Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Shofa Muhammad*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sebuah jurnal ilmiah, dosen Fakultas Bahasa dan Budaya Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, Trismanto, MPd, menulis jurnal berjudul “Berbahasa dengan Logika”. Dalam abstraksi jurnal itu disebutkan, logika merupakan salah satu teknik untuk meneliti suatu penalaran. Penalaran merupakan suatu bentuk pemikiran. Peran logika dalam penggunaan bahasa sangatlah penting. Logika berbahasa berhubungan erat dengan kebenaran kalimat. Suatu kalimat dikatakan benar jika kalimat itu benar-benar melambangkan suatu peristiwa tertentu. Sebuah kalimat tentu mengandung makna. Kalimat yang logis merupakan kalimat yang maknanya sesuai dengan kaidah-kaidah penalaran. Untuk menyusun kalimat logis, kita harus memperhatikan pemilihan kata (diksi), penggunaan kata bentukan, dan konjungsi. Sedangkan logika bahasa dapat dilihat pada kalimat, hubungan antarkalimat, dan hubungan antarbagian dalam wacana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jurnal tersebut oleh Trismanto dibagi dalam empat bab pembahasan, yakni Logika Berbahasa Sehari-hari, Logika Berbahasa dalam Peristiwa Komunikasi, Kebenaran Kalimat, dan Kalimat yang Logis.
Dalam logika berbahasa sehari-hari, ia menyebutkan bahwa anggota masyarakat pada umumnya mempunyai toleransi yang tinggi terhadap kesalahan logika. Trismanto mengutip pendapat Gillian Brown dan George Yule: untuk menjaga keselarasan dan keharmonisan hubungan personal, kesalahan logika semacam itu (dalam percakapan sehari-hari) jarang diperdebatkan. Dalam bab ini, Trismanto memberikan dua contoh: 1) Mendung gelap, nanti mungkin pasti hujan; dan 2) Putri Solo cantik-cantik semua.
Jika Brown dan Yule menyampaikan bahwa untuk menjaga keselarasan dan keharmonisan hubungan personal kesalahan logika semacam itu jarang diperdebatkan, saya termasuk orang yang berada dalam kata “jarang” itu. Dalam sebuah kesempatan jam istirahat kantor, beberapa teman perempuan tengah asyik ngerumpi membicarakan selebritas yang sedang ramai dijuluki pelakor. Salah satu di antara mereka mengatakan dengan ketus, “Kalau masih jadi suami orang lain, ya, mbok jangan direbut.” Saya yang dari kejauhan mendengar kalimat itu langsung menimpali, “Kalau memang masih jadi suami orang lain, ya, yang betul direbut.” Mereka semua mengerutkan dahi dan nyaris serempak berteriak, “Kok, bisa?” Saya menjawab, “Jika sudah tidak menjadi suami orang lain, tak perlu direbut, kan?” Dari mereka ada yang mengangguk setuju dengan logika kalimat yang saya tunjukkan dan ada pula yang terlihat bingung. Karena diksi yang dipilih teman saya itu adalah “merebut”, yang direbut harus masih “dipegang” orang lain.
Selain dalam percakapan sehari-hari, pengabaian logika kalimat kadang muncul dalam peristiwa berbahasa yang lebih serius. Lirik lagu ini contohnya:
Kau ‘kan selalu tersimpan di hatiku
Meski ragamu tak dapat kumiliki
Jiwaku ‘kan selalu bersamamu
Meski kau tercipta bukan untukku
Tuhan, berikan aku hidup satu kali lagi
Hanya untuk bersamanya
Kumencintainya, sungguh mencintainya....
Orang yang menyanyikan lagu itu masih hidup, bukan? Lirik Tuhan, berikan aku hidup satu kali lagi mengantarkan kita kepada logika bahwa yang menyanyi adalah jenazah atau orang yang sudah meninggal. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Yang terakhir, pengabaian logika berbahasa terjadi justru di kampus yang masuk peringkat tiga besar nasional. Kita ketahui bersama, panitia penerimaan mahasiswa baru Universitas Indonesia mewajibkan mahasiswa barunya menandatangani pakta integritas. Pakta integritas tentu baik-baik saja jika isinya tidak kontraproduktif. Salah satu isi pakta integritas itu berbunyi: menerima dan menjalankan sanksi pidana dan/atau perdata ketika melakukan pelanggaran terhadap hukum positif yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (megapolitan.kompas.com).
Padahal semua undang-undang atau hukum positif di Indonesia tentu berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia, tidak terkecuali mahasiswa UI, baik yang menandatangani pakta integritas seperti mahasiswa baru tahun 2020 maupun mahasiswa-mahasiswa sebelumnya. Meskipun konon akhirnya hal itu direvisi, kejadian tersebut telah menunjukkan bahwa “di pusat logika” pun kadang terjadi pengabaian logika.
Hal itu seperti menempelkan tulisan “garam ini rasanya asin” pada kemasan garam meja.
*) PENULIS BUKU KUMCER SESOBEK KERTAS DI SEPATU KIRI DAN MELUKIS WAJAH KORUPTOR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo