garis keras ini menggunakan enam mobil dan mendatangi Gereja Immanuel Sedayu pada Jumat malam, 9 Juli 2019. Sugiarta mengidentifikasi kelompok ini sebagai pihak yang merusak acara sedekah laut di Pantai Baru, Srandakan Bantul pada 12 Oktober 2018 dengan alasan menolak kesyirikan berbalut budaya.

“Ormas ini sering buat ulah. Kami terjunkan anggota polsek dan koramil untuk berjaga di rumah Pak Sitorus,” kata Sugiarta di Kantor Polsek Sedayu, Kamis, 1 Agustus 2019.

Kasus ini bukan pertama kali terjadi di Yogyakarta. Berikut sejumlah kasus intoleransi yang pernah terjadi di Yogya:

1. Penolakan kepada Non-Muslim untuk Tinggal di Dusun Karet Bantul

Slamet Jumiarto ditolak untuk tinggal bersama istri dan dua anaknya oleh Ketua RT Dusun Karet pada Jumat, 29 Maret 2019. Ini terjadi ketika Slamet meminta izin untuk tinggal dan memberikan dokumen yang dibutuhkan kepada Ketua RT.

Setelah melihat agama yang dianut adalah non-muslim, permintaan izin Slamet dan keluarga ditolak. Slamet sempat melapor kepada sekertaris pribadi Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur Yogyakarta. Karena upaya yang dilakukan tidak juga membuahkan hasil, Slamet mengalah dengan mempertimbangkan kondisi keluarganya dan mencari tempat tinggal baru.

2. Pemotongan Nisan Salib di Kelurahan Purbayan

Nisan pada makam umat Katolik di Pemakaman Jambon, Kelurahan Purbayan, Yogyakarta dipotong bagian atasnya sehingga tidak lagi berbentuk salib. Peristiwa ini terjadi pada Senin, 17 Desember 2018 saat jenazah non-muslim dikuburkan di pemakaman warga muslim. Pemotongan dilakukan atas desakan warga. Warga dan pihak keluarga sudah sepakat memotong nisan berbentuk salib agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

3. Perusakan Sedekah Laut di Bantul

Sekelompok orang menggunakan sepeda motor dan mobil merusak acara persiapan sedekat laut di Pantai Baru pada Jumat, 12 Oktober 2018 pukul 23.45 WIB. Para nelayan di kawasan Bantul sudah sejak dulu menggelar tradisi sedekah laut. Hal ini bertujuan untuk bersyukur kepada Allah atas hasil bumi seperti pertanian dan perikanan. Kapolres Bantul memeriksa sembilan orang terkait kasus perusakan ini. Akibatnya panitia acara sedekah laut memilih untuk tidak menggelar acara sedekah laut.

4. Penolakan Bakti Sosial Gereja di Bantul

Sejumlah pemuda masjid dan ormas yang mengatasnamakan Islam antara lain, Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI) dan Majelis Mujahidin Indonesia menolak bakti sosial pada Minggu, 28 Januari 2018. Dengan alasan kristenisasi, mereka meminta panitia gereja memindahkan kegiatan tersebut di gereja. Bakti Sosial oleh Gereja Santo Paulus ini digelar di rumah Kasmijo, Kepala Dusun Jaranan, Banguntapan.

Bakti sosial ini untuk memperingati 32 tahun berdirinya gereja dan juga peresmian menjadi paroki mandiri. Menurut Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, bakti sosial sebaiknya tidak mengatasnamakan agama.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus