Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Pemilu Kamboja Disebut Tidak Demokratis, Ini Alasannya

Uni Eropa menuduh pemilu Kamboja tidak memiliki kredibilitas dan tidak menggambarkan keinginan rakyat.

31 Juli 2018 | 10.13 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Phnom Penh - Uni Eropa menuduh pelaksanaan pemilihan umum atau pemilu Kamboja tidak memiliki kredibilitas dan tidak menggambarkan keinginan rakyat. Kritik senada juga dilontarkan pemerintah Amerika Serikat dan Australia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penolakan Uni Eropa terhadap hasil pemilu Kamboja, yang dari indikasi awal dimenangi Partai Rakyat Kamboja atau CCP pimpinan Perdana Menteri Hun Sen, diumumkan Komisi Luar Negeri Uni Eropa pada Senin, 30 Juli 2018.

"Tidak adanya persaingan pemilihan yang adil dan proses politik yang tepat, maka pemilihan 29 Juli 2018 tidak mewakili tuntutan demokrasi pemilih Kamboja. Sehingga hasilnya tidak memiliki kredibilitas," demikian pernyataan kantor urusan eksternal Uni Eropa, seperti dilansir Channel News Asia pada 30 Juli 2018.

Pemerintah Australia juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap pelaksanaan pemilu Kamboja ini.

“Australia merupakan teman lama Kamboja. Selain itu, terus mendesak pemerintah Kamboja untuk mengambil langkah mengizinkan proses debat politik yang terbuka dan bebas tanpa kekerasan dan intimidasi,” demikian pernyataan Bishop, seperti dilansir media ABC pada Senin.

Sedangkan pemerintah Amerika menyebut pemilu Kamboja ini sebagai kemunduran demokrasi. Sebab, pemilu tidak melibatkan partai oposisi terbesar CNRP, pembatasan terhadap para aktivis demokrasi, dan ancaman terhadap para pemilih.

Amerika bakal memperluas pembatasan visa bagi para pejabat Kamboja, yang telah diumumkan pada Desember 2017. “Ini pemilu yang cacat karena tidak mengikutsertakan partai oposisi utama negara itu, mewakili kemunduran yang paling signifikan terhadap sistem demokrasi yang diamanatkan konstitusi Kamboja,” kata Sarah Sanders, juru bicara Gedung Putih, seperti dilansir Reuters.

Perdana Menteri Kamboja Hun Sen memberikan hak suaranya dalam Pemilu Kamboja 2018, Minggu, 29 Juli. Sumber: TEMPO/Suci Sekar

Sebanyak 8,7 juta orang mendaftar sebagai pemilih dalam pemilihan umum keenam Kamboja sejak diadakan pada 1993 setelah terjadi konflik selama satu dekade. Komisi pemilu Kamboja atau NEC mengatakan 82,17 persen warga menggunakan hak pilihnya. Jumlah ini naik dibanding lima tahun lalu, yang tercatat hanya 62 persen warga mencoblos.

Namun pemungutan suara pada Ahad lalu itu tidak diikuti partai oposisi terbesar, Partai Penyelamat Nasional Kamboja atau CNRP. Pemerintahan Hun Sen dan mahkamah agung setempat bersepakat membubarkan partai itu dengan tudingan telah melakukan pengkhianatan karena bekerja sama dengan negara lain untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah.

Uni Eropa juga menolak bertindak sebagai pengamat dalam pemilu ini dan menghentikan bantuan keuangan kepada pemerintah Kamboja. Uni Eropa juga telah menganulir kemudahan visa bagi para pejabat Kamboja, yang sebelumnya diberikan.

Soal ini, Uni Eropa meminta pemerintah Kamboja memulihkan demokrasi, memulai dialog dengan oposisi, dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk perdebatan politik bebas.

Berdasarkan hasil hitung cepat, seperti diperkirakan banyak pihak, Partai CPP memenangi pemilu Kamboja 2018. Jika tidak ada halangan, hasil penghitungan secara resmi akan diumumkan tiga hari sejak penyelenggaraan pemilu atau pada Rabu, 1 Agustus 2018. CPP adalah partai milik Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, yang sudah berkuasa di Kamboja selama 33 tahun.

Belakangan, ada klaim dari petinggi CPP atau Partai Rakyat Kamboja pimpinan Hun Sen bahwa mereka memenangi semua kursi di parlemen yang berjumlah 125 kursi.

Kondisi TPS saat perhitungan suara, Minggu, 29 Juli 2018. Partai Rakyat Kamboja atau CPP menang telak dalam pemilu 29 Juli 2018. Pemilu ini dihujani kritik setelah pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen membubarkan partai oposisi, CNRP. Sumber: TEMPO/Suci Sekar

“CPP memenangi 77,5 persen suara dan memenangi semua kursi di parlemen,” ujar juru bicara CPP, Sok Eysan. Pada Ahad, seperti dilansir Reuters, dia mengklaim CPP "hanya" memenangi 100 kursi di parlemen dalam pemilu ini.

Menanggapi pemilu ini, Sam Rainsy, mantan Ketua Umum CNRP, mengatakan pembubaran partainya membuat setengah dari pemilik suara Kamboja merasa tertekan. “Saya kira konsekuensinya akan sangat buruk jika kami mendukung pemilu palsu dengan ikut serta di dalamnya. Itu artinya Anda melegitimasi pemilu itu,” ucap Rainsy dari pengasingannya di Paris, Prancis.

Secara terpisah, pimpinan CNRP menuntut pemerintah menggelar ulang pemilu Kamboja. "Kami perlu mengadakan pemilu ulang. Kami tidak menerima pemilihan yang partai oposisi utama tidak ikut serta dalam pemilu," kata Deputi Direktur untuk Urusan Luar Negeri CNRP, Monovithya Kem, kepada Tempo setelah berbicara dalam konferensi pers bertajuk "Cambodia: Election Without Democracy" di Jakarta, Senin, 30 Juli 2018.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus