Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa perkara Pungutan Liar (Pungli) Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Muhammad Abduh mengaku pernah diancam status kepegawaiannya tidak diperpanjang jika tidak mengikuti 'aturan main' praktik pungutan liar di Rumah Tahanan (Rutan) KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulanya jaksa penuntut umum KPK mengkonfirmasi bahwa Abduh diterima di KPK sebagai pegawai tidak tetap (PTT). Berbeda dengan pegawai lain, PTT dinilai level paling bawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sebelumnya saya outsourcing di luar, kemudian saya lamar di KPK sebagai PTT," kata Abduh di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin, 18 November 2024.
Abduh menuturkan bahwa sebagai PTT ia harus menjalani evaluasi setahun sekali untuk memperpanjang status kepegawaiannya. Evaluasi tersebut diberikan oleh rekan kerja dan atasannya sebanyak dua tingkat.
Dalam hal ini, Abduh dievaluasi oleh Hengki Tobing yang menjabat Kepala Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) KPK. Sejak bergabung ke KPK, kata Abduh, ia bekerja sesuai dengan prosedur sejak bergabung ke KPK pada 2018 hingga 2019.
Namun, saat ia menggelar inspeksi dadakan pada tahun 2019 dan menyita banyak telepon seluler (ponsel) dari para tahanan, Abduh justru ditegur oleh Hengki.
"Saya ditegur (Hengki), 'lu kerja di rutan di sini, enggak usah keras-keras. Teman-teman lu itu sama semua sudah terima' kata Abduh. Saat itulah Abduh diancam.
"Lah lu belum terima, enggak usah keras-keras. Kalau mau diperpanjang ikuti aturan yang main," kata Abduh lagi menirukan Hengki.
Jaksa kemudian bertanya kenapa Abduh masih saja menerima uang hasil pungli ketika sudah diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di KPK. Abduh mengaku ia menerima uang itu karena sudah terlanjur dan hanya menempati posisi paling bawah di struktur petugas Rutan KPK.
"Artinya sudah terlanjur ya?" tanya jaksa KPK.
"Sudah terlanjur juga. Kemudian tahanan ini ketika tidak kita turuti kemauannya dia akan lapor," jawab Abduh.
Sebanyak 15 terdakwa kasus dugaan korupsi berupa pungli di Rutan KPK masih menjalani proses sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat. Mereka diduga melakukan pungli atau pemerasan kepada tahanan di Rutan Cabang KPK senilai Rp 6,38 miliar pada rentang waktu 2019-2023. Pungli dilakukan para terdakwa di tiga Rutan Cabang KPK, yakni Rutan KPK di Gedung Merah Putih (K4), Rutan KPK di Gedung C1, dan Rutan KPK di Pomdam Jaya Guntur.
Tarif pungli itu dipatok dari kisaran Rp 300.000 sampai Rp 20 juta. Uang itu disetorkan secara tunai atau rekening bank penampung. Nantinya, uang tersebut dikendalikan oleh petugas Rutan yang ditunjuk sebagai “Lurah” dan koordinator di antara tahanan.
Uang yang terkumpul dibagi-bagikan ke kepala rutan dan petugas rutan. Besarannya berbeda, tergantung perannya.
Adapun jumlah yang didakwakan oleh JPU adalah Deden senilai Rp 399,5 juta, Hengki Rp 692,8 juta, Ristanta Rp 137 juta, Eri Angga Rp 100,3 juta, Sopian Rp 322 juta, Fauzi Rp 19 juta, Agung Rp 91 juta, serta Ari Rp 29 juta.
Selanjutnya, memperkaya Ridwan sebesar Rp 160,5 juta, Mahdi Rp 96,6 juta, Suharlan Rp 103,7 juta, Ricky Rp 116,95 juta, Wardoyo Rp 72,6 juta, Abduh Rp 94,5 juta, serta Ubaidillah Rp 135,5 juta.