Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENDUDUK Kalurahan Sidorejo dan Kalurahan Margodadi, Kapanewon Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dulu punya sumber mata air alami. Airnya jernih, mengalir dari dataran tinggi yang dikenal dengan sebutan Gunung Wungkal. Penduduk sekitar memanfaatkan mata air itu untuk keperluan sehari-hari. “Sejak ada tambang, sekarang kering,” ujar Sugimin, ketua rukun tetangga di Dusun Kwagon, Kalurahan Sidorejo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bencana datang setelah PT Karya Indah Putra mengantongi konsesi lahan tambang seluas 5 hektare di Kalurahan Sidorejo pada 2017. Kala itu hasil tambang tanah uruk di lahan tersebut dikabarkan akan digunakan untuk membangun perumahan berbasis pariwisata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga sekitar sudah mengajukan keberatan. Mereka sudah menduga proyek tersebut bakal mengganggu akses air bersih penduduk. Penolakan mereka belakangan mereda setelah PT Karya Indah berjanji mempertahankan sumber air.
PT Karya Indah merancang solusi: mereka membangun bak penampungan air raksasa. Air lalu mengalir ke sejumlah lokasi dekat permukiman penduduk. Tapi rencana tinggal rencana. PT Karya Indah menciptakan solusi dengan membangun sumur. Sebab, PT Karya terpaksa menutup akses mata air yang selama ini digunakan. Namun rencana itu pun tak terealisasi. “Sampai sekarang sumur tidak kunjung dibuat,” kata Sugimin.
Topografi Kalurahan Sidorejo berubah wajah sejak 2020. Tak hanya sumber air yang hilang. Kawasan itu kini gundul. Pemicunya adalah eksploitasi tanah uruk di wilayah PT Karya Indah Putra yang bekerja sama dengan PT Fajar Abadi Putra. PT Fajar Abadi merupakan pemilik lahan seluas 1,7 hektare di Kalurahan Margodadi, Kapanewon Seyegan, yang bersebelahan dengan lahan PT Karya Indah.
PT Karya Indah tak kunjung menjawab surat permintaan wawancara Tempo hingga 27 Januari 2024. Surat itu dikirim ke kantor mereka di Kota Yogyakarta, alamat e-mail, serta nomor telepon seluler pegawai PT Karya Indah beberapa hari sebelumnya.
PT Fajar Abadi merupakan perusahaan subkontraktor resmi penyedia tanah urukan proyek jalan tol Yogyakarta-Bawen yang dibangun PT Adhi Karya sejak 2022. Untuk menyuplai material, PT Fajar Abadi menggandeng PT Karya Indah yang diklaim memiliki izin penambangan di Sidorejo. Kerja sama ini berhenti sejak Dinas Pekerjaan Umum DIY melaporkan PT Fajar Abadi dan PT Karya Indah ke kepolisian dan kejaksaan karena diduga menambang secara ilegal.
Direktur PT Fajar Abadi Putra, A. Faisal, membantah tudingan bahwa pihaknya merusak mata air dan lingkungan di Sidorejo. Perusahaannya memang pernah menjalin kerja sama dengan PT Karya Indah untuk memasok tanah uruk, tapi berhenti pada 2021 karena izin PT Karya Indah sudah kedaluwarsa. “Kami pun enggak pernah mengambil tanah dari situ lagi sejak izinnya habis,” ucap Faisal.
Ia menjelaskan, pasokan tanah uruk untuk proyek jalan tol Yogyakarta-Bawen berasal dari daerah lain. Penambangan itu, dia mengklaim, dikerjakan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar. Misalnya, ia memerintahkan para pekerja membersihkan sisa tanah urukan di jalan dengan menyiramkan air agar tak berdebu. “Saat kemarau, pekerjaan pengangkutan pasti jadi kendala,” katanya.
Kalurahan Sidorejo dan Margodadi kini menjadi salah satu sentra kawasan pertambangan. Dalam dua tahun terakhir, ratusan truk hilir-mudik di dua kelurahan itu sambil mengangkut material tanah dari lokasi tambang menuju proyek jalan tol.
Penambangan bahkan menjalar ke perbukitan geoheritage Sleman. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mendeteksi kawasan itu menjadi satu dari 26 lokasi kawasan tambang ilegal.
Penambangan juga menyebabkan pendangkalan Sungai Mbakungan. Saat hujan turun, sedimen tanah sisa pengerukan berangsur-angsur melapisi dasar sungai. Akibatnya, air meluap dan kerap membanjiri permukiman penduduk. Musibah sempat diatasi perusahaan dengan mengalihkan air dengan membuat tanggul. “Tapi, karena dibuat asal-asalan, sekarang ambrol,” ucap Sugimin.
Aset milik PT Karya Indah Putra, pengembang perumahan yang sempat mengeruk tanah di Gunung Wungkal, Dusun Kwagon, Sidorejo, Godean, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam keadaan terbengkalai. 24 Januari 2024. Tempo/Fajar Pebrianto
Warga sekitar terpaksa memperbaiki sendiri tanggul itu karena PT Karya Indah dan PT Fajar Abadi berhenti beroperasi setidaknya setahun belakangan. Sejak tambang dibuka, rumah mereka dipenuhi debu. Sejumlah ruas jalan rusak akibat lalu-lalang truk. Ancaman tanah longsor turut menghantui sejumlah permukiman penduduk. “Padahal kawasan lindung geoheritage ini jadi trase air yang menyambung ke kawasan karst di Menoreh,” kata Deputi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Yogyakarta Dimas R. Perdana.
Kantor Staf Presiden juga sudah turun tangan. Mereka menyurati para kontraktor agar mematuhi aturan. Tenaga Ahli Deputi I Kantor Staf Presiden Mas Muhammad Gibran Sesunan mengatakan proyek jalan tol Yogyakarta-Bawen sempat terhambat lantaran para kontraktor kesulitan mendapatkan suplai tanah urukan. “Kami meminta pemerintah daerah dan Badan Pengatur Jalan Tol mencarikan solusi,” tuturnya.
Proyek jalan tol Yogyakarta-Bawen menjadi perhatian pemerintah pusat lantaran masuk daftar proyek strategis nasional. Jalan sepanjang 76, 3 kilometer itu dibangun dalam enam seksi dengan melibatkan perusahaan pelat merah, PT Adhi Karya, sebagai kontraktor pelaksana. Gibran mengakui tak semua penambang tanah uruk berizin. “Kami mendorong agar suplai material hanya bersumber dari sumber legal,” ujarnya.
Dampak penambangan turut dialami ribuan warga penduduk Desa Jomboran, Sendangagung, Kapanewon Minggir, Kabupaten Sleman. Meski sempat diprotes dan didemo oleh warga desa, penambangan tetap berlangsung. “Kami pernah bersurat kepada pemerintah, tapi semuanya mental,” tutur Septandi, 29 tahun, warga Desa Jomboran.
Penambangan tanah di Desa Jomboran mulai masif pada 2020. Setidaknya ada tiga perusahaan yang beroperasi, yakni PT ADP, CV MK, dan CV PA. Septandi merasa heran lantaran dua di antara tiga perusahaan itu bisa menambang meski belum mendapat izin warga desa dan mensosialisasi proyek tersebut.
Keluhan warga Desa Jomboran pernah dimediasi dalam forum audiensi pada 2020. Alih-alih menampung aspirasi, lima perwakilan warga yang hadir dalam pertemuan itu malah diancam pihak perusahaan. Perusahaan mempertanyakan legalitas perwakilan warga desa. “Mereka bilang kalau menghalang-halangi aktivitas tambang bisa terkena ancaman pidana dan denda Rp 100 juta,” kata Septandi.
Warga desa memprotes aktivitas penambangan pasir dan tanah uruk lantaran tidak dilakukan di area sungai, melainkan bantaran sungai. Sebagian di antaranya bahkan mengokupasi lahan milik penduduk setempat. Tapi permintaan untuk klarifikasi malah berujung laporan ke kepolisian. “Ada 17 warga, empat di antaranya ketua RT yang dipanggil polisi, sementara laporan kami tidak pernah digubris,” ujar Septandi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fajar Pebrianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bencana Air di Gunung Wungkal"