Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Sempalan Al-Qaidah dari Khurasan

Invasi Amerika Serikat ke Irak mendorong terbentuknya ISIS. Revolusi Arab meluaskan jangkauannya ke Suriah.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDIRIAN Negara Islam Irak dan Suriah atau Islamic State in Iraq and Syria (ISIS)—kini Islamic State (IS)—tak lepas dari invasi Amerika Serikat terhadap Irak pada 2003. Setelah Saddam Hussein jatuh, ditangkap, lalu digantung pada 2006, kaum Syiah—yang merupakan 60 persen warga Irak dan mengalami represi sejak 1979—mengambil alih kekuasaan. Pemberontakan kaum Sunni pun muncul di banyak tempat.

Kelompok militan Al-Qaidah Irak bersama kelompok lain mendeklarasikan Islamic State of Iraq atau ISI untuk memerangi penguasa Syiah dan tentara Amerika. Sesama muslim Irak berperang dan membelah negara itu menjadi dua kubu: Syiah di selatan dan Sunni di utara—perseteruan yang bermula dari abad keenam tentang klaim penerus Nabi Muhammad. Itu terutama setelah tentara Amerika, yang tak menemukan senjata pemusnah massal yang dituduhkan kepada Saddam, hengkang pada 2011.

Pemimpinnya Ibrahim Awwad Ibrahim Ali al-Badri al-Samarrai, doktor lulusan Universitas Ilmu Islam Bagdad. Laki-laki yang lahir di Samarra, Irak utara, pada 1971 ini terkenal sebagai juru taktik perang. Menurut Richard Spencer, ahli Timur Tengah, dalam tulisannya di The Telegraph pada Juni lalu, Ibrahim memimpin ISI setelah pendirinya, Abu Musab al-Zarqawi, ditembak tentara Amerika pada 2006—dengan berganti nama menjadi Abu Bakar al-Baghdadi. "Di tangannya, ISI menjadi brutal," katanya.

Abu Bakar, saat menjadi Kepala Lembaga Hukum ISI, pada 2004 ditahan tentara Amerika, tapi dibebaskan karena dianggap tak berbahaya. Setelah memimpin ISI, ia segera masyhur di kalangan radikal. Provinsi-provinsi yang dikuasai Amerika dan Syiah dia taklukkan dengan mudah. Ia penganut paham takfiri: siapa pun yang tak setuju terhadap Negara Islam Irak harus diperangi. Maka ISI merampok dan membunuh siapa pun yang bukan anggotanya, meski mereka Sunni.

Seperti ditulis Reuters bulan lalu, Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki menuduh Arab Saudi dan Qatar mendanai ISI. Sebaliknya, kelompok Sunni menuduh Iran yang Syiah penyokong utama pemerintahan Irak kini. Sebuah studi pada 2010 oleh Research and Development Corporation (RAND), lembaga riset di Amerika, menemukan hanya lima persen dana operasional ISI bersumber dari negara-negara Timur Tengah. Sisanya mereka cari sendiri dengan menyelundupkan artefak, menguasai ladang minyak, dan merampok bank.

Pada 2010, revolusi Timur Tengah meletus. Rakyat Mesir menumbangkan Presiden Husni Mubarak, lalu merembet ke Tunisia, Libanon, dan Suriah. Berbeda dengan negara lain, tuntutan rakyat dilawan dengan senjata oleh tentara Suriah. Pemberontakan meletik. ISI pun bergabung dengan Front Al-Nusra, sayap Al-Qaidah yang ada di sana, memerangi penguasa Suriah yang Syiah.

Lalu ISI berubah menjadi Negara Islam di Irak dan Levan (ISIL)—meliputi Libanon dan Suriah—pada Juni 2013. Kebrutalan ISIL atau ISIS yang menyerang kelompok non-Syiah membuat Al-Qaidah menarik dukungan. Ayman al-Zawahiri, pemimpin moderat Al-Qaidah setelah Usamah bin Ladin tewas, menyatakan kelompok radikal ini bukan bagian dari mereka. Arab Saudi mengikuti penarikan dukungan ini.

ISIS telanjur membesar. Senjata 7.000 kombatannya modern dengan peluru kendali dan tank. Menurut RAND, yang meneliti 200 dokumen komunikasi petinggi ISIS dari intelijen Irak, organisasi ini memiliki kekayaan US$ 2 miliar atau setara dengan Rp 20 triliun. Kekayaan itu diperoleh setelah mereka merebut Mossul, kota terbesar kedua di Irak, Juni lalu, dengan menjarah bank sentral yang menyimpan US$ 429 juta.

Meski baru terbentuk pada 2006, ideologi ISIS telah muncul pada 1928, ketika Hassan al-Banna di Mesir mendirikan Al-Ikhwan al-Muslimun. Inilah organisasi Islam pertama yang kelak memunculkan banyak kelompok radikal dengan cita-cita mengembalikan kekhalifahan yang menguasai Turki sampai Asia abad ke-14 hingga 1924. Pembunuhan Presiden Anwar Sadat, yang memprakarsai perdamaian Israel-Palestina, membuat mereka terusir dari Mesir pada 1978.

Amerika, yang saat itu sedang bermusuhan dengan Uni Soviet, menggiring para "jihadis" ini ke Afganistan, wilayah yang hendak ditaklukkan Soviet, sebagai pintu masuk ke Timur Tengah yang kaya minyak. Para alumnus Afganistan mempercayai daerah ekstrem di Asia Tengah itu sebagai khurasan, wilayah yang disebut Nabi Muhammad akan melahirkan "pendukung Al-Mahdi berpanji hitam yang mengembalikan kekuasaan Islam di akhir zaman".

Bagja Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus