Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jumlah tenaga kesehatan yang terpapar corona dan meninggal kian banyak.
Berlipatnya jumlah pasien tak sebanding dengan jumlah tenaga kesehatan dan staminanya.
Tingkat keterisian ruang isolasi di sejumlah daerah pun makin tinggi.
MELALUI telepon video, Ketty Herawati Sultana menceritakan soal sejumlah pasiennya kepada sang anak, Margareta Oktaviani, pertengahan Maret lalu. Dokter umum di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, itu ikut merawat Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi yang menderita diare disertai demam dan batuk. Belakangan, Budi didiagnosis positif terpapar virus corona dan dirujuk ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta. Bukan hanya Budi, sejumlah pasien Ketty pun dinyatakan positif Coronavirus Disease 2019.
Hari-hari itu, Ketty pun ikut dirawat di Medistra. Kepada sang anak yang menjadi dokter di Rumah Sakit Umum Daerah T.C. Hillers Maumere, Nusa Tenggara Timur, Ketty mengaku tak menggunakan alat pelindung diri secara memadai dan kurang berdisiplin mencuci tangan. Hasil uji usap menunjukkan Ketty terpapar corona. Dua hari setelah bertelepon dengan Margareta, kondisi Ketty memburuk dan dia harus dirawat di ruang perawatan intensif. Sekitar dua pekan di sana, Ketty berpulang pada Sabtu pertama bulan April. “Mama memiliki hipertensi dan asma,” kata Margareta pada Jumat, 4 Agustus lalu.
Ketty merupakan dokter yang gugur pada awal pandemi. Hingga Jumat, 4 September lalu, sudah 104 dokter gugur terinfeksi Covid-19. Terakhir yang meninggal adalah Imai Indra, dokter spesialis anestesi di Rumah Sakit Zainal Abidin, Banda Aceh. Tiga pekan sebelum meninggal, Imai Indra mengoperasi pasien Covid-19. Selain para dokter, ada 71 perawat yang meninggal dalam enam bulan terakhir. Hingga hari ini, tak pernah terang berapa kasus positif yang menimpa tenaga kesehatan. Jumat, 4 September lalu, Indonesia mencatatkan lebih dari 187 ribu kasus positif.
Juru bicara Ikatan Dokter Indonesia Kota Makassar, Wachyudi Muchsin, mengatakan jumlah pasien terus meningkat. Namun peningkatan itu tak sebanding dengan jumlah dokter yang tersedia. Para tenaga medis pun harus bekerja keras dan ujung-ujungnya mengalami kelelahan. Wachyudi menyaksikan banyak koleganya tak sempat beristirahat karena pasien terus berdatangan. “Dalam kondisi lelah, imun tubuh dokter akan ambruk juga,” ujarnya. Di Makassar, tercatat lima dokter meninggal karena Covid-19.
Amellina Nurika, dokter di rumah sakit swasta di Bogor, bercerita bahwa pada masa pandemi corona waktu yang dibutuhkan untuk memeriksa seorang pasien menjadi lebih lama. Biasanya ini terkait dengan prosedur yang diterapkan rumah sakit. Dia mencontohkan, seseorang yang mengalami gejala Covid-19 harus menjalani dua kali pemeriksaan laboratorium, pemindaian paru-paru, dan pemeriksaan penyakit dalam.
Selama menunggu keluarnya hasil pengujian itu, Amellina mesti menerangkan berbagai prosedur yang wajib diikuti pasien. Misalnya, pasien positif tak boleh dijenguk siapa pun dan harus diisolasi. Dia juga mesti menjelaskan soal ketersediaan ranjang isolasi, ventilator, hingga prosedur pemulasaraan jenazah seandainya pasien meninggal. Penjelasan ini, kata dia, kerap menurunkan mental pasien. Ada pula pasien yang tidak terima dinyatakan positif dan mengajaknya berdebat. “Ini pasti melelahkan, apalagi jika pasiennya membeludak,” ujar Amellina.
Pertambahan pasien corona kian hari kina kasatmata, terutama setelah sejumlah daerah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar pada Juni lalu. Rata-rata kasus harian melonjak menjadi lebih dari seribu. Bulan berikutnya, jumlah kasus berada di kisaran 1.000-2.000. Pada Agustus lalu, kasus harian sudah menyentuh 2.000-an. Awal September, kasus harian bisa lebih dari 3.000.
Lonjakan jumlah pasien dapat dilihat dari bed occupancy atau keterisian ruang isolasi. Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto pada Kamis, 3 September lalu, mengatakan sebanyak 81 persen ranjang rumah sakit khusus pasien Covid-19 telah terisi. Bima menyiapkan fasilitas non-pelayanan kesehatan untuk mereka yang positif tapi tak menunjukkan gejala apa pun. Bima juga meminta dua rumah sakit rujukan, yaitu Marzuki Mahdi dan Hermina, menyiapkan tambahan ranjang isolasi.
Di Ibu Kota, rasio ranjang isolasi sudah mencapai 70 persen dari 4.456 unit tempat tidur. Tingkat keterisian ruang perawatan intensif Jakarta bahkan sudah menyentuh angka 84 persen dari 746 ruangan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menambah 137 ruang perawatan intensif dan 746 tempat tidur isolasi. Pemerintah DKI menargetkan rasio keterisian ranjang isolasi bisa ditekan hingga menjadi 60 persen. “Penambahan tempat tidur itu bersamaan dengan penambahan rumah sakit rujukan baru,” ucap Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Dwi Oktavia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas medis memberikan pelayanan di Puskesmas Kecamatan Duren Sawit, Jakarta, 3 September 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayu Anandhika, dokter instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta tipe C di Jakarta, bercerita bahwa belakangan cukup susah mencari rumah sakit rujukan. Beberapa kali dia harus menghadapi pasien yang mesti dirawat di instalasi gawat darurat di rumah sakitnya karena tak tersedia ranjang kosong di rumah sakit rujukan. “Akhirnya meninggal di tempat kami,” kata Ayu.
Dokter lulusan Universitas Gadjah Mada itu bercerita, dalam sehari, dia bekerja selama 16 jam. Pada awal pandemi, Ayu bisa menangani lebih dari 25 pasien sehari. Saat pembatasan sosial berskala besar diberlakukan, jumlah pasien menurun. Paling-paling hanya lima orang yang ditanganinya setiap hari. Begitu pembatasan sosial dilonggarkan, jumlah pasien melonjak lagi. Mereka yang datang ke rumah sakit kebanyakan sudah dalam kondisi memburuk. Otomatis, beban kerja para tenaga kesehatan pun bertambah berat.
Dokter di rumah sakit rujukan di Bandung, Jawa Barat, Sasfia Candrianita, mengatakan, untuk menyiasati beban itu, rumah sakitnya sempat menerapkan sepekan kerja dan sepekan libur. Sasfia merasa sistem itu cukup membantunya mengatasi kelelahan. Apalagi dia sedang menempuh pendidikan spesialis penyakit dalam dan ikut menjadi ujung tombak penanganan Covid-19. Kini jam kerjanya sudah kembali normal, yaitu lima hari dalam sepekan, masing-masing 12 jam.
Meski rumah sakit menerapkan protokol ketat, seperti penggunaan alat pelindung diri ataupun penempatan pasien bergejala corona di ruang perawatan khusus, menurut Sasfia, potensi tenaga medis tertular masih besar. Dia mencontohkan, ada pasien yang tak menunjukkan gejala Covid-19 saat diperiksa di unit gawat darurat, tapi terkonfirmasi positif di ruang perawatan. Akibatnya, ruang perawatan harus disterilkan dan tenaga kesehatan yang berkontak dengan si pasien mesti menjalani tes usap.
Dokter Ayu Anandhika punya kecemasan yang sama. Dia menyadari bekerja di zona merah dan setiap saat bisa tertular. Belasan koleganya di rumah sakitnya pun telah terkonfirmasi positif. Ayu mengibaratkan terpaparnya tenaga medis seperti arisan: setiap saat, siapa saja bisa mendapatkannya.
WAYAN AGUS PURNOMO, IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo