Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDEPENDENSI bank sentral adalah salah satu jangkar kepercayaan pasar kepada sistem keuangan sebuah negara. Dengan bank sentral yang bebas intervensi pemerintah, kebijakan moneter sebuah negara diyakini lebih kredibel dan tepercaya. Ujung-ujungnya investor jadi yakin ketika membenamkan fulus ke pasar finansial negara itu. Mata uangnya pun terkerek kuat dan stabil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumus klasik itu kini terancam di Indonesia. Diawali kasak-kusuk rencana pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Reformasi Sistem Keuangan, belakangan ada kabar Dewan Perwakilan Rakyat punya rencana serupa lewat revisi Undang-Undang Bank Indonesia. Kedua inisiatif itu sama-sama berencana mempereteli independensi bank sentral.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti banyak rancangan undang-undang kontroversial lain di era DPR hasil Pemilihan Umum 2019, tampaknya rencana revisi ini bakal mulus-mulus saja. Koalisi pendukung Presiden Joko Widodo memang menguasai kursi mayoritas di Senayan. Mereka biasanya tak terlalu hirau dengan penolakan orang banyak di luar Senayan. Artinya publik dan pelaku usaha memang tak punya pilihan selain bersiap digempur badai sentimen negatif pasar atas perubahan fundamental ini.
Berdasarkan naskah revisi Undang-Undang Bank Indonesia buatan Senayan yang beredar di publik, upaya memberangus independensi BI secara gamblang terlihat dari sejumlah poin usulan perubahan. Usulan pasal 4 ayat 2, misalnya, bakal mengembalikan kedudukan BI di bawah kendali pemerintah. Di sana dijelaskan BI nantinya harus berkoordinasi dengan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Perubahan mendasar lain adalah pembentukan Dewan Moneter. Lembaga yang terdiri atas Menteri Keuangan, menteri yang membidangi perekonomian, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan ini akan mengambil alih tugas bank sentral dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter. Lembaga ini akan dipimpin Menteri Keuangan, bukan Gubernur BI.
Draf revisi undang-undang juga menghilangkan pasal 9 di aturan sebelumnya tentang larangan bagi pihak lain campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. Kewenangan BI untuk menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan pihak lain juga dihapuskan. Poin ini menegaskan rencana pengusul untuk mengeliminasi independensi BI.
Yang tak kalah mencengangkan: revisi Undang-Undang Bank Indonesia juga berencana mengubah tujuan bank sentral. Ke depan, BI tak hanya bertugas memelihara kestabilan rupiah, tapi juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Ini jelas usulan janggal, karena pertumbuhan ekonomi merupakan kewajiban otoritas fiskal yang ada di bawah kendali pemerintah.
Ada kabar, agar bank sentral tak ribut menolak rencana ini, tugas pengawasan bank akan dikembalikan ke tangan BI. Otoritas Jasa Keuangan nantinya akan menjadi lembaga pengawas pasar modal saja. Semua perubahan drastis ini konon dipicu rencana pemerintah meminta BI kembali mencetak likuiditas baru untuk menutup defisit anggaran tahun depan, sesuatu yang sudah berulang kali ditentang Dewan Gubernur BI saat ini.
Apa pun motifnya, ini jelas merupakan langkah mundur. Struktur bank sentral dan keberadaan Dewan Moneter seperti yang sekarang diusulkan Senayan pernah terjadi pada masa Orde Baru. Akibat bank sentral yang tak independen, ekonomi kita luluh-lantak dihajar krisis moneter 1997-1998.
Independensi Bank Indonesia sejatinya tak dapat diganggu gugat. Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas mengamanatkan hal itu. Jika pemerintah dan DPR berkeras mengembalikan rezim Orde Baru, konstitusi harus diubah lebih dulu. Tentu konflik keras bakal tak terelakkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo