Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Ragam Respons ihwal Nama Soeharto Dicabut di TAP MPR

MPR menghapus nama Presiden ke-2 RI Soeharto dari Pasal 4 dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998. Sejumlah kalangan angkat bicara.

30 September 2024 | 09.34 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) resmi mencabut nama Presiden kedua RI Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) dalam sidang akhir masa jabatan MPR periode 2019-2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua MPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengatakan, usulan penghapusan nama Soeharto dalam TAP MPR tersebut sudah diajukan lebih dahulu oleh fraksi Partai Golkar sejak 18 September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Surat dari fraksi Partai Golkar, tanggal 18 September 2024, perihal kedudukan Pasal 4 TAP MPR Nomor 11/MPR 1998,” ujar Bamsoet, pada 25 September 2024.

Constitutional and Administrative Law Society (CALS), Centre for Literary and Cultural Studies atau CLCS, dan Amnesty International Indonesia buka suara ihwal nama Soeharto dicabut dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tersebut. Begini kata mereka.

CALS: Kita tidak dendam

Ketua Presidium Masyarakat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara atau CALS Bivitri Susanti menilai, MPR sedang membentuk model tak mau melakukan penghukuman secara politik kepada mantan presiden. Padahal, katanya, penghukuman kepada presiden yang salah merupakan hal wajar dalam negara demokrasi.

"Kita tidak dendam terhadap Soeharto. Memang Soeharto meninggal. Secara hubungan kemanusiaan memang sudah dimaafkan. Tapi dalam hukum tata negara dan administrasi, pertanggungjawaban politik harus tetap ada," kata Bivitri dalam diskusi yang diadakan CALS dipantau via YouTube, Ahad, 29 September 2024.

Bivitri mengatakan, menuliskan nama Soeharto merupakan bagian dari sejarah gerakan reformasi 1998. Gerakan reformasi memberikan amanat untuk mengadili Soeharto karena diduga terlibat KKN.

Penghukuman ini juga dilakukan karena ketika Soeharto menjabat, banyak kebijakan yang merugikan rakyat. Bahkan, di era Soeharto, pelanggaran HAM juga terjadi tanpa ada pertanggungjawaban. 

"Jadi penolakan penghapusan nama Soeharto dalam TAP MPR bukan like and dislike. Tapi lebih kepada hubungan negara dan warga negara karena adanya korban kebijakan," kata Bivitri.

Bivitri menilai, menghapus nama Soeharto akan membuat pola maaf memafkan sebagai hal normal. Hal ini berbahaya bagi Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Ia khawatir, pola ini akan dilakukan ketika Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah tidak lagi menjadi presiden.

"Tanpa melihat aspek politik dan tata negara ketika Jokowi jadi mantan presiden Itu bisa muda kita maafkan," ujarnya.

CLCS: Pukul mundur demokrasi

Direktur CLCS Dhoni Zustiyantoro menilai penghapusan nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 sebagai bentuk manuver kekuasaan yang memukul mundur demokrasi.

"Hal yang patut dicurigai justru adalah manuver kekuasaan yang muncul di setiap akhir kekuasaan," kata Dhoni, Ahad, 29 September 2024. "Belakangan ini manuver itu semakin gamblang kami lihat dan terus memukul mundur demokrasi."

Menurut dia, penyebutan nama Soeharto dalam Tap MPR merupakan bagian dari tuntutan reformasi. Serta mencerminkan upaya bangsa untuk melawan KKN yang menjamur selama masa kepemimpinan Presiden Indonesia ke-2 tersebut.

Dhoni menyebut, pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR sebagai langkah mundur memperjuangkan cita-cita reformasi.

"Secara konstitusional, penyebutan nama Soeharto merupakan langkah progresif dan produk sejarah yang patut untuk dipertahankan," tuturnya.

Ketetapan tersebut, kata dia, tidak hanya berfungsi sebagai instrumen hukum. Selain itu juga pengingat sejarah tentang upaya reformasi besar-besaran yang melibatkan rakyat dan mahasiswa.

"Sejarah mencatat TAP MPR sebagai representasi dari perjuangan melawan otoritarianisme dan penyalahgunaan kekuasaan," ucap dia.

Amnesty International Indonesia: Preseden buruk

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut keputusan itu justru menciptakan preseden buruk untuk masa mendatang.

"Membuka jalan pemutihan dosa-dosa penguasa masa lalu," kata Usman dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 26 September 2024.

Menurut dia, pengusutan kejahatan korupsi, kerusakan lingkungan, hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh Soeharto selama 32 tahun berkuasa belum selesai diungkap.

Usman menilai, keputusan menghapus nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11/1998 bakal berdampak bagi masyarakat sipil dan para korban kejahatan masa lalu.

"Kian menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil, juga menyempitkan ruang gerak korban kejahatan masa lalu untuk menyuarakan hak-haknya," ujarnya.

Usman juga mengkritik gagasan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Dia mengatakan, gagasan itu telah melecehkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu karena hingga kini para keluarga korban masih menuntut keadilan dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Soeharto.

"Jika itu diambil, ini jelas berpotensi mengkhianati Reformasi 1998, yang berusaha menjamin tegaknya kebebasan politik dan keadilan sosial," kata Usman.

Sebelumnya, MPR menghapus nama Presiden ke-2 RI Soeharto dari Pasal 4 dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan yang bersih tanpa KKN. Keputusan MPR mencabut nama Soeharto disampaikan Bamsoet selaku Ketua MPR dalam Sidang Akhir Masa Jabatan MPR Periode 2019-2024, Rabu 25 September 2024.

“Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia,” kata Bamsoet.

Keputusan MPR untuk mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR 11/1998 itu merupakan mengamanatkan tindak lanjut dari Surat dari Fraksi Golkar pada 18 September 2024, dan diputuskan dalam rapat gabungan MPR pada 23 September. Pasal 4 yang pemberantasan KKN bagi pejabat negara itu secara eksplisit menuliskan nama Soeharto.

Setelah lengser, Soeharto pernah ditetapkan sebagai terdakwa dugaan korupsi pengelolaan tujuh dana yayasan sosial. Ketujuh yayasan itu adalah Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais),Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Perkara ini diusut Kejaksaan Agung yang menduga nilai korupsi itu mencapai Rp 1,7 triliun dan 419 juta dollar Amerika Serikat (AS).

Namun, Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan (SKP3) pada 2006 sesuai Pasal 140 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Pasal itu mengatur terkait penuntut umum bisa menghentikan penuntutan jika tidak cukup bukti, peristiwa yang disangkakan bukan pidana, dan perkara ditutup demi hukum. Selain itu, Soeharto meninggal pada 2008.

“Jadi (perintah TAP MPR) sudah dilaksanakan, dendam apalagi yang harus kita pertahankan,” ujar Bamsoet.

HENDRIK YAPUTRA | JAMAL ABDUN NASHR | NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus