Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Peristiwa G30S: Kematian Tragis Pahlawan Revolusi dari Yogyakarta, Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono

Kematian tragis Birgen Katamso dan Kolonel Sugiyono akibat G30s di Yogyakarta. Keduanya dianugerahi sebagai Pahlawan Revolusi.

2 Oktober 2024 | 15.19 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa Gerakan 30 September atau G30S merupakan salah satu momen kelam dalam sejarah Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 30 September 1965, enam jenderal dan seorang perwira dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) diculik, dibunuh, dan jasad mereka disembunyikan di dalam sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Kejadian ini mengguncang seluruh negeri dan menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah politik Indonesia, terkait dengan pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Brigjen Katamso Darmokusumo adalah salah satu pahlawan revolusi yang menjadi korban dalam Gerakan 30 September di Yogyakarta, bersama Letnan Kolonel Sugiyono. Saat gugur pada tahun 1965, Katamso menjabat sebagai Komandan Korem 072 Yogyakarta dengan pangkat kolonel, yang kemudian dinaikkan secara anumerta menjadi brigadir jenderal.

Profil Katamso Darmokusumo

Dilansir dari esi.kemendikbud.go.id, Katamso Darmokusumo lahir pada 5 Februari 1923 di Sragen, Jawa Tengah. Ia menerima pendidikan militer melalui Pembela Tanah Air (PETA) dan mencapai pangkat Shodanco. Setelah Jepang meninggalkan Indonesia, ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Selama agresi militer Belanda, Katamso merupakan salah satu perwira yang memimpin pasukan dalam perlawanan terhadap Belanda. Ketika terjadi pemberontakan G30S, ia menjabat sebagai Komandan Korem 072 Yogyakarta dengan pangkat kolonel. Pada pukul 07.00 WIB, 1 Oktober 1965, Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta menyiarkan informasi tentang Gerakan 30 September dan pembentukan Dewan Revolusi.

Siaran ini menyebabkan perpecahan di tubuh Angkatan Darat, terbagi menjadi dua kelompok: yang mendukung dan yang menentang Dewan Revolusi. Sebagai pimpinan Korem 072 di Yogyakarta, Kolonel Katamso menanggapi siaran tersebut dengan penuh kehati-hatian.

Dilansir dari budaya.jogjaprov.go.id, Kolonel Katamso diculik pada hari Jumat tanggal 1 Oktober 1965 sekitar pukul lima sore. Ia dijemput paksa oleh segerombolan pasukan TNI AD yang sudah terpengaruh Gerakan 30 September. 

Kelompok penculik yang bersenjata lengkap berangkat dari Markas Yon "L" menggunakan dua truk dan sebuah kendaraan perintis tipe Gaz. Mereka kemudian bergerak menuju kediaman dinas Kolonel Katamso di Jalan Jenderal Sudirman, nomor 48, Kotabaru.

Kol Sugiyono. Wikipedia

Profil Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto

Kolonel Sugiyono, yang memiliki nama lengkap Anumerta R. Sugiyono Mangunwiyoto, lahir di Gedaren, Sumbergiri, Ponjong, Gunungkidul, pada 12 Agustus 1926. Ia adalah anak ke-11 dari 14 bersaudara. Ayahnya, Kasan Sumitrorejo, bekerja sebagai petani dan juga menjabat sebagai Kepala Desa Gedaren.

Saat bersekolah, Kolonel Sugiyono menempuh pendidikan di Sekolah Guru di Wonosari, namun setelah lulus, ia memutuskan untuk tidak menjadi guru. Sebaliknya, ia memilih untuk terjun ke dunia militer, setelah memahami kekacauan yang terjadi selama masa pendudukan Jepang.

Setelah bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), Sugiyono diangkat sebagai Budanco atau Komandan Peleton di Wonosari. Seperti para Pahlawan Revolusi lainnya, ia juga bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Dikutip dari vredeburg.id, Pada 1 Oktober 1965, Sugiyono berangkat dari Yogyakarta menuju Pekalongan. Dalam perjalanan, ia singgah di Semarang dan mendengar kabar bahwa atasannya, Brigjen Katamso, berada di Kentungan. Akhirnya, Sugiyono memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta.

Setibanya di Yogyakarta, ternyata Kolonel Katamso sudah diculik, dan Sugiyono pun dikepung oleh para pengkhianat di Markas Korem 072. Ia kemudian dibawa ke Kentungan. Di sana, Sugiyono dipukul dengan kunci mortar peluru kendali berukuran besar hingga meninggal, dan jenazahnya dimasukkan ke dalam sumur bersama dengan Brigjen Katamso. Keduanya dibunuh oleh anak buah mereka yang telah dipengaruhi oleh paham komunis.

Jenazah kedua pahlawan ini baru ditemukan setelah 21 hari, lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Sugiyono dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 5 Oktober 1965.

SUKMA KANTHI NURANI | ANNISA FIRDAUSI 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus