Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH buku panduan bernama Buku Hijau, atau Green Book, pada 1960-an adalah pegangan mahapenting bagi para pengelana (berwarna) di Amerika Serikat. Bagi mereka yang berhasrat berkelana melalui kota-kota di negara bagian “deep south”—selatan yang paling selatan, atau dengan kata lain kawasan yang penduduknya sangat rasis—Green Book akan memberikan petunjuk motel atau penginapan mana yang “aman” dari gangguan penduduk yang siap menguliti “kaum kulit berwarna”.
Buku panduan itu diterbitkan berkala sejak 1936 oleh seorang pekerja kantor pos Afro-Amerika bernama Victor Hugo Green pada era ketika diskriminasi ras adalah sesuatu yang legal. Green menerbitkan panduan tersebut agar mereka yang tengah melakukan perjalanan di area rasis itu bisa selamat dari hantaman atau serangan penduduk kulit putih.
Syahdan, Doktor Don Shirley (Mahershala Ali) adalah seorang pianis klasik yang memimpin The Don Shirley Trio, yang merencanakan tur di kawasan deep south Amerika Serikat pada tahun-tahun kelam itu. Meski Don Shirley sejak kecil dikenal sebagai prodigi yang menempuh pendidikan musik klasik di Leningrad, Rusia, warna kulit ternyata jauh lebih penting di dunia segregasi kawasan rasis Amerika. Akibatnya, Don merasa harus menyewa sopir yang bisa merangkap sebagai bodyguard yang tidak hanya mengantar dia ke pelbagai kota besar dan kecil, tapi juga melindunginya dari berbagai serangan. Tony Vallelonga (Viggo Mortensen) alias Tony Lip—disebut demikian karena mulutnya tak berhenti bercuap-cuap kibul—yang biasa menjadi bagian keamanan Copacabana, tengah mencari pekerjaan karena bar tempatnya bekerja sedang direnovasi. Maka kloplah.
Yang tidak klop adalah Don dan Tony. Don berpendidikan tinggi, berselera segala yang halus dan tertata, sementara Tony datang dari kelas pekerja yang biasa makan ayam goreng sembari menyetir sekaligus bebacot dengan aksen Italia yang kental. Bisa dibayangkan bagaimana dari kota ke kota sepanjang perjalanan mereka tak henti-hentinya berdebat, bersungut, meski akan diakhiri oleh salah satu dari mereka yang mencoba memahami lawan bicara.
Don Shirley, setinggi apa pun pendidikannya, meski disambut aplaus penonton saat berada di atas panggung, tetap saja dilarang menggunakan toilet yang sama dengan penonton kulit putih atau makan di restoran mewah tempat dia berpentas. Segalanya serba ironis. Dia dipuja sebagai musikus jenius, tapi dia tetap seorang kulit berwarna yang tidak memperoleh keistimewaan apa pun.
Perlahan-lahan Tony Lip, yang digambarkan tumbuh di keluarga yang rasis, mulai merasa Don Shirley sebagai kawan. Tony tidak sekadar membela jika Don dihina. Tony bahkan menghajar polisi yang menahan Don karena ia mulai percaya bahwa semua orang pada dasarnya sama dan berhak diperlakukan sejajar.
Film ini mendapat berbagai penghargaan terutama untuk seni peran Mahershala Ali. Academy Awards memberikan lima nominasi, termasuk dalam kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik (Viggo Mortensen), dan Aktor Pendukung Terbaik (Mahershala Ali). Duo aktor Mortensen dan Ali memang yang menghidupkan seluruh drama perjalanan film yang penuh ironi sekaligus humor ini. Tapi, selain itu, sinematografi yang berhasil merangkum warna-warni pastel seperti menunjukkan sebuah hal kontras: ini kawasan yang penuh kecantikan sekaligus kekelaman. Di balik segala yang jingga dan merah muda, terselip kejahatan yang diselenggarakan antarmanusia.
Tapi Peter Farrelly (Dumb and Dumber, There’s Something About Mary) tak akan membuat karyanya pucat dan depresif. Dalam adegan-adegan perjalanan, kita akan melihat bagaimana Don Shirley bertingkah seperti tokoh Profesor Higgins kepada Eliza Doolittle. Don menegur Tony bahwa “dear dieja dengan d, e, a, r, bukan deer”. Don juga mengejek surat Tony kepada sang istri yang bunyinya mirip “surat permintaan tebusan dari para penculik”. Don menawarkan diri membantu Tony menulis surat. Dia lantas mendiktekan kalimat dan Tony menuliskannya dengan takzim. Surat berkalimat puitik itu membuat sang istri, Dolores, dan kawan-kawannya, para ibu, meleleh.
Tentu saja membuat karya (novel atau film atau bentuk kesenian lain) yang terinspirasi dari tokoh dan kisah nyata sering melahirkan debat atau protes anggota keluarga atau kawan atau para ahli yang merasa “memiliki” cerita itu dan yang merasa lebih mengenal tokoh-tokoh yang digambarkan. Para saudara Don Shirley kurang menyambut film ini karena merasa kisahnya tidak akurat. Sedangkan tim sineas, termasuk sutradara Farrelly, merasa kisah yang diperoleh dari Nick Vallelonga, putra Tony Vallelonga, itu adalah kisah yang sah. Para komentator ceriwis ini sering lupa bahwa, meski terinspirasi dari tokoh nyata, film ini tetap sebuah film cerita, bukan dokumenter.
Setelah film-filmnya yang selalu memilih jalan slapstick untuk komedi, kini Farrelly meloncat sangat jauh, dan itu patut dihargai. Lewat film Green Book, meski berakhir dengan perasaan manis dan menyenangkan—juga klise—Farrelly jelas ingin mengingatkan betapa jauh perjalanan Amerika Serikat untuk berada di posisinya saat ini.
Green Book memang seperti sebuah film perjalanan yang personal, yang menceritakan bagaimana dua orang yang berkepribadian berlawanan bisa menjadi sahabat yang saling memahami. Namun sesungguhnya film ini tetap mengandung narasi besar sejarah yang melilit sejarah kedua tokoh dan semua kota yang mereka lalui.
LEILA S.CHUDORI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IMDB
Sutradara : Peter Farrelly
Skenario : Nick Vallelonga, Brian Hayes Currie, Peter Farrelly
Pemain : Mahershala Ali, Viggo Mortensen, Linda Cardellini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo