Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Inspektur Dua Rudy Soik, mengungkapkan kekecewaannya atas putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap dirinya. Menurut Rudy, keputusan tersebut diambil tanpa memberinya kesempatan yang adil bagi dirinya untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya tidak hadir saat pembacaan tuntutan dan putusan PTDH karena sejak awal sidang, saya merasa ditekan. Contohnya, dalam kasus pemasangan Police line, seolah-olah masalah hanya berfokus pada hal itu, padahal ada rangkaian cerita yang lebih luas," ujar Rudi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rudi juga mempertanyakan legalitas tindakan yang dipersoalkan selama sidang. "Saya tanya, apakah pemilik rumah itu mengakui ilegalitas tindakannya? Mereka mengakuinya, tetapi saya langsung dipotong ketika ingin memperjelas lebih lanjut," katanya, menggambarkan jalannya sidang sebagai usaha yang tidak mengungkap seluruh fakta.
Ia merasa kehadirannya di Tempat Kejadian Perkara (TKP) sudah melalui prosedur penyelidikan dengan surat tugas yang sah.
"Saya datang ke TKP bukan kemauan pribadi, saya memiliki surat tugas. Jika saya dianggap salah dalam memasang Police line, tunjukkan SOP yang benar. Kenapa hanya saya yang dipersoalkan sementara banyak pelanggaran yang lebih berat dibiarkan?" tambahnya.
Dalam sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri (KKEP) pada 11 Oktober 2024, Ipda Rudy Soik dituntut melanggar kode etik berupa pemasangan garis polisi yang tidak sesuai prosedur.
kasus ini bermula saat Ipda Rudy Soik melaporkan soal kelangkaan BBM nelayan di Kota Kupang, NTT. Atas laporannya, Kapolres Kota Kupang mengeluarkan surat perintah penyelidikan. Berdasar surat itu, Ipda Rudi mendatangi rumah seorang warga Kota Kupang, Ahmad Ansar.
Ahmad Ansar membeli minyak menggunakan barcode nelayan, sedangkan Ahmad Ansar tidak memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI).
Ipda Rudi kemudian memerintahkan anggotanya untuk memasang garis polisi atau police line di bangunan itu. Setelah melapor kepada Kapolresta, Aldinan memberi perintah unruk memanggil Ahmad Ansar.
Pada 28 Agustus 2024, Polda NTT mengeluarkan surat yang menyatakan Ipda Rudy Soik melanggar Kode Etik Polri Nomor PUT/32/VIII/2024/KKEP. Rudi kemudian didemosi keluar dari NTT menuju Papua selama tiga tahun. Terhadap putusan ini, Rudi mengajukan banding.
Hampir dua bulan kemudian, Ipda Rudy Soik dipanggil untuk mengikuti sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri (KKEP). Pada sidang 11 Oktober 2024, Ipda Rudy dituntut melanggar kode etik. Dalam sidang itu pula Ipda Rudi dinyatakan diberhentikan dengan tidak hormat oleh Polda NTT.
Meski kecewa, Rudy Soik menyatakan akan menempuh jalur hukum dengan mengajukan banding dan Peninjauan Kembali (PK).
"Keputusan ini sangat menjijikkan, tapi saya masih akan berjuang sesuai dengan mekanisme hukum yang ada," katanya.
Ervana Trikarinaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.