Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pegiat demokrasi dan akademisi menyoroti rencana pemerintahan Prabowo-Gibran yang disebut bakal membentuk kementerian atau lembaga baru usai DPR memberi jalan lenggang melalui revisi Undang-Undang Kementerian Negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Muhammad Nur Ramadhan, mengatakan pembentukan kementerian baru akan berdampak pada munculnya risiko bertambahnya anggaran yang diperlukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Lembaga atau kementerian yang baru terbentuk juga tidak memberikan jaminan bisa langsung bekerja secara optimal," kata Ramadhan saat dihubungi, Selasa, 10 September 2024.
Karenanya, ia berharap pemerintahan Prabowo-Gibran dapat mengkaji lebih dalam rencana pembentukan kementerian atau lembaga baru. Sebab, anggaran yang harus dikeluarkan akan berdampak pada negara dan kehidupan masyarakat.
"Apalagi tidak ada kebutuhan mendesak untuk membentuk kementerian baru," ujar dia.
Pada Senin kemarin, sembilan fraksi partai politik kompak menyepakati membawa revisi Undang-Undang Kementerian Negara ke pembahasan tingkat II atau Rapat Paripurna DPR.
Wakil Ketua Baleg DPR, Achmad Baidowi mengatakan lembaganya mengagendakan pembahasan di tingkat II pada Kamis pekan ini.
"Kalau tidak bisa, kita upayakan akhir September ini harus rampung," kata Baidowi.
Dalam rapat Panitia kerja (Panja) Baleg DPR itu, Baleg juga mengusulkan penambahan Pasal, yaitu Pasal 10A dan penambahan ketentuan pada Pasal 6 UU Kementerian Negara.
Baidowi mengatakan, penambahan tersebut ditujukan untuk membuat pemerintah lebih fleksibel dalam menentukan instansi pendukung kinerja pemerintah tanpa harus melakukan revisi terhadap undang-undang.
Fleksibilitas, klaim dia, juga menjadi acuan terhadap jumlah kementerian yang tak lagi ditetapkan maksimal sebanyak 34 Kementerian, melainkan bisa berkurang atau melebihi.
"Kita inginnya Undang-Undang itu tidak selalu diubah, berlaku long time, sehingga untuk beberapa kali masa pemerintahan itu berlaku," ujar Baidowi.
Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengkritik pembahasan revisi UU Kementerian Negara dibawa ke Rapat Paripurna DPR. Ia menilai, tidak ada satu pun kepentingan mendesak untuk mengubah Pasal dan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Menurut Feri, komposisi pasal dan ketentuan di UU Kementerian Negara tahun 2008 sudah cukup baik dan sesuai dengan kebutuhan pemerintah. Apalagi, dua pemerintahan sebelumnya menggunakan aturan yang ada, khususnya dalam jumlah penggunaan kementerian.
“Penambahan jumlah kementerian berpotensi memberatkan anggaran yang ada,” kata Feri.
Feri mengatakan, sikap DPR yang melakukan pembahasan revisi terhadap sejumlah UU strategis justru menjadi penanda akan kentalnya kepentingan politik penguasa dalam agenda ini.
Menurut Feri, revisi, khususnya pada pasal yang mengatur jumlah kementerian menjadi upaya pemerintahan Prabowo-Gibran untuk membagikan ‘kue kekuasaan’ kepada koalisi pendukungnya yang berkomposisikan banyak partai politik.
“Dalih mengefektifkan kinerja pemerintahan itu tidak tepat. Yang tepat adalah upaya memberikan imbalan atas dukungan yang telah diberikan,” ujar Feri.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman, mengatakan bahwa partainya menyerahkan sepenuhnya ihwal jumlah kementerian kepada Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih yang akan menjalankan pemerintahan mendatang.
Ia mengklaim penyerahan keputusan ini dilakukan atas dasar memerhatikan penyelenggaraan efektivitas pemerintahan.
“Sesuai Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak membatasi Presiden dalam menetapkan jumlah Menteri, karena itu jumlah Kementerian ditetapkan sesuai dengan kebutuhan Presiden,” kata Habiburokhman.