Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kinerja DPR dianggap jeblok karena terlalu patuh kepada pemerintah dan selalu memuluskan rancangan dari pemerintah.
Rekor tercepat mengesahkan rancangan adalah tiga hari.
Dijuluki cap stempel pemerintah.
DEWAN Perwakilan Rakyat mengesahkan omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Pengesahan ini disambut aksi demonstrasi mahasiswa serta aliansi masyarakat sipil dan buruh di berbagai daerah. Mereka menuntut Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan aturan sapu jagat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, proses pembentukan undang-undang ini cacat prosedur. Selain sangat terburu-buru dan tidak melibatkan partisipasi publik, undang-undang ini masih terus mengalami tambal sulam setelah mendapat persetujuan dari badan legislasi. “Padahal setelah persetujuan tidak boleh direvisi lagi, bahkan typo sekalipun. Artinya DPR tidak serius dalam membuat undang-undang,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Protes serupa datang dari ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri. Ia mempertanyakan draf yang berubah-ubah bahkan setelah diketuk di sidang paripurna. “Betapa terburu-buru dan dipaksakannya seolah-olah kiamat negeri ini kalau tidak ada omnibus law,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa undang-undang ini mendapat tentangan dari organisasi keagamaan, organisasi profesi keilmuan, guru besar hukum, mahasiswa, dan buruh. “Lantas yang disenangkan siapa?”
Tempo pada 15 Oktober 1977 juga mengupas tentang protes masyarakat terhadap kinerja DPR menyusul dilantiknya wajah-wajah baru pengisi bangku Senayan. Laporan berjudul “Kini Kita Tanya DPR Baru: Wakil Rakyat?” berisi mengenai kacau-balaunya kinerja wakil rakyat yang kerap memicu gelombang demonstrasi. Anggota DPR pada saat itu tunduk kepada pemerintah. Sebab, setiap usul pemerintah selalu melenggang dengan mulus menjadi produk undang-undang yang sah.
Salah satu usul rancangan undang-undang yang memegang rekor kecepatan pengesahan dalam sejarah republik ini adalah RUU tentang Perubahan dan Tambahan Ketentuan Mengenai Beberapa Jenis Tanda Kehormatan yang Berbentuk Bintang dan Urutan Derajat/Tingkat Jenis Tanda Kehormatan Republik Indonesia yang Bentuk Bintang. Usul rancangan ini datang dari pemerintah dan DPR hanya butuh waktu tiga hari untuk mengesahkan rancangannya menjadi undang-undang.
Pada masa itu, 1977, kinerja para wakil rakyat dianggap sangat payah. DPR tak pernah sekali pun menolak Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan pemerintah dan tak pernah mengkritiknya. DPR juga tak pernah mengajukan rancangan undang-undang yang datang dari inisiatif DPR. Maka muncul kesan DPR sebagai tukang cap stempel pemerintah.
Menurut Ketua Fraksi Partai Pembangunan periode 1971, Nuddin Lubis, kesulitan yang dialami DPR untuk mengajukan inisiatif rancangan undang-undang datang dari mekanisme formal. “Untuk mengajukan usul RUU dari dua fraksi saja diperlukan 30 tanda tangan,” ujarnya. Untuk membuatnya pun diperlukan bantuan tenaga ahli, yang membutuhkan biaya tak sedikit.
Sementara itu, bekas Ketua Komisi VI, Jacob Tobing, mengatakan persoalan juga datang dari segi politik. Ia mencontohkan inisiatif DPR tentang bantuan hukum. Saat itu, pemerintah berjanji memasukkannya ke rancangan hukum acara pidana yang akan segera diajukan pemerintah ke DPR. Karena janji itu, DPR menarik usulannya. “Asal tahu saja, rancangan itu ternyata tak pernah dimasukkan,” katanya.
Protes serupa dilayangkan T.A.M. Simatupang dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia. Ia pernah mengajukan rancangan undang-undang tentang pengembangan ekonomi pribumi. Tapi usulan tersebut langsung gugur dalam tahap penjajakan. Alasannya, rancangan itu agak berbau rasialis. Padahal, menurut dia, rancangan itu tidak ada sangkut-pautnya dengan isu kebencian kepada Cina. Ia mengatakan rancangan tersebut gagal karena tak mendapatkan dukungan dari fraksi lain.
Namun Koordinator Bidang Politik Fraksi Karya Pembangunan Cosmas Batubara mengelak jika kinerja DPR disebut jeblok. Menurut dia, kinerja DPR tak dapat dinilai hanya berdasarkan produk perundangan yang dihasilkan. “Tradisi berparlemen bagi Indonesia adalah sesuatu yang baru,” tuturnya beralasan. Ia mengambinghitamkan tata tertib berparlemen yang relatif baru sebagai alasan kesukaran tersebut.
Ihwal RAPBN yang tak pernah mendapat tanggapan kritis, ia beralasan rancangan itu tak dapat diubah sedikit pun karena implikasinya yang bakal merugikan seluruh negeri. Namun, menurut sumber Tempo, sebelum RAPBN masuk ke DPR, telah ada diskusi-diskusi hangat dengan fraksi mayoritas. Maka, ketika rancangan dibahas dalam sidang, komisi hanya perlu membereskan hal-hal remeh-temeh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo