Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai dokter yang punya jadwal praktik tetap, Edriani Darwis semestinya sudah tenang dari sisi keuangan. Tapi kabar buruk pada Oktober tahun lalu membuat Edriani waswas. Gara-garanya, Jiwasraya menunda pembayaran klaim polis yang telah jatuh tempo.
Satu dari ribuan polis tertunda itu milik Edriani. Dia memiliki polis tersebut sejak Oktober 2015. Agen Bank Rakyat Indonesia menawarinya JS Saving Plan, produk asuransi dan investasi milik PT Asuransi Jiwasraya (Persero). “Mereka sampai mendatangi tempat praktik saya,” kata Edriani, awal Januari lalu.
Edriani percaya karena penyelenggaranya BRI dan Jiwasraya, badan usaha milik negara. Ia lalu menginvestasikan duit sebanyak Rp 500 juta. Setahun berjalan, asuransi dan investasi itu terbukti aman. Setiap tanggal 31 Oktober, Edriani mendapat bunga yang dijanjikan. Jumlahnya Rp 35 juta, yang langsung ditransfer ke rekeningnya. Tahun kedua, Edriani memperpanjang polis asuransi.
Nasabah bebas memilih masa asuransi-investasi, minimal setahun, dengan pertanggungan selama lima tahun. Melihat asuransi dan investasi itu berjalan lancar, Edriani mengajak suaminya bergabung. Sang suami setuju dan menyetorkan Rp 500 juta. Tahun kedua juga lancar.
Semua berantakan sejak Oktober tahun lalu, ketika Jiwasraya menyurati tujuh bank rekanan yang menyalurkan produk mereka. Perusahaan asuransi jiwa tertua di Indonesia ini mengabarkan bahwa likuiditas sedang seret. Sejak itu, BRI melimpahkan semua urusan ke Jiwasraya. “Padahal dari awal saya tidak pernah berhubungan dengan Jiwasraya, selalu dengan BRI,” tutur Edriani.
Edriani termasuk nasabah JS Saving Plan yang berani terbuka. “Ini tabungan sekolah anak saya,” dia mengungkapkan. Tapi banyak nasabah yang senasib dengan Edriani, dengan situasi yang lebih buruk, memilih tertutup. Salah satunya Lina—bukan nama sebenarnya.
Lina adalah peserta program pengampunan pajak pemerintah Indonesia pada 2016. Ibu satu anak ini baru menjual propertinya yang belum masuk daftar harta. Setelah menjual properti itu, Lina bertemu dengan seorang manajer Standard Chartered Bank di Bandung.
Ia datang ke Bandung dengan suaminya, warga negara Kanada yang sudah belasan tahun tinggal di Indonesia. Suami Lina sempat menanyakan detail keamanan JS Saving Plan Jiwasraya. Setelah yakin, Lina dan suami menaruh duit per 20 Oktober 2017. Lina menyodorkan bukti perjanjian asuransinya kepada Tempo, tapi meminta nominalnya dirahasiakan.
Awalnya investasi itu lancar. Bunga investasi dibayar di muka. Tapi, pada September 2018, satu bulan sebelum jatuh tempo, datang surat dari bank menanyakan apakah Lina akan memperpanjang polis atau mencairkannya sesuai dengan tanggal jatuh tempo pada 20 Oktober 2018. “Saya memilih pencairan karena perlu dana untuk pengobatan suami,” kata Lina.
Belum sempat polis cair, Lina mendapat kabar buruk bahwa Jiwasraya menunda semua pencairan polis yang sudah jatuh tempo karena kesulitan dana. “Itu kabar dari media, bukan dari bank atau Jiwasraya.”
Lina berusaha tenang. Suami Lina ikut menenangkannya. “Jiwasraya punya pemerintah Indonesia. Mereka pasti bayar,” ujar Lina, mengingat perkataan suaminya. Polis belum cair, suami Lina meninggal pada Desember 2018. Setelah itu, Lina bergabung dengan Forum Komunikasi Nasabah JS Saving Plan Jiwasraya. Sejak Jiwasraya menghentikan penjualan JS -Saving Plan per Januari tahun ini, jumlah nasabah produk itu mencapai 17 ribu.
Menurut Managing Director Head of Wealth Management Standard Chartered Bank Indonesia Bambang Simarno, sejak pembayaran klaim polis terlambat, Standard Chartered terus berkoordinasi dengan Jiwasraya dan Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan informasi terkini mengenai polis nasabah. Informasi itu kemudian diteruskan kepada nasabah. “Kami berkomunikasi secara intens dan transparan dengan para nasabah,” ucap Bambang.
Ihwal penyelesaian polis nasabah, Bambang mengatakan bank akan merujuk pada skema yang diajukan Jiwasraya. Beberapa nasabah disebut menyetujui opsi roll over dengan imbal hasil dibayar di muka. Namun sebagian memilih menunggu pencairan klaim polis yang akan diberikan pada kuartal kedua 2019.
Rupanya, banyak nasabah JS Saving Plan adalah peserta pengampunan pajak 2016. Sementara Lina adalah peserta non-repatriasi, Agustin, warga asal Semarang, adalah peserta repatriasi yang menaruh duitnya di JS Saving Plan. Pada Oktober 2016, Agustin membawa pulang uangnya di Bank UOB Singapura senilai US$ 300 ribu atau sekitar Rp 4,197 miliar dengan kurs saat ini Rp 13.900. Duit itu masuk ke BRI Cabang Semarang Ahmad Yani.
BRI adalah satu dari 58 institusi keuangan yang ditunjuk pemerintah menjadi penampung dana repatriasi pengampunan pajak. Oleh manajemen bank tersebut, dia disarankan menjual dolarnya lalu menginvestasikannya ke JS Saving Plan Jiwasraya. Lantaran duit repatriasinya sudah telanjur masuk BRI, saran itu dituruti. “Tapi di BRI pilihan investasinya terbatas,” ujar Agustin.
Agustin memindahkan sisa dana repatriasi ke bank lain. Strategi itu terbukti sedikit menyelamatkan Agustin ketika Jiwasraya kesulitan membayar polisnya yang jatuh tempo. Tapi Agustin sudah kadung sebal. “Saya menyesal ikut repatriasi,” tuturnya. “Lebih baik dulu deklarasi saja tapi duit tetap di Singapura, malah aman.”
John—bukan nama sebenarnya—juga sepengalaman dengan Agustin. Ia seorang ekspatriat yang sudah lama bekerja di Indonesia. Kini dia menjadi manajer di sebuah perusahaan impor. Dua tahun lalu, John ikut program pengampunan pajak dan membawa pulang hartanya ke Indonesia. “Karena saya sudah lama tinggal di sini dan pembayar pajak Indonesia,” kata John, awal Januari lalu.
John membawa dolarnya lewat Standard Chartered Bank. John kemudian menjual dolar itu. Oleh manajemen Standard Chartered Bank, John mengungkapkan, dia diminta menginvestasikan duit itu ke JS Saving Plan Jiwasraya. “Bank mengatakan mereka hanya bisa menawarkan produk Jiwasraya karena bank mendukung produk itu,” ucapnya.
John manut. Dia menaruh Rp 2 miliar ke JS Saving Plan. Ia tidak punya pilihan lain karena harus menahan duit repatriasi itu minimal tiga tahun di Indonesia sebagai syarat repatriasi. John menerima imbal hasil pada tahun pertama. Tapi ia belum tahu kelanjutan nasib polisnya.
Komite Pengawas Perpajakan Kementerian Keuangan membenarkan ada sebagian dana repatriasi yang masuk ke JS -Saving Plan milik Jiwasraya. Namun ia enggan membeberkan detailnya. “Saya dengar juga begitu,” kata Herry Setyawan, dari Komite Pengawas Perpajakan. Ini menjawab pertanyaan mengapa JS Saving Plan menjadi primadona pendapatan premi Jiwasraya sepanjang tahun-tahun pengampunan pajak, kendati produk itu sudah ada sejak 2013. Pada 2016, pendapatan premi Jiwasraya melompat dari Rp 10,212 triliun pada 2015 menjadi Rp 18,079 triliun dan mencapai puncaknya pada 2017, yaitu Rp 21,802 triliun.
Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei, dan Jasa Konsultasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara Gatot Trihargo menjamin perusahaan bersama pemerintah sebagai pemegang saham akan memenuhi semua kewajiban kepada nasabah. Tapi, Gatot menambahkan, Jiwasraya dan pemerintah membutuhkan waktu, terutama untuk menyehatkan perusahaan. “Makanya kita tawarkan rejoin (roll over) sambil kita membenahi internal,” ujarnya, Rabu pekan lalu.
Sembari menunggu kejelasan polisnya, Lina mengajak pemerintah bertukar tempat. Lina ingin pemerintah, atau pejabat-pejabatnya, merasakan apa yang dialami nasabah Jiwasraya. Berbeda dengan beberapa nasabah lain, investasi Lina di Jiwasraya adalah investasi utama keluarga. “Ini investasi utama keluarga karena saya percaya kepada negara saya.”
KHAIRUL ANAM, PUTRI ADITYOWATI, RETNO SULISTYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo